Oleh : Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
(Serial Kajian Ilmiah V)
SwaraSenayan.com – Apakah Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi bersama organisasi Nahdatul Wathan, pasca Gubernur Nusa Tenggara Barat nanti bisa memainkan peran sejarahnya pada paruh abad, akan sangat tergantung seberapa besar gerakan ini berhasil melakukan revitalisasi dirinya sendiri.
Revitalisasi ini berkaitan dengan perumusan agenda pemikiran dan aksi sosial kebudayaan yang belum pernah dilakukan di awal kelahirannya. Gelombang peran sejarah Nahdatul Wathan sangat perlu dilakukan.
Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi sebagai pioner ulung gerakan ini harus mengagas orientasi masa depannya untuk melanjutkan pembaharuan organisasi ini. Mengingat selama 10 tahun terakhir energi Nahdatul Wathan ini ditumpahkan pada ekpresi keberpihakan politiknya.
Baca juga : https://www.swarasenayan.com/tuan-guru-bajang-dan-proses-divestasi/
Baca juga : https://www.swarasenayan.com/apakah-pt-dmb-mengalami-kerugian/
Baca juga : https://www.swarasenayan.com/tgb-makrifat-yang-futuristik/
Baca juga : https://www.swarasenayan.com/tgb-setiap-orang-harus-bisa-menjadi-guru-sosial-budaya-transformasi-tuan-guru/
Maka, pembaharuan kembali sebagai tafsir ulang revolusi yang telah dimulai dari Pancor Lombok Timur itu. Berkaitan dengan itu pula, perlu: (1) redefinisi pembaruan Islam, (2) konseptualisasi metodologi ijtihad, (3) kesadaran kekuatan diri, dan (4) reposisi Nahdatul Wathan dalam pentas politik nasional.
Keempat masalah tersebut di atas akan berkaitan dengan beberapa persoalan. Salah satu yang terpenting ialah masalah metodologi ijtihad sebagai wilayah epistemologi gerakan. Hal ini melibatkan doktrin teologi Sunnistik bagi Nahdatul Wathan yang mesti ditinjau ulang karena kurang sesuai ide pendirian, sejarah, orientasi dan pengujian gerakan yang mengusung keadilan dan kebenaran.
Sebenarnya, konsep metodologi TGKH Zainuddin Abdul Madjid yang kritis, liberatif, dan pragmatis dalam perjuangan sudah bisa dibuktikan bersama gekar pahkawannya. Kritis ketika TGKH Zainuddin Abdul Madjid menerapkan akal suci yang dibangun dengan filsafat sebagai jalan memahami Al-Quran. Liberatif karena tafsir atas Al-Quran tersebut dihubungkan dengan aksi pemberdayaan umat melalui amal-usahanya yang terbuka menerima tradisi dan ide dari mana pun sumbernya, termasuk dari kalangan pemerintah kolonial, elite kompeni belanda dan Jepang. Dan, pragmatisnya karena pada akhirnya tafsir dan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan itu harus benar-benar mampu memecahkan persoalan aktual yang dihadapi umat.
Metodologi itulah diwariskan kepada Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi sebagai cucu bahwa gerakan Nahdatul Wathan perlu melancarkan praktek pembaharuan lebih jauh kedepan, perbaiki perilaku keagamaan umat dinegeri ini sampai pada apa yang dulu diperjuangkan. Harus kembali, apalagi gelar pahlawan sangat dominan dalam arus pemikiran umat Islam. Harapannya, ya tentu tidak kering metodologi sebagai basis pergerakannya. Mengingat entitas politik lebih mewarnai.
Kepercayaan, praktek ritual, dan hidup sosial umat itu kini merupakan bentuk-bentuk amal ibadah yang diperjuangkan gerakan ini. Rasionalisasai pragmatis pengamalan Islam sudah merupakan pola perilaku sosial-keagamaan pemeluk Islam di Indonesia saat ini.
