Prahara Reformasi Akibat Pembangunan Tanpa “Noto Negoro”

Ayo Berbagi!

Oleh : Haris Rusly Moti – Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998, Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)

SwaraSenayan.com – Notonegoro, frasa yang kerap kali kita dengar setiap terjadi perubahan politik di negeri ini. Frasa Notonegoro sendiri begitu populer lantaran muncul di dalam Jangka Jayabaya, sebuah ramalan yang konon bersumber dari Prabu Jayabaya, raja Kediri dari abad ke-11 masehi.

Jika kita cermati konten dari Jongko Joyoboyo, dapat dikatakan semacam sebuah “nubuat” versi leluhur di Jawa. Bentuk lainnya dari ramalan seperti itu adalah Notradamus. Dalam versi akademis, dikenalkan oleh Alvin Toffler dengan “nubuat” Megatrend 2000. Toffler terbukti akurat dengan nubuatnya terkait gelombang ketiga revolusi informasi pasca revolusi industri.

Terkait “nubuat” atau Jongko Joyoboyo, merupakan pesan spiritual terkait keadaan jatuh bangun peradaban-peradaban di nusantara pada tiap-tiap tahap sejarahnya.

Di antara salah satu pesan yang sangat menarik dicermati di dalam “nubuat” tersebut adalah tentang “notonegoro”. Sayangnya pesan spiritual itu dikaburkan penafsirannya menjadi seakan “klenik” dan dihubungkan dengan sosok tertentu.

Melalui ilmu “otak atik gathuk”, frasa notonegoro kemudian diplintir dan dipenggal-penggal berdasarkan suku kata untuk dikaitkan dengan sosok tertentu berdasarkan namanya.

Sebagai contoh penggalan suku kata ‘no’ dari frasa notononegoro dikaitkan dengan sosok Soekar-no. Suku kata ‘to’ yang dikaitkan dengan sosok Soehar-to. Demikian juga dengan sosok Yudhoyo-no yang dikaitkan dengan suku kata “no”.

Pakar ilmu otak atik gathuk kemudian mentok di saat mencari penerus dari sosok “no” dan “to”. Ketika tidak ada sosok pemimpin negara berikutnya yang dapat dikaitkan dengan suku kata “go” dan “ro”.

Bagitulah ilmu otak atik gathuk, yang telah berperan mengaburkan makna dari nubuat tentang notonegoro sebagai jawaban terhadap kekacauan zaman dan keruntuhan peradaban.

“Nubuat” Noto Negoro

Sebetulnya “nubuat” tentang notonegoro di dalam Jongko Joyoboyo tidak ada kaitannya dengan sosok yang memimpin Indonesia. Notonegoro adalah sebuah penglihatan spiritual yang disampaikan secara tersurat dan lugas untuk menata negara.

Sebagaimana keadaan masyarakat yang digambarkan di dalam Jongko Joyoboyo, jika negoro hanya dibangun, tapi tidak ditata, maka akibatnya yang pernah terjadi adalah goro-goro atau prahara tidak berunjung yang memakan tumbal tak berdosa.

Noto negoro berasal dari bahasa Jawa artinya menata negara. Frase negoro atau negara sendiri berasal dari bahasa sansekerta, dari kata nagari atau nagara yang artinya kota. Dalam bahasa Inggris negara disebut ‘state’, dalam bahasa Perancis disebut ‘etat’.

Maksud dari menata adalah merancang dan mengatur sebuah objek sebagai sebuah kesatuan sistem, yang terkait satu dengan yang lain, dengan menempatkan atau meletakkan tiap-tiap sub organ pada tempatnya dan bekerja sesuai fungsi dan tujuannya.

Berbeda pengertian antara membangun (a build) dengan menata (organize). Ada banyak contoh pembangunan yang tidak disertai penataan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih fungsi dan tujuan antara satu organ atau komponen dengan organ atau komponen yang lain.

