Oleh : Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
(Serial Kajian Ilmiah XI)
SwaraSenayan.com – Lagi pula, sebagai alat buat memprediksi hasil pemilihan umum, jajak pendapat profesional baru muncul pada pertengahan 1930an di Amerika Serikat, ketika Robert Gallup memperkenalkan metode anyar buat mengambil sampel, menggantikan cara majalah Literary Digest yang naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata. Selain perkara biaya, ada pula kemungkinan teknik-teknik survei itu belum menyebar sampai ke Indonesia. (Ibid et al, tirto.id)
Menurut Marcus Mietzner dalam artikelnya “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” yang diterbitkan Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia edisi 165 jilid 1 (2009), lembaga-lembaga jajak pendapat dengan tujuan-tujuan politik lazimnya hanya lahir di negara-negara yang memenuhi dua syarat dasar. Pertama, warganya mesti mempunyai kebebasan sipil dan politik yang substansial..Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat, sebab ia dianggap mencerminkan, bahkan dapat memperburuk, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah,” tulis Mietzner.
Kedua, survei profesional bergantung pada metodologi yang dirancang secara seksama, peneliti-peneliti yang berpengalaman, dan responden dalam jumlah besar. Tetapi di banyak negara berkembang, kata Mietzner, ongkosnya seringkali tidak tersedia.
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-retrospeksi-dan-revolusi-pancor-untuk-indonesia/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tuan-guru-bajang-seorang-prophet-mission-wong-agung-yang-humble/
Perubahan dalam perpolitikan Indonesia sejak jatuhnya rezim Soeharto telah memberikan ruang demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan lahirnya era Reformasi, di mana Indonesia menjadi negara yang kian menghargai hak-hak warga negaranya terutama dalam menentukan pemimpinnya.
Menguji.survey sama dengan perasaan kita ingin masuk surga. Tetapi, setiap orang berkeingian masuk surga tentu ada penghalang dan pengujian, sejauh mana manusia itu memiliki insting konsistensi dan keimanan yang kuat.
Menurut J. Eliseo Rocamora dalam bukunya Nationalism in Search of Ideology: The Indonesian Nationalist Party 1946-1965 (1975) bahwa wajar jika Indonesia pra-reformasi tidak mengenal tradisi survei politik. Pada masa awal Republik (1950-57), demokrasi parlementer memang telah berdiri. Namun, partai-partai politik yang bekerja dalam sistem itu kekurangan keterampilan serta dana buat mengerjakan survei-survei atas para pemilih.
Begitu pun dengan survey, menguji hasil terhadap validitas model survey sangat perlu dan penting sekali. Dalam lembaga survey metodologi memang syarat dari kerahasiaan sebuah aneka survey, namun yang bisa dipublikasikan ke publik adalah sistem pengujian validitas dan hasil survey itu sendiri.
Ada banyak ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen atau pengujian sebuah metorologi. Pengujian hasil itu bukanlah final, justru yang harus divalidasi terlebih dahulu adalah kesahihan metodologi. (Arikunto, 1993:22).
Banyak instrumen survei yang baik memiliki tingkat kevalidan tinggi, sebaliknya instrumen survei yang buruk memiliki tingkat kevalidan rendah. Instrumen survei yang baik akan menghasilkan data yang benar yang akan mengantarkan peneliti pada suatu kesimpulan penelitian yang sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya, instrumen survei yang buruk akan menghasilkan data yang tidak benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bermula dari instrumen yang buruklah ketetapan “garbage in garbage out” berlaku. (Susiana, 2014:5)
Namun, banyak lembaga survey bermunculan tanpa status yang jelas. Baik berbadan hukum maupun tidak. Lembaga survey itu ibarat media elektronik, perbedaannya ada dia yakni media mainstream dan lokalitas media. Kalau media mainstream tingkat kevalidan dan kecanggihan serta pesan berita sangatlah elegan dan bernas. Tetapi, lokalitas media kadang tidak tersaring dengan baik, mulai dari jumlah wartawan, pos berita, kanal berita, penulisan hingga penyajian berita.
