Oleh : Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Kondisi politik bangsa semakin hari semakin tidak menentu dan semakin tidak jelas arah bangsa ini hendak menuju kemana. Kualitas kepemimpinan nasional yang tidak mampu mengelola negara semakin menambah gelapnya masa depan negara Republik Indonesia yang dimerdekakan dengan pengorbanan darah dan nyawa yang tak terhitung nilainya. Paling konyol, akibat ulah satu orang yang tidak jelas nasionalisme dan kecintaannya kepada bangsa Indonesia, republik ini nyaris terpecah belah da nyaris gaduh setiap hari. Akankah bangsa ini harus merelakan hidupnya dipimpin oleh seorang pemecah belah persatuan?
Peristiwa yang baru saja berlangsung, terjadi dihadapan pengadilan yang mulia, persidangan yang dilaksanakan dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, seorang ulama besar, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rais Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) guru dari banyak ulama, hadir sebagai saksi dipengadilan, namun harus tragis karena diperlakukan seperti terdakwa. Bahkan ironisnya, justru seorang terdakwa dan pengacaranya yang bernafsu membebaskan terdakwa penodaan agama, harus memperlakukan KH Ma’ruf Amin secara tidak patut. Ahok dan pengacaranya lupa diri sedang berhadapan dengan siapa, atau memang sudah karakter aslinya tidak memiliki rasa hormat kepada yang lain?
Tiba-tiba negeri yang masih gaduh atas kelemahan kepemimpinan nasional dan gaduh atas penodaan agama oleh terdakwa Ahok dan gaduh atas ekonomi yang terus terpuruk harus gaduh lagi oleh ulah sang terdakwa dan pengacarnya. Tidak tanggung-tanggung kegaduhan baru ini menyeret nama Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono karena disebut-sebut menelepon KH Ma’ruf Amin agar memgeluarkan fatwa penistaan agama. Hal ini sudah dibantah oleh KH Ma’ruf Amin dan SBY. Artinya Ahok dan pengacaranya patut diduga menebar fitnah dan menggunakan kebohongan untuk membebaskan terdakwa dari vonis hukuman penjara yang menanti Ahok.
Kegaduhan bangsa ini sudah harus diakhiri segera. Bangsa ini tentu seharusnya tidak membiarkan lagi kegaduhan karena ulah satu orang. Seluruh anak bangsa yang mencintai keutuhan Republik ini harus bersatu padu menolak dipimpin oleh pemecah belah bangsa, perusak kebinekaan dan pembuat gaduh. Bangsa ini adalah bangsa yang dibangun dan didirikan oleh kesantunan dan nilai-nilai norma luhur warisan nenek moyang nusantara. Bukan dibangun dengan caci maki dan ketidak santunan. Maka sudah sewajarnya siapapun yang membuat gaduh bangsa ini dengan ketidaksantunan dan perilaku buruk harus dihentikan. Terlebih oleh seorang Ahok, WNI keturunan Cina yang tampaknya tidak mengerti nilai-nilai luhur budaya nusantara.
Saatnya sudah tiba untuk mengakhiri segala polemik di Jakarta dan Indonesia secara umum. Pilkada DKI Jakarta haris diselesaikan satu putaran dengan memenangkan Putra Asli Indonesia yang mewarisi dan mengerti nilai-nilai luhur didirikannya bangsa ini. Publik Jakarta harus mengakhiri semua kegaduhan ini dengan melaksanakan dan menyelesaikan Pilkada satu putaran. Sepak terjang Ahok harus dihentikan, karena selama Jakarta dipimpin Ahok, bukan cuma Jakarta yang gaduh tapi juga Indonesia.
Demi Bangsa dan negara yang sungguh-sungguh kita cintai ini, saatnya menunjukkan pada dunia bahwa orang Indonesia asli bukanlah manusia barbar yang suka bikin kegaduhan. Demi bangsa dan negara, seluruh umat beragama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan siapapun anak bangsa, harus bersatu padu mengembalikan bangsa ini kepada cita rasa dan jati diri asli Indonesia. Demi bangsa dan negara, selesaikan pilkada Jakarta satu putaran dengan memilih anak bangsa sendiri. Kegaduhan ini sudah cukup dan harus diakhiri, caranya dengan menghentikan sepak terjang Ahok disegala lini. Jakarta, 4 Pebruari 2017 *SS