Oleh : Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
(Serial Kajian Ilmiah VIII)
SwaraSenayan.com – Modal sosial paling besar Tuan Guru Bajang adalah menjaga wibawa keagamaan yang dilakukan selama ini. Tentu bermodal nilai-nilai sosial Islam. Bajang yang sedang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Demokrat NTB memiliki kantong suara yang cukup signifikan. Saat ini, kala partai-partai terpecah, diprediksi menjadi tiga koalisi besar, Demokrat justru belum menyatakan dukungan, baik untuk Jokowi maupun Prabowo. Dengan beberapa sikap yang condong kontroversi tersebut, jelas TGB menempuh jalan berbeda dengan partainya.
Tuan guru merupakan pemegang otoritas keagamaan Islam, selevel dengan kiyai. Melalui pengajian dan salat Jumat, tuan guru membangun loyalitas para murid dan pengikut mereka. Mereka (tuan guru) juga menanamkan pengaruhnya melalui aturan fatwa. Penerapan fatwa ini memberikan pengaruh sosial yang besar kepada tuan guru dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sebut James J. Kingsley dalam “Peacemakers or Peace-Breakers? Provincial Elections and Religious Leadership in Lombok Indonesia” (2010).
Tuan Guru Bajang dilihat juga sangat populis yang humble dan prophet mission (Misi Kenabian). Kalau meminjam Istilah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Tuan Guru itu ibaratnya “Wong Agung Dalam Gerakan Islam.” hubungan kepemimpinan Tuan Guru sebagai Wong Agung (Prophet Mission) dalam tradisi Jawa dan Al-Mahdi sangat banyak bersesuaian dengan perkembangan pemikiran Islam.
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-makrifat-yang-futuristik/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-retrospeksi-dan-revolusi-pancor-untuk-indonesia/
Ya, sudah tentu menarik untuk disimak. Namun, hingga hari ini belum muncul capres atau cawapres tetap yang berbasis organisasi Islam terbesar negeri ini, katakan saja, Nahdatul Wathan, NU, Persis dan Muhammadiyah, apalagi yang digadang (dicalonkan) oleh partai besar. Tidak seperti pemilu presiden 2004 yang menampilkan Amien Rais, Muhammadiyah, capres PAN, dan Hasyim Muzadi, NU, cawapres PDI-P. Keduanya gagal melaju ke istana pada putaran pertama dan terakhir. Mungkin itu penanda kegagalan regenerasi politik dikedua gerakan ormas Islam itu, tapi berbagai survei menunjukkan pemenang Pemilu 2009 bukan partai Islam.
Begitu juga, pada pemilu 2014 lalu, Partai Islam rontok, seolah ada kesombongan dalam internalnya bahwa Islam akan solid dalam perebutan kepemimpinan. Setelah, pemilu kriminalisasi dan kanalisasi, Islam menjadi sasaran. Termasuk Tuan Guru Bajang sasaran kebencian yang dilakukan oleh etnis Tionghoa.
Tetapi, pada pilkada DKI Jakarta satu tahun yang lalu, rupanya umat Islam sadar bahwa pentingnya kepemimpinan Islam yang kuat dan utuh untuk menjaga NKRI dan umat Islam. Tetapi, euporia (gembira) itu sebentar. Kali ini hadapi pilpres 2019 rasanya menoleh kebelakang, bahwa Jokowi lebih baik melanjutkan kepemimpinannya untuk dua periode. Padahal rezim yang sama lakukan kriminalisasi dan kebencian terhadap Islam. Lalu, mengapa umat Islam begitu lemah?.
Karena itu, munculnya Tuan Guru Bajang sebagai sumber mata melihat, sumber otak berfikir dan sumber mulut untuk mengatakan bahwa Tuan Guru Bajang dalam konteks hadapi Pilpres 2019 merupakan “Propet Mission yang humble,” untuk menghadirkan pengharapan kepada rakyat.