Kalau ditingkat nasional, raja survey itu termasuk Lingkaran Survey Indonesia (LSI) margin error capai diangka rata – rata 0,2% seperti pilkada DKI jakarta beberapa tahun lalu. Tetapi, banyak juga lembaga survey yang tidak menjamin tingkat kredibilitasnya.
Beberapa kali, pendiri LSI Denny JA memposting berita-berita Tuan Guru Bajang dan aneka survey LSI yang melibatkan nama besar Tuan Guru Bajang. Tentu survey bukanlah dasar untuk optimis mendapat tiket maju dalam pilpres 2019 mendatang. Namun, justru yang menentukan adalah usaha Tuan Guru Bajang harus lebih dikencangkan.
Perdebatan lembaga survey ini sangatlah nampak pada inperiority bagi peneliti. Kadang egoisme bermunculan, seolah tak ada yang salah. Sebenarnya, lembaga survey itu menganalisa, bukan membuat keputusan menang atau kalah dalam hitungan angka. Karena sesungguhnya lembaga survey hadir itu bukan untuk memenangkan kandidat. Tetapi mendidik rakyat agar lebih objektif dalam memilih.
Sebetulnya, secara teori dalam konteks dasar-dasar ilmu sudah tentu berbeda. Kalau survey cabang ilmunya matematika dan statistika terapan. Sementara opini publik cabang ilmu Komunikasi Politik, bisa ilmu kebijakan publik.
Terbukti, opini publik tanpa survey terbentuk ketika Ustadz Abdul Somad (UAS) secara terang-terangan mendukung Tuan Guru Bajang (TGB) sebagai calon presiden (capres) atau wakil presiden (wapres) Indonesia. Ustadz Somad tidak menyebut capres lain seperti Prabowo Subianto, Joko Widodo, atau yang lainnya secara terbuka kepada publik. Tapi, malah memilih seniornya di Universitas Al-Azhar, Mesir, itu.
Tentu syarat opini publik itu terbentuk dengan menentukan berbagai kesempatan mengisi ceramahnya Ustadz Abdul Somad (UAS) menyelipkan dukungannya untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2019. Ustadz Abdul Somad (UAS) memainkan opini dan konsumsi media dengan metode testimoni, metode pemberian tekanan citra atau menilai TGB sebagai sosok yang mumpuni dalam memimpin bangsa jika melihat rekam jejaknya dalam membangun NTB selama dua periode.
Sudah jelas cara Ustadz Abdul Somad (UAS) membuat opini publik, jika setiap ceramahnya: “Kita mengenal Tuan Guru Bajang, doktor tafsir hadis dari Al Azhar Mesir, sekarang ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia. Hapal Al-Qur’an, 30 juz di kepala, ulama ahlus sunnah wal jamaah. Insya Allah jadi calon wakil presiden.” Tentu testimoni ini selalu viral melaluinjaringan sosial media seperti berita online, facebook, twitter, WhatsApp, line, dan lain sebagainya.
Perbedaan cara Ustadz Abdul Somad (UAS) dengan lembaga survey sudah jelas. Keseringan lembaga survey membodohi rakyat itu karena mencampuradukkan survey dengan opini publik. Padahal sangat berbeda. Survey tujuannya untuk menguji keterpilihan masyarakat menyukai sala satu calon dalam hitungan angka. Sementara opini publik analisa kata-kata yang berbasis pada visi misi seorang kandidat, lalu outputnya pada promosi. Namun, sangat sering lembaga survey keluar dari jalurnya yakni menggunakan survey untuk mendulang opini publik dan alat untuk promosi sala satu kandidat. Lembaga survey kebanyakan ibarat Sales Promotion Girl (SPG) yang banyak di mall-mall. Pada fungsi, peran dan tugasnya tidak begitu.
Untuk menghasilkan instrumen survei yang baik, setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, instrumen survei sebaiknya disusun berdasarkan landasan teori yang tepat seperti matematika terapan, statistik terapan, metode kuantitatif dan metode sampling random.
Kebanyakan lembaga survey menggunakan sampling random, sistem acak. Sistem ini banyak menemukan kesalahan dalam menyusun rangkaian, jadwal, instrumen, dan pembiayaan survey. Problem dilapangan tak bisa dihindari seperti surveyor yang tak jujur, asal cepat selesai terkadang responden dibuat sendiri atau didatangi objek responden lalu menggurangi pertanyaan. Selebihnya, lembaga survey mengatur pertanyaan sesuai keinginan. Di situlah tidak memenuhi unsur kevalidasian survey.
Langkah ini bisa dimulai dengan melakukan studi pustaka untuk menentukan sejumlah variabel suvey yang akan dikaji. Perlu diingat bahwa variabel ada yang terukur dan tidak terukur. Kita dengan mudah menilai suatu variabel jika variabelnya terukur. Sebagai contoh, variabel berat badan balita, kita dapat mengukurnya dengan mudah dengan cara menimbangnya. Tetapi, untuk variabel yang tidak terukur, kita masih membutuhkan sejumlah indikator untuk mengukurnya. Sebagai contoh, untuk mengukur variabel derajat rumah sehat berpendapat, kita membutuhkan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan derajat rumah sehat itu sendiri. Misalnya, jenis dinding, luas lantai dan jenis atap. Instrumen survei yang disusun berdasarkan kerangka acuan yang jelas atau landasan teori yang tepat akan menghasilkan instrumen survei yang memenuhi kriteria validitas logis. (Mulyana, 2005:41)
Selanjutnya, instrumen survei tidak cukup hanya memenuhi kriteria validitas logis. Instrumen survei juga harus valid secara empiris (validitas empiris). Pada tahap inilah perlunya instrumen survei diuji cobakan sebelum digunakan untuk survey sesungguhnya. Berdasarkan uji coba instrumen ini, validitas empiris akan tinggi jika: pertama, sasaran survei yang diteliti sudah sesuai dengan tujuan suvey. Kedua: Pertanyaan yang disusun dalam instrumen survei mempunyai alur yang baik. (LSI, 2003:44)
Kalau lembaga survey menjagokan Tuan Guru Bajang karena dinilai sukses dalam memimpin NTB dan memiliki peluang lebih besar untuk pemimpin nasional. Maka lembaga survey tersebut, mulai melihat mengamati dari pengentasan kemiskinan, membangun ekonomi, membangun budaya, hingga menjadi tokoh di balik rencana konversi Bank NTB menjadi bank syariah. Itu sala satu contoh variabel lembaga survey untuk mengetahui kadar seseorang yang dipersiapkannya.
Dari variabel itu, dapat menentukan instrumen survey berdasarkan potensi dan kelemahan seseorang sebagai objek survey. Sudah tentu validitas empiris yang baik dapat mengidentifikasi variasi jawaban responden disebabkan oleh struktur pertanyaan yang difahami oleh responden.
Hal ini bisa diketahui dari keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain atau antara indikator yang satu dengan indikator yang lain yang disusun dalam instrumen survei.
Sebaliknya, jika instrumen survei tidak difahami oleh responden akan menghasilkan variasi jawaban responden yang tidak menunjukkan keterkaitan antar variabel atau indikator yang diteliti. Dalam hal ini, variasi data dihasilkan dari ketidakmengertian responden terhadap maksud pertanyaan yang dinyatakan dalam instrumen survei.
Jika tujuan dan maksud pertanyaan itu menunjuk sosok seseorang sesuai keberhasilan dan prestasi, maka 60 porsen rakyat sudah mengenalnya, sedangkan 4 porsen ingin mengetahui prestasinya. Nah, apabila nama Tuan Guru Bajang sudah beredar dihasil survei sejumlah lembaga survei politik. Maka korelasi pertanyaan dan keterkenalan Tuan Guru Bajang karena dikenal: santri, penghafal al-Qur’an dan pemimpin bernafaskan ulama.