Belajar pada cara Tuhan menciptakan organ tubuh kita. Tuhan menata organ tubuh kita yang tersusun rapi sebagai sebuah kesatuan, yang menjadi kompatibel sistem, yang bekerja sesuai fungsinya, dan diletakkan pada tempatnya yang tepat.

Organ-organ tubuh kita diciptakan tak terpisah satu dengan yang lain. Antara otak, jantung dengan panca indra kita terhubung satu dengan yang lainnya sebagai sebuah kesatuan. Tuhan tak sekadar menciptakan, tapi juga menata dengan seni, baik tata lahir maupun maupun tata hati terhadap diri kita.

Bisa dibayangkan jika otak yang letaknya di dalam batok kepala, tugasnya berpikir, tapi diletakan di dengkul. Bagaimana jadinya jika mulut yang fungsinya berbicara bertukar letak dengan dubur yang mempunyai fungsi sebagai tempat pembuangan kotoran.

Sebagai sebuah kompatibel sistem, jika terjadi gangguan fungsi, bentuk dan posisi terhadap salah satu organ tertentu, maka otomatis akan memicu masalah yang merusak atau mengganggu organ tubuh yang lainnya.

Demikian juga jika kita mempelajari beberapa kota peninggalan kerajaan-kerajaan yang pernah hidup di nusantara, maka jelas terlihat sebuah pembangunan yang disertai dengan penataan dan seni yang sangat tinggi.

Tata kota dan pembangunan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek kultural, aspek keharmonisan hubungan dengan alam semesta, hingga aspek spiritual, yaitu hubungan vertikal antara manusia sebagai mikro kosmos dengan Tuhan yang maha kuasa sebagai makro kosmos.

Demikianlah “nubuat” Joyoboyo tentang noto negoro, sebuah pesan untuk menata negara, untuk memimpin mencegah terjadinya prahara atau goro-goro yang tidak berkusadahan sebagaimana yang terjadi di era reformasi.

Jadi bukan semata “sosok” yang bertindak sebagai ratu adil yang membawa rakyat bebas dari penderitaan, tapi sebuah sistem negara yang tertata yang mengangkat derajat rakyat sebagai manusia.

Reformasi Tanpa “Noto Negoro”

Sistem menurut pengertiannya adalah seperangkat komponen atau elemen yang terintegrasi, saling berinteraksi sebagai sebuah kompatibel untuk mencapai tujuan tertentu.

Jika ditinjau dari pengertian tersebut, maka negara reformasi bukanlah sebuah sistem. Di era reformasi, pembangunan dilepaskan dari padanannya, yaitu penataan ulang sistem negara, dari disordering menjadi reordering of the state.

Tidak ada enginering politik. Tidak ada designer politik. Apalagi mentalitas ownership (rasa memiliki) terhadap negara, dapat dikatakan telah musnah. Situasi reformasi hanya melahirkan para politisi, pejabat negara dan intelektual yang bermental montir, mandor dan kuli politik yang mengerjakan perintah dari pemborong.

Jika diperhatikan, yang sangat menonjol sepanjang 20 tahun reformasi adalah pembangunan sebagai sebuah projek untuk mengeruk keuntungan ekonomi.

Tampak tidak ada pembangunan sistem negara di era reformasi, yang ada hanya pembangunan struktur politik dengan kewenangan yang otonom, yang tidak terkait satu dengan yang lainnya.

Demikian juga pembangunan infrastruktur di era Pemerintahan Joko Widodo yang tak disertai penataan, hasilnya pasti tak jauh berbeda dengan reformasi struktur politik di awal reformasi yang mewariskan kekacauan dan tumpang tindih kewenangan.

Pembangunan infrastruktur yang dijalankan oleh pejabat yang bermental mandor dan kuli, tanpa mempertimbangkan tata ruang kewilayahan, tanpa pertimbangan analisa mengenai dampak lingkungan, tanpa pertimbangan seni dan budaya, pasti akan mewariskan tumpukan masalah yang menambah beban yang meruntuhkan peradaban Indonesia. *SS

Ayo Berbagi!