Kisah Propet Mission sama dengan “Wong Agung,” dalam tembang Sinom Serat Wedatama itu kini tidak lagi terdengar dari gubuk-gubuk ditengah sawah saat menjelang panen padi. Suara mendayu lirik-lirik tembang disore hari atau menjelang malam tidak juga terdengar dari pendopo rumah gebyok, musola atau langgar di pedesaan. Namun memori kolektif Wong Agung selalu hadir dalam kesadaran saat orang menunggu atau merindukan kehadiran pemimpin ideal yang diharapkan mampu mengubah nasib menjadi lebih baik. Kadangkali sang pemimpin itu diberi label mujaddid (pembaharu) atau mujtahid (pemikir penemu).
Maka, Tuan Guru Bajang hadir mewakili mayoritas umat Islam yang menginginkan perubahan dan kebanyakan umat menyerahkan mandataris untuk memangkunya. Tentu kalkulasinya ada, dengan melihat Data Sensus Penduduk (2010) menyatakan 4.341.284 orang atau setara 96 persen penduduk NTB memeluk Islam. Mengutip studi Fawaizul Umam mengenai peran Tuan Guru di Lombok, secara tipikal masyarakat Muslim Sasak di Lombok berkultur tradisional, berkesadaran paternalistik, serta bermental agraris. Apalagi, sejak kepemimpinan Bajang, NTB punya julukan “Pulau Seribu Masjid”.
Julukan itu sarat makna simbolis karena hanya ada 300-an masjid di Lombok. Artinya, julukan itu merujuk kepada betapa pentingnya Islam bagi masyarakat Lombok. Islam adalah bentuk utama organisasi dan wacana sosial di Lombok, dengan tuan guru berperan layaknya perekat sosial. Tidak hanya mengurusi persoalan keagamaan, Bajang juga berperan dalam mengelola pondok pesantren, melayani kegiatan sosial, hingga bisnis. Peran tuan guru di NTB mirip dengan kiai, pemimpin dan guru agama Islam di Jawa. Sebut Kinsley dikutif tirto.id
Demikian juga, ketika kita yang sudah akrab tembang Jawa, bait-bait pupuh sinom dari Serat Wedatama ini bisa membawa ke aura batin tentang sosok sang pemimpin utama “Propet Mission” itu.
Secara garis besar tembang itu melukiskan sesosok pemimpin (Propet Mission) yang bukan sekedar memiliki kemampuan managerial pemerintahan tapi juga prestasi spiritual yang diperoleh melalui konsistensi panjang (meditasi atau perenungan batin) melalui ritual ibadah.
Dari sinilah lahirnya Tuan Guru Bajang sebagai kepribadian utama dan berkemampuan pengendalian diri mendahulukan kepentingan rakyat banyak bukan partai dan kelompoknya sendiri, apalagi keluarga dan keturunannya. Propet Mission atau Wong Agung adalah referensi tindakan, jujur, contoh, dan jangkar perilaku pemimpin dalam mempersiapkan diri memenuhi tugas suci memakmurkan hidup rakyat. Ukuran kemakmuran rakyat dilukiskan dalam tausiah Jawa yaitu keadaan saat wong cilik bisa gumuyu (kaum proletar bisa tersenyum).
Sang Zaenul Majdi juga bergelar Tuan Guru (pemimpin agama) yang bukan sekedar memiliki kekuatan fisik dan managerial, tetapi juga kekuatan batin dan spiritual serta memiliki kedekatan hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Propet Mission dipahami memiliki kemampuan luar biasa (gaib) yang diperoleh secara gaib. Dalam situasi amat kritikal, hanya orang-orang (pemimpin) berkemampuan yang bisa memecahkan persoalan.
Kemampuan Tuan Guru Muhammad Zaenul Majdi demikian karena peroleh penjelasan rasional tentang cara, dari mana, bagaimana sang pemimpin lahir dan hadir dalam kancah dunia empiris, sama halnya dengan masalah yang dihadapi Islam. Pemimpin Propet Mission itu akan hadir sebagai pemimpin kebaruan. Orang baru tahu dan menyadari setelah sang tokoh duduk di singgasana kekuasaannya, sehingga sayangnya juga tidak tersedia alat untuk mengontrol bagaimana Propet Mission itu menjalankan kekuasaannya.
Super ordinary di dalam kekuasaan dan dalam memecahkan masalah, sehingga sering disebut sebagai wakil Tuhan dalam simbol di atas. Bersamaan dengan itu muncul wacana tengtang satrio piningit diiringi kisah-kisah mistis di setiap pergantian kepemimpinan nasional. Kadang secara sengaja dihembuskan wacana tentang hubungan seorang tokoh dengan guru spiritual atau peristiwa alam serta mitos-mitos tertentu. Propet Mission pada waktu yang tepat pasti datang entah dari mana dengan cara apa.
Layakkah Tuan Guru Bajang sebagai capres dan cawapres berbasis Islam akan muncul di saat-saat terakhir menjelang pemilu presiden? Boleh jadi seperti pemilu 2004, 2009,.2014 dan 2019 kedepan seolah tak ada pilihan. Untuk kesekian kali klaim mayoritas pemeluk berbeda dengan keterpilihan dan pilihan rakyat atas partai dan pemimpin. Faktanya demikian mungkin membingungkan elite gerakan Islam, tapi itulah cermin kerinduan rakyat banyak atas sosok Propet Mission, seperti Tuan Guru Bajang yang terus sosialisasi untuk mendapat dukungan ke seluruh umat Islam di Indonesia.
Lebih lanjut, Kingsley mengatakan, otoritas seorang Tuan Guru Bajang tidak hanya di lingkup masjid namun juga berpengaruh di seluruh pulau di NTB. Ketokohan Bajang bahkan melekat pada gelar “Tuan Guru” itu sendiri yang diwariskan kepada keturunannya. Karena posisi sosial yang tinggi, hampir mustahil membuat kebijakan atau mendapat dukungan masyarakat atas suatu inisiatif tanpa sokongan aktif dari para pemimpin ini [tuan guru],” sebut Kingsley dalam wawancaranya dengan tirto.id.
Mestinya, umat Islam tidak terpecah, bahwa seorang Kiyai / Tuan Guru pertama menjadi presiden dan wakil presiden itu pertanda penghargaan luar biasa kepada umat Islam. Tidak heran, dengan posisi tuan guru yang begitu vital dan berpengaruh di NTB, mereka pun banyak mengisi jabatan dan mengikuti kontestasi politik.
Namun demikian, bukannya tidak ada kekuatan politik lain, selain tuan guru. Debbie Prabawati dalam “Lombok Utara: Geliat Adat di Tengah Demokratisasi” yang dimuat Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita (2018) mencatat bahwa masyarakat Indonesia justru sangat mengenal tuan guru.
Proses dan Protes Budaya (1998:34) yang disusun A. Teeuw dan kawan-kawan mengatakan, golongan prawangsa adalah golongan bangsawan Sasak. Mereka memakai gelar Lalu untuk laki-laki dan Baiq untuk perempuan. Golongan tersebut berasal dari keturunan orang biasa dari zaman kerajaan Sasak yang memegang jabatan atau orang arif dan bijaksana yang memiliki jabatan dan dekat dengan raja atau keturunan bangsawan Menak yang kawin dengan orang dari golongan yang lebih rendah.
Kini, TGB Zainul Majdi santer menjadi perbincangan lantaran digadang-gadang sebagai salah satu kandidat cawapres dalam Pilpres 2019. Pengalaman memimpin NTB selama 10 tahun dan kedekatan dengan kelompok Islam menjadi modal yang dimilikinya.
Namun demikian, sebagian tuan guru di NTB memandang pesimis langkah tersebut. TGH Hazmi Hamzar menilai peluang TGB Zainul Majdi menjadi cawapres di Pilpres 2019 tipis. Menurutnya, Zainul tidak memiliki posisi strategis dalam kepengurusan partai. Di Demokrat pun bukan di posisi pengambil keputusan di partai, sehingga untuk menuju pentas Capres dan Cawapres akan kesulitan.
Apalgi kalau “bicara politik di masjid, ulama jangan berpolitik! Jangan campur agama dengan politik! Demikian sebagian orang berpendapat. Menjadi menarik, di saat kata-kata seperti itu sering terdengar, kita menyaksikan sosok Tuan Guru Bajang (TGB) Dr. H. M. Zainul Majdi, seorang ulama alumni Universitas Al-Azhar Mesir sekarang menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).
Politik itu bagi Tuan Guru Bajang (TGB) Dr. H. M. Zainul Majdi adalah ranah perkhidmatan. Jadi ruang untuk kita mengabdi dan berdakwah. Bagaimana dakwah dalam politik itu? Pertama, merumuskan kebijakan-kebijakan yang memenuhi kaidah-kaidah kemaslahatan, nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan spiritualitas. Islam itu dalam kepemimpinan mengajarkan innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan. Pemimpin itu harus mampu menelurkan kebijakan yang adil dan mampu memfasilitasi kelompok-kelompok yang lemah. Bisa memberikan keberpihakan lebih pada mustadh ‘afin (orang yang dilemahkan). Wayanha anil fahsya iwal munkar (mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar). Pemimpin itu tidak boleh memfasilitasi kekejian atau membuat regulasi-regulasi yang semakin tersebarnya kemunkaran.
Kedua, menghadirkan keteladanan yang baik kepada masyarakat. Ketiga, memfasilitasi inisiatif kebaikan-kebaikan masyarakat. Banyak inisiatif dari masyarakat yang lahir, tumbuh dan berkembang, tapi kalau itu tidak dirajut, dia hanya menjadi inisiatif pribadi atau kelompok.
Bajang juga menilai, semoga kebermanfaatannya pasti akan berlipat ganda. Nah, fungsi pemimpin menjadi fasilitator untuk merajut inisiatif-inisiatif kebaikan itu..Jadi politik itu adalah ranah untuk memberikan nilai dakwah. Seluruh Muslim, siapapun dia, harus berdakwah, mengajak pada kebaikan. Dalam ruang apapun. Guru berdakwah dengan profesinya, pedagang berdakwah, politisi juga berdakwah. Kutif tirto.id
Bagi Tuan Guru Bajang bahwa politik adalah salah satu instrumen dakwah yang sangat penting. Karena di dalam politik ada perumusan kebijakan. Kita tahu bahwa di dalam negara hukum, kebijakan atau peraturan/ rule of law itu menjadi sesuatu yang sangat penting. Kalau keluar kebijakan yang salah karena pemegang otoritas kebijakan itu tidak mengerti untuk apa dia memimpin, tidak punya visi mengarahkan masyarakat, tidak punya tata nilai yang bisa menjadi pondasi bagaimana dia berpikir dan bertindak, maka kebijakan akan keluar enggak karu-karuan. Mungkin dia hanya memperhitungkan untung jangka pendek. Mungkin juga hanya mempertimbangkan bagaimana mendapatkan sebesar-besarnya PAD (Pendapatan Asli Daerah), walaupun sumbernya tidak jelas. Jadi penting sekali visi yang jelas bagi pemimpin kemana dia hendak berjalan dan nilai apa yang melandasainya dalam memimpin.
Apalagi, secara faktual, menurut Tuan Guru Bajang (2018) sendiri bahwa sudah melihat pandangan yang sengaja ditanamkan oleh para penjajah yang tahu betul kalau umat Islam itu punya visi politik yang baik, punya literasi politik yang kuat, dia melek politik, maka akan merepotkan kekuasaan mereka. Sebelum kemerdekaan kalau membangun masjid, silakan, kalau membangun pasar, diawasi, tapi kalau menghimpun diri dalam satu gerakan politik dihabisi. Kan begitu dari penjajahan dulu. Jadi ada pewarisan itu. Sehingga sebagian dari kita mungkin secara tidak sadar mengadopsi pandangan kolonial itu.
Namun perlu introspeksi juga. Ketika misalnya ada tokoh agama atau tokoh umat masuk ke ranah politik, lalu ternyata dia tidak menghadirkan sesuatu yang baik, justru dia menghadirkan kemudharatan, dan menjadi contoh kepemimpinan yang tidak punya integritas sehingga akhirnya masyarakat melihat dan mengeneralisir itu. Karena berlatar belakang dari partai Islam atau dia ustadz, lalu kok dia begini, berarti ustadz tidak boleh masuk politik. Jadi mengeneralisir kasus-kasus yang terjadi dan masyarakat tidak bisa disalahkan.