Tentu gayung bersambut, ketika rezim pemerintahan Jokowi -JK menzolimi ulama dan kiyai, maka Tuan Guru Bajang muncul sebagai common enemy. Nah, ternyata dari dulu lembaga survey bekerja berdasarkan sikap common enemy. Apalagi namanya Tuan Guru Bajang muncul baik sebagai capres maupun cawapres meski persentase elektabilitasnya belum setinggi tokoh senior seperti Jusuf Kalla.
Secara rumus konstanta dan hasil statistik terapan secara kualitatif bisa mendowgrade seseorang melalui simulasi survey, seperti hasil survei yang dirilis LSI Denny JA, nama TGB masuk nominasi cawapres bersama Muhaimin Iskandar. Jarak persentase keduanya tidak terlalu jauh meski TGB belum melakukan langkah-langkah strategis seperti yang sudah dilakukan Muhaimin.
Begitupun dari survei Median yang dipimpin Rico Marbun, nama TGB sudah muncul bersama politisi-politisi lainnya seperti Agus Harimurti Yudhoyono. Angkanya memang belum tinggi namun nama TGB sudah masuk radar survei-survei lembaga survei politik besar dengan mengikuti elektabilitas tokoh-tokoh berpengaruh lainnya..Di basis tersebut, elektabilitas Anis Matta sebesar 1,5 persen. Di ikuti Fahri Hamzah 0,9 persen, TGB Zainul Majdi 0,8 persen, Ahmad Heryawan 0,6 persen, Mahfud MD 0,5 persen, Rhoma Irama 0,3 persen, dan Muhaimin 0,2 persen.
Untuk mengetahui tingkat validitas empiris instrumen survei diatas, bagaimana cara?, maka ada dua cara yang dapat digunakan untuk menilai hasil aurvey diatas, yakni: Pertama, mengukur keterkaitan variabel survay dengan variabel lain yang dijadikan sebagai validator. Misalnya, untuk mengukur prestasi seseorang pada pemerintahan yang dipimpinnya, maka surveyor itu bisa mengukur keterkaitan prestasinapa yang telah diraihnya dengan rata-rata nilai penghargaannya. Dalam hal ini, rata-rata nilai penghargaannya dijadikan sebagai validator. Dengan cara seperti ini, peneliti mengukur validitas eksternal dari instrumen survei.
Cara yang kedua adalah dengan mengkaji jawaban setiap item pertanyaan yang diajukan dalam instrumen survei. Validitas yang dihasilkan dengan cara ini dinamakan validitas internal. Perlu diketahui bahwa instrumen survei mungkin saja disusun berdasarkan beberapa faktor (variabel) yang masing-masing faktor (variabel) itu diukur lebih lanjut oleh beberapa indikator.
Maka karena itu, dari dua cara pemecahan masalah dan memvalidasi metodologi diatas, nanti pasti akan muncul zona aman, zona merah, zona hijau, dan zona kuning. Dari potensi zona itu dapat diketahui kelemahan dan kelebihannya dimana?. Misalnya satu contoh: pada suatu daerah NTB, ternyata TGB mengalami penurunan suara dan sangat tipis berkisar 10,20 porsen. Maka Tuan Guru Bajang harus amankan suara rakyat NTB diatas ada 3 juta lebih. Setelah itu, baru kemudian Tuan Guru Bajang datangi kantong-kantong suara Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan daerah-daerah lainnya. Setidaknya, di tiga provinsi di Jawa itu sudah ada 60 juta suara yang bisa dikejar untuk mendukung Tuan Guru Bajang.
TGB merupakan figur yang sangat tepat dan membawa angin segar untuk perubahan Indonesia lebih baik ke depan. Harapannya, TGB mampu membawa Indonesia baru karena latar belakangnya sebagai ulama dan umara.
Jokowi sebagai capres untuk Pilpres 2019. Jokowi jelas sangat membutuhkan figur cawapres dari kalangan Islam, yang sejauh ini masih melekat pada Jusuf Kalla. Sejumlah politis dari partai Islam mencoba menarik perhatian Jokowi untuk menyandingkannya pada Pilpres 2019.