Dari praktek salat (tarwih dan ied) pengelolaan masjid, khususnya khutbah, zakat, puasa, dan haji, sudah dilakukan dengan pendekatan rasional, pragmatis, dan sistematis, sesuai dengan tujuan personal dan sosial yang hendak dicapai Nahdatul Wathan.
Berbagai praktek ritual slametan, tahlilan, upacara walimahan, aqiqah, sunatan, dilakukan umat atas pertimbangan rasional dan pragmatis. Amal sosial, pendidikan, kesehatan, pemeliharaan anak yatim, hingga pemberdayaan perempuan, merupakan bentuk penerimaan umat atas apa-apa yang selama ini dipelopori Nahdatul Wathan.
Saat ini, tidak ada lagi umat Islam yang menolak sistem sekolah, hingga dunia pesantren pun mengembangkan sistem madrasah dan sekolah. Perubahan undang-undang Sisdiknas bahkan telah mengubah pesantren menjadi jalur sekolah yang sebenarnya tidak harus terjadi.
Umat dari beragam golongan dengan suka cita mengelola zakat maal, zakat fitrah, dan kurban, seperti halnya khutbah dengan bahasa Indonesia atau Jawa dan daerah lainnya bersama pengelolaan masjid dengan organisasi modern serta solat hari raya di tempat terbuka. Berbagai bentuk tradisi ibadah telah dikelola secara modern, seperti ibadah haji, pengajian, sampai tahlil dan istighosah.
Walaupun demikian, tidak banyak umat Islam yang secara formal mengaku sebagai pengikut Nahdatul Wathan. Pada saat yang sama, kultur keagamaan yang sejak mula berdirinya dikembangkan Nahdatul Wathan, kini sudah menjadi milik publik muslim Lombok dan negeri ini. Sebaiknya, hindari sektoral leadership dalam membina dan mengelola umat.
Berbagai pemikiran baru dan isu-isu keagamaan Islam bermunculan dari mereka yang tidak bisa disebut sebagai warga Nahdatul Wathan dalam arti mempunyai kartu tanda anggota atau pun aktif dalam jaringan kelembagaan organisasi ini.
Dalam situasi itulah, Nahdatul Wathan perlu menginput kritik dari luar karena tidak lagi menjadi produsen isu-isu pemikiran Islam kontemporer. Tetapi lebih pada pragmatisme melalui proyeknisasi kapital untuk membesarkan gerakannya. Padahal nafas, gerakan organisasi Islam itu perlu dikritik kalau dianggap gagal menumbuhkan kekayaan spiritual keagamaan.
Sementara di bidang politik memang belum banyak kader yang menduduki posisi penting dalam tubuh partai dan pemerintahan, tapi gerakan ini selalu terlibat aktif dalam dinamika politik lokal DI NTB dan tingkat nasional.
Nahdatul Wathan dengan satu perguruan tinggi (PTNW) Mataram belum bisa disebut terlibat aktif dalam penelitian dibidang sosial dan iptek. Nahdatul Wathan lebih sebagai konsumen produk iptek dan belum berhasil menyusun konsep pendidikan ideal yang menyatukan semua ilmu sebagai bentuk pengamalan Islam yang diyakini sebagai referensi sempurna tata kehidupan duniawi yang menjadi bagian integral nasib manusia di akhirat. Dalam bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan, apa yang dimulai Nahdatul Wathan dengan sangat jelas telah digantikan oleh negara. Artinya peran Nahdatul Wathan belum begitu dominan untuk lakukan revolusi sosial berbasis pendidikan, budaya, ekomomi dan politik yang dikembangkan itu.
Pertanyaan yang penting diajukan saat ini ialah bagaimana gerakan ini memainkan peran “Revolusi Sosial” yang telah dimulai sebelumnya oleh TGKH Zainuddin Abdul Madjid dari Pancor Lombok Timur dengan respon terhadap dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan iptek, ketika semuanya sudah sesuai cita-citanya semula.
Pertanyaan ini manandai bahwa Nahdatul Wathan belum berhasil memahami ide dasar gerakannya ketika dilahirkan TGKH Zainuddin Abdul Madjid. Gerakan ini hanya menangkap bentuk pembaharuan TGKH Zainuddin Abdul Madjid, tetapi belum dengan baik memahami ide dasar atau isi dari pembaharuan TGKH Zainuddin Abdul Madjid itu sendiri.
Karena itu pertanyaan pentingnya ialah apakah Nahdatul Wathan tetap meletakkan dirinya sebagai gerakan pembaharuan Islam?. Hal ini mengandung resiko politik dan juga resiko sosial yang hampir mustahil gerakan ini memperoleh pengikut yang besar dari mayoritas umat.
Seharusnya, ide-ide pembaharuan akan selalu bersifat kritikal dan karena itu asing dan terasing dari publik umat, namun bukan berarti gerakan ini tidak peduli pada nasib mayoritas umat yang masih miskin, sakit-sakitan dan berpendidikan rendah. Nahdatul Wathan sudah harus merasa berhasil ketika banyak lembaga dan organisasi Islam memberdayakan umat atau melancarkan gagasan baru Islam bagi kemanusiaan, seperti post-tradisionalis di kalangan generasi muda NU.
Penting dicermati kembali butir-butir konsideran pendirian Nahdatul Wathan tentang keharusan gerakan menempatkan diri sebagai “Retrospeksi dan Revolusi Pancor”, bukan hanya di Indonesia, melainkan di dunia. Banyak lagi contoh bagaimana umat negeri ini melakukan apa yang dulu dimulai gerakan ini dari kesetaraan gender, rumah sakit, pendidikan dan advokasi sosial umat.
Jika Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi kukuh menempatkan dirinya sebagai peletak “Revolusi Sosial Pancor”, hendaknya memainkan peran politik secara langsung pada level nasional. Tentu, harus melalui keadaban politik untuk menegasikan perubahan nasional Indonesia.
Melihat Bajang, sudah ada komitmen pada jati dirinya sebagai lokomotif politik santri yang selalu memperoduksi gagasan baru tentang bagaimana Islam, negara dan bangsa benar-benar mempunyai fungsi pemecahan persoalan rakyat dan kemanusiaan, khususnya pemeluk Islam di negeri ini.
Sudah tentu bagi Bajang untuk memenuhi tanggung jawab “Revolusi Sosial Pancor Untuk Indonesia” tersebut, harus memiliki kekayaan materiel, moral-spiritual, dan intelektual, serta kelembagaan. Kekayaan materiel adalah jaringan infrastruktur organisasi dan pendidikan Islam yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Kekayaan moral-spiritual, karena pemikiran rasional, kritis dan pragmatis sudah mentradisi dalam kehidupan warga Nahdatul Wathan ini.
Sayangnya Nahdatul Wathan kadang tidak menyadari kekuatan dirinya dan secara terencana menjadikan hal itu sebagai basis langkah “Revolusi Sosial” secara sistematis dan terencana. Kekayaan intelektual bisa dilihat dari ribuan sarjana yang banyak di antaranya bergelar doktor di berbagai bidang ilmu, selain yang ahli dalam bidang Islam klasik.
Kekayaan kelembagaan karena gerakan “Revolusi Sosial” ini memiliki sistem organisasi dan kelembagaan yang bekerja secara managerial dan mobilitas secara terkendali.
Modal-modal dan syarat “Revolusi Sosial Pancor Untuk Indonesia” sudah terpenuhi. Namun, apakah Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi hanya akan dijadikan kebanggaan ataukah dijadikan landasan bagi gerak di dalam kehidupan dunia politik yang semakin terbuka dan global. Mari rebut nalar heroisme sebagai bentuk realisasi vission dan mission “Retrospeksi dan Revolusi Sosial Pancor Untuk Indonesia.” *SS