Mari bangun integritas dalam berpolitik supaya masyarakat tidak mendapat contoh yang buruk-buruk. Otomatis menurut saya kalau kita membangun politik yang baik, maka kepercayaan masyarakat akan semakin kuat dan tidak lagi ada ungkapan politik kotor. Karena pada akhirnya politik itu wadah. Bersih kotornya tergantung air yang mengisi wadah itu.
Bagi Tuan Guru Bajang berpendapat dalam wawancara dengan media bahwa, koalisi Keummatan dan Kebangsaan merupakan bagian dari kolaborasi Ulama dan umara yang sangat penting untuk kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat atau bangsa. Kalau kedua kelompok ini baik, maka masyarakat atau bangsa akan baik. Kalau keduanya bersinergi, maka masyarakat atau bangsa bukan hanya baik, tapi melejit, maju luar biasa. Jadi saling mengisi dan dalam posisi masing-masing bisa berperan katakanlah sebagai triger mechanism. Jadi dia bisa memicu.
Menurut Sobirin Malian (2018), bahwa ditengah kuatnya dorongan dan dukungan agar incumbent Jokowi mencalonkan kembali sebagai kandidat presiden yang akan datang, tetap saja muncul dari kelompok berlawanan yang menginginkan pemimpin alternatif. Tentu hal ini bukan tanpa alasan. Kelompok Islam, misalnya, sangat jelas tidak cukup puas dengan kepemimpinan yang ada. Di antaranya, anggapan bahwa umat Islam tidak mendapat cukup tempat selama ini. Paling tidak mereka merasa banyak aspirasi umat Islam yang tidak diperhatikan. Gelombang aksi massa seperti 212 atau gerakan sejenis wujud representasinya.
Hingga kini otak-atik alternatif itu masih terus dijajaki, seperti Partai Gerindra yang kembali mencalonkan Prabowo Subianto dan beberapa partai lain terus melakukan komunikasi untuk mendapatkan komposisi yang tepat sebagai pemimpin alternatif. Layak kiranya ada usulan pemimpin alternatif yang lebih mencerminkan kepentingan umat Islam. Di antara nama yang sering disebut adalah TGB (Tuan Guru Bajang) Gubernur Nusa Tenggara Barat atau dengan nama asli M Zainul Majdi. Sosok ini sejatinya sudah cukup populer, tetapi belum setenar “pemain” lama dalam politik. (Sobirin Malian, 2018)
Melihat sepak terjangnya Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi yang cerdas, menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab sangat fasih, hafidz Quran, berakhlak baik, berpengalaman dalam pemerintahan, dan belum memiliki cacat etika, moral politik. Layak kiranya sosok ini diusung sebagai figur alternatif. Kini terlihat beberapa daerah (komponen masyarakat) seperti Sumatra Barat dan Aceh terkesan dengan gaya kepemimpinannya dan siap mendukung bila TGB mencalonkan diri sebagai Presiden. (Sobirin Malian, 2018)
Jika mengacu kepada teori-teori kepemimpinan, TGB tergolong dalam pemimpin “Teori Sifat”. Model kepemimpinan semacam ini sukses karena kekuatan dan kemampuan pribadinya. Kemampuan dan kekuatan pribadi di sini adalah kualitas seseorang dengan ciri pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, objektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, dan berorientasi ke masa depan (Sondang P.Siagian, 1994).
Walaupun “Prophet Mission” ini banyak dikritik karena juga memiliki sejumlah kelemahan seperti terlalu bersifat deskriptif dan dianggap teori yang sudah kuno. Namun, apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung di dalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri, atau perangai pemimpin, justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan keteladanan. Nah, di tengah sulitnya mencari sosok keteladanan di negara kita saat ini, sosok TGB dapat menjadi aternatif pilihan bagi rakyat Indonesia. Karena sosoknya sangat luar biasa penguasaannya terhadap apapun masalah kenegaraan. Ya, itulah Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majid yang terpenuhi kriteria “Prophet Mission yang Humble.” *SS