Salah satu “juru masak” penting situasi politik yang melingkupi praktik pemilihan umum adalah lembaga-lembaga survei politik. Lewat berbagai survei yang mereka kerjakan sejak sebelum pemilihan (popularitas dan elektabilitas), hitung cepat suara, hingga exit poll, mereka dapat mempengaruhi pandangan publik sekaligus strategi para kontestan untuk memenangkan hati rakyat. (Ibid et al, torto.id)
Melihat situasi saat ini, Tuan Guru Bajang muncul dalam Survei POLCOMM yang dilaksanakan mulai 18 Maret – 21 Maret 2018 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan margin of eror sebesar 2,83%. Hasil survei menunjukan siapa yang akan dipilih responden pada Pilpres 2019 mendatang bahwa TGB Zainul Majdi meraih 1,75% diatas Gubernur DKI Anies Baswedan 1,58% dan Agus Harimurti Yudhoyono 0,75.
Selain itu, jika pilpres dilaksanakan saat survei berlangsung dengan pertanyaan terbuka, maka TGB dipilih Zainul 2,00%, Anies Baswedan 1,55% dan Agus Harimurti 0,83%. Tentu, tidak mustahil bahwa hasil survey diatas ini tidak menutup kemungkinan mengalami perubahan yang berpotensi mengalahkan petahan dari sisi issu yang muncul.
Dari sisi survei lainnya, apabila dilakukan pada 24 Maret-6 April 2018. Survei menggunakan 1.200 responden yang merupakan warga yang memiliki hak pilih dengan margin of error sekitar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel survei dipilih secara random dengan teknik multistage random sampling dan proporsional atas populasi provinsi dan gender. Quality control dilakukan terhadap 20% sampel yang ada. Survei dengan pertanyaan semi terbuka menunjukkan elektabilitas capres terkuat saat ini, TGB kebagian nomor urut ke 10 dari capres terkuat, yakni: Joko Widodo : 36,2%, Prabowo Subianto : 20,4% dan TGB Zainul Majdi: 1,5% (Baca Survay Median).
Sementara, Median menilai elektabilitas cawapres TGB Zainul Majdi: mendapatkan 2,5%. Dalam tangga capres, ada tokoh yang mengalami kenaikan dan penurunan suara menjelang pilpres, berikut ini data hasil lengkapnya. Tokoh dengan tren kenaikan terbesar dibandingkan Februari 2018, bahwa TGB Zainul Majdi mendapatkan 08% jadi 1,5%.
Kemudian, Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis elektabilitas Tuan Guru Bajang masih 0,7 persen. Sementara Survey Kompas nama TGB Zainul Majdi peroleh 2,2 persen. Tentu masih banyak lagi aneka survey lainnya.
Yang perlu ditegaskan bahwa Lembaga survey bersifat supporting dan independen. Seluruh model dan bentuk survey, baik survey politik, ekonomi dan marketing menjadi yang harus tersimpan oleh lembaga yang bersangkutan.
Yang pasti, mendiskusikan hasil survei yang berniat menelanjangi surveyor atau mencari kesalahan lembaga karena kecemburuan terhadap suatu kandidat, berarti sama dengan memunculkan opini publik hingga meluas untuk seseorang kandidat yang mereka targetkan untuk donwgrade.
Diskusi hasil survei ada yang bisa dan ada yang tidak. Yang bisa di diakusikan itu ketika hasilnya diperuntukan untuk eksternal. Yang tidak diakses publik, apalagi diskusikan bersifat internal. Karena bersifat internal adalah kerahasiaan kandidat yang mereka usung.
Semoga Tuan Guru Bajang yang berada dalam aneka survey dan munculnya opini publik, bisa membentuk kalkulasi elektabilitas yang di inginkan, walapun elektabilitas itu kategori dagelan politik. Semoga Tuan Guru Bajang bisa menghitung kalkulasi popularitas dan elektabilitasnya. *SS
