Perkumpulan Santri Pasundan Menolak Rencana Sertifikasi Ulama Karena Mirip Ordonansi Era Kolonial

Ayo Berbagi!
Aceng Ahmad Nasir bersama Ketua Umum PBNU
Aceng Ahmad Nasir bersama Ketua Umum PBNU

SwaraSenayan.com. Gagasan standardisasi (sertifikasi) bagi ulama dan mubaligh terus bergulir. Pro dan kontra pun hadir, baik di kalangan ulama maupun di masyarakat. Meski menteri agama Lukman Hakim menegaskan bahwa standarisasi yang dimaksud yaitu untuk para Khotib.

“Pertanyaan yang  mendasar bukankah setiap yang menjadi khotib itu adalah ulama? Sertifikasi ini apakah dilakukan untuk sebagai subjek (ulama) atau objeknya (khotib) hal ini menjadi rancu dan akan menimbulkan problematika baru yang menimbulkan polemik di kalangan umat Islam,” kata Aceng Ahmad Nasir, S.Ag., M.Si. selaku Ketua Umum Perkumpulan Santri Pasundan kepada SWARA SENAYAN (6/2/2017).

Aceng menguraikan bahwa wacana sertifikasi ulama ini mengingatkan pada Ordonansi Guru yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Menurut peraturan yang diberlakukan di Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar, dan setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.

Ordonansi itu, kata Aceng, secara khusus untuk membatasi gerakan guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. Dengan kata lain, pemerintah kolonial bersikeras, melalui berbagai kebijakannya, menolak peran Islam dalam kehidupan publik, apakah hal ini yang dimaksudkan mirip oleh rencana kebijakan pemerintahan saat ini? Jika benar sungguh ini sangat mengkhawatirkan.

“Ordonansi itu dimaksudkan untuk mengawasi aktivitas para guru agama, kiai, ulama yang selama ini menentang penguasa kolonial. Nampak jelas sekali, rejim ini sudah ketularan pemerintah kolonial Belanda yang ikut-ikutan untuk mengawasi dan mencurigai ulama,” tegas Aceng yang juga dikenal sebagai orator aktivis ‘98.

Ordonansi tersebut, ketika itu mendapat pertentangan yang cukup keras oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Apabila ordonansi ini diberlakukan, maka kemerdekaan menyiarkan agama, bertablig, mengaji, berpondok, dan apa saja urusan agama akan hilang dengan sendirinya. Ordonansi sebagai ancaman langsung terhadap pengajaran dan penyebaran agama Islam.

Aceng mempertanyakan, apakah Standarisai Khotib / Sertifikasi Ulama itu salah satu bentuk dari Ordonansi? Walaupun rencana pemerintah ini masih dalam kajian tim di kementerian agama seperti di era Jokowi ini, namun jika hal ini ternyata benar diimplementasikan maka tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antar umat Islam saling mencurigai diantara kelompok yang berkepentingan serta dijadikannya aparat keamanan sebagai alat kekuasaan.

“Adanya pendataan ulama sudah menimbulkan keresahan karena adanya pembatasan ruang gerak  dakwah yang secara tidak langsung akan menghambat perkembangan intelektual di kalangan umat Islam dan menghambat demokratisasi dalam kebebasan berserikat dan berpendapat,” tutur Aceng.

Belum lagi hal-hal lain terhadap dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena hal tersebut, Perkumpulan Santri pasundan mengusulkan kepada pemerintah wabil khusus Kementrian Agama untuk meninjau ulang rencana Standarisasi / Sertifikasi Khotib atau ulama yang dimaksud. Dengan alasan sebagai berikut:

  1. Standarisasi Khotib / Sertifikasi Ulama dihawatirkan menimbulkan resistensi konflik serta merenggangkan toleransi antar tokoh agama maupun umat seagama dilandasi dengan berbagai alasan-alasan yang memiliki prinsip-prinsip dakwah yang memiliki polarisasi maupun persepsi berbeda-beda diantara mazhab yang ada.
  2. Menimbulkan persaingan yang kurang sehat antar organisasi Islam yang selama ini dianggap memiliki sudah terjalin harmonisasi yang baik.
  3. Mengakibatkan degradasi nilai kehormatan terhadap alim ulama yang kemuliaannya tidak dapat diukur pada parameter tertentu.
  4. Mengurangi semangat dakwah yang merupakan tugas seluruh umat Islam  dalam menegakan amar ma’ruf nahi munkar.
  5. Menimbulkan stagnasi generasi dai dan daiah diakibatkan dengan dilakukan pembatasan maupun regulasi yang mengikat sehingga dakwah tidak bebas berekspresi dalam mengejawantahkan nilai keislaman yang universal.
  6. Menolak dilakukannya pelaksanaan standarisasi khotib maupun sertifikasi ulama dihawatirkan menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung sebagaimana dikhawatirkan seperti ordonansi di era kolonial.

Demikian pandangan serta alasan-alasan yang disampaikan Perkumpulan Santri Pasundan. *SS

Ayo Berbagi!