SwaraSenayan.com. Menurut catatan BPS sektor telekomunikasi adalah salah satu. pemicu inflasi ditahun 2015 dan 2016 hingga 0,7 persen antara lain karena tingginya tariff interkoneksi lokal antar operator dan menyebabkan pengeluaran biaya kebutuhan komunikasi masyarakat melalui jasa telpon seluler dan fix line menjadi sangat mahal dan tidak efisien.
Presiden Joko Widodo yang punya visi besar untuk menciptakan infrastruktur telekomunikasi yang murah untuk mendukung pembangunan nasional yang tercatat dalam visi besar Trisakti Nawacita yang diamanatkan kepada Menkominfo untuk menurunkan tariff interkoneksi lokal sebagai cara menciptakan efisiensi dan menurunkan angka inflasi dari sektor telekomunikasi. .
“Namun sayang visi besar Presiden Joko Widodo harus kandas oleh ketidakpatutan dari Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga untuk bisa menjalankan program Trisakti dan Nawacita,” demikian ditegaskan Nur Afifin Muklis, SE Koordinator Masyarakat Pemantau Industri Telekomunikasi Indonesia kepada SWARA SENAYAN (8/9/2016).
Nur Afifin mengutip pernyataan Dirut Telkom Alex J Sinaga bahwa PT Telkom Tbk menolak dengan tegas atas Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Kemenkominfo pada 2 Agustus 2016 tentang penurunan biaya interkoneksi dari Rp 250 menjadi Rp 204.
Dirut Telkom Alex Sinaga mengatakan penolakan dan keberatan itu sudah disampaikan secara tertulis oleh Telkom dan Telkomsel kepada Kemenkominfo. Nur Afifin mengutip pernyataan Dirut Telkom yang mengatakan bahwa biaya interkoneksi yang baru itu (Rp 204) jelas merugikan Telkom, mengingat cost recovery Telkom menurut perhitungan konsultan, adalah Rp 285. Itu karena pihak Telkom membangun jaringan sampai ke pelosok Tanah Air, sedangkan operator lain membangun cuma di kota saja. Kenapa diperlakukan sama?
“Apa iya cost recovery sebesar itu kok aneh ya tariff interkoneksi di negara-negara jauh lebih murah,” tegas Nur Afifin.
Nur menyatakan, perlu dipertanyakan ngototnya Alex Sinaga dalam menentang keras revisi PP 52 dan 53 yang lagi hangat, sampai-sampai terbentuk opini kalau penurunan biaya interkoneksi lokal antar operator akan merugikan Telkom dan Telkomsel serta menguntungkan operator seluler swasta yang didominasi oleh pemilik modal asing.
Padahal, lanjut Nur, Telkomsel tidak sepenuhnya dimiliki oleh Telkom dimana 35% sahamnya dimiliki oleh Singtel, jadi alasan menguntungkan asing itu tidak benar. Sebab Bila sharing infrastruktur itu benar terjadi akan tercapai berbagai efisiensi dalam industri jasa telekomunikasi, tapi tidak demikian dengan untuk pemain Tower Provider, dan Vendor BTS.
Penyedia BTS akan sangat dirugikan dengan PP ini karena occupansi Tower akan merosot karena di setiap tower yang dimiliki penyedia tower potensi pelanggan berkurang, dimana salah satu operator menyewa dan dapat disharing kapasitasnya dengan operator lain.
Nur menjelaskan bahwa, jika pemerintah merevisi kebijakan biaya interkoneksi dan Revisi Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP No.52 Tahun 2000) serta Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (PP No.53 Tahun 2000), maka Penyedia Tower akan sangat menolak rencana kebijakan perhitungan biaya interkoneksi, network sharing, dan spectrum sharing, karena akan berdampak besar dengan pendapatan perusahaan Pengelola BTS.
Karena antar operator seluler melakukan sharing BTS nya, Network Sharing, sehingga tidak perlu menyewa pada provider BTS yang non operator Jasa Telepon Seluler. Perlu dicatat, bahwa valuasi perusahaan penyedia tower dipastikan tidak akan sekinclong saat ini. Perlu kita ketahui di Indonesia Tower Bersama Indonesia Group dan Protelindo merupakan dua perusahaan yang memiliki valuasi market bahkan lebih besar dari operator itu sendiri. Secara presentasi EBITDA bahkan dua perusahaan ini melampaui semua operator telekomunikasi di indonesia termasuk: TELKOM, TELKOMSEL, Indosat dan XL.
“Perlu dicurigai latar belakang menolak keras penurunan Tarif Interkoneksi ini karena ada tekanan dan ketakutan TBIG dan Protelindo yang berdampak pada pendapatan TBIG dan Protelindo akan menurun,” urai Nur.
Hal ini lumrah saja, Nur menilai karena ada hubungan dengan salah satu pemegang saham TBIG (pemilik Indonesia tower) dan Protelindo. Sebab kalau ditilik dalam sejarahnya TBIG lahir awalnya dari perkembangan FLEXY TELKOM dimana saat itu Alex Sinaga adalah Pimpinan dan pencetus TELKOM FLEXY yang saat ini frequency nya telah diambil alih oleh TELKOMSEL.
“Hubungan bisnis antara TBIG dan Protelindo yang dirintis Alex Sinaga perlu dicermati untuk menolak program besar Joko Widodo untuk mendorong efisiensi pada industri jasa telekomunikasi agar dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia,” ujar Nur.
Dari catatan yang dimiliki Indonesia Development Monitoring (IDM), sejak Alex J Sinaga menjadi CEO / Direktur utama TELKOMSEL memang hubungan antara TBIG dan Telkomsel sangat dekat yang berakibat pada beberapa penyedia Tower saja yang dapat membangun tower untuk Telkomsel dan lebih banyak dibangun oleh TBIG.
Dirut Telkom Alex J Sinaga sangat menolak penurunan tariff interkoneksi karena disinyalir kuat adanya hubungan bