Oleh: Bambang Wiwoho
SwaraSENAYAN.com. Tentang wacana kembali kepada UUD 45 Asli yang sekarang ramai diwacanakan terutama oleh generasi muda, saya pribadi menjadi bersyukur. Akhirnya apa yang kami gulirkan semenjak akhir 2003 telah bagaikan bola salju makin lama makin besar.
Pada akhir 2003, 17 (tujuh belas) anak bangsa yang disesepuhi oleh Prof Kyai Ali Yafie dan Jenderal Purn Try Sutrisno berhimpun dalam Barisan Kebangkitan Indonesia Raya (BKRI). Tujuh belas orang itu antara lain Surjadi Soedirdja, Marsudi W Kisworo, Achmad Mubarok, Amran Zamzami (alm), Widjajono Partowidagdo (alm) dan saya.
Pada awal Januari 2004, bertempat di Persada – Halim Perdanakusuma, BKRI meluncurkan buku kecil “Dokumen Perenungan Nasib Bangsa: Rapatkan Barisan Untuk Kebangkitan Indonesia Raya”. Selanjutnya 18 – 20 Mei 2004 menyelanggarakan Kongres Indonesia Raya bertempat di Balai Sudirman dan Gedung RRI. Hasil Kongres diterbitkan menjadi buku “Indonesia Raya Bangkit atau Hancur”.
Segera sesudah itu BKRI diperluas menjadi Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) yang dideklarasikan di Gedung Cawang Kencana. Bergabung dalam GKIR antara lain FPP-45 dengan tokohnya Saiful Sulun, Indemo dengan tokohnya Hariman Siregar, Asosiasi Pejuang Indonesia dengan tokohnya Nugroho Djajusman, Forum Rektor dengan tokohnya Sofian Effendi dan lain-lain.
Dari berbagai pertemuan dan kajian yang kemudian diterbitkan dalam buku “Polemik Cabut Mandat SBY: Suatu Transformasi dari Masyarakat Nrimo ke Masyarakat Peduli Nasib Bangsa”, GKIR menyimpulkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat itu (dan masih sampai saat ini), siapa pun yang menjadi Presiden tidak akan bisa mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara yang semakin besar, berat dan kompleks, bahkan jika tidak segara diatasi bisa membawa kepada kehancuran bangsa.
Untuk itu kami berpendapat harus segera dilakukan kaji ulang UUD, karena UUD baik yang UUD 45 asli maupun yang sekarang, yang menurut Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie sudah berubah 300%,bukanlah kitab suci, sehigga bisa diubah, diperbaiki dan disempurnakan. Merujuk pendapat Prof Jimly tadi nama UUD 45 Amandemen pada hemat saya manipulatif: buku “Pak Harto Anak Desa Membangun Kepentingan Nasional” dan Ancaman Presiden Soeharto/TNI Terhadap Siapa Saja Yang Mau Mengubah UUD’45, http://bwiwoho.blogspot.com/2013/03/penggalangan-citra-di-masa-orde-baru-4.html).
Pakar Hukum Tatanegara Maria Farida dalam buku “Polemik Cabut Mandat SBY” juga menyatakan, dengan amandemen tersebut sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru dan bukan hanya mengubah UUD 45.
Mengapa kami memakai istilah Kaji Ulang? Karena pada sepuluh tahun yang lalu, belum banyak orang yang percaya UUD Amandemen akan membuat situasi ketatanegaraan tumpang tindih bahkan cenderung kacau. Sementara itu masyarakat masih mengecap Orde Baru kepada siapa saja yang menginginkan kembali pada UUD 45 Asli.
Salah satu syarat kaji ulang UUD adalah untuk sementara, UUD dikembalikan kepada UUD 45 ++, maksudnya UUD 45 yang asli namun sudah dengan perubahan tentang masa jabatan Presiden yang dibatasi hanya boleh dua kali. Selanjutnya UUD 45 ++ kita sempurnakan secara hati-hati, teliti dan seksama dengan menjaga kesinambungan antara mukadimah dengan batang tubuhnya.
Penyempurnaan dilakukan dengan sistem adendum yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia, dan bukan hanya oleh segelintir elit apalagi hanya oleh partai-partai politik di parlemen. Penyempurnaan harus visioner jauh ke depan, termasuk mengantisipasi kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat, yang bisa mengubah tatanan sosial masyarakat. Itulah tantangan kita ke depan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridai, merahmati dan memberkati kita. Aamiin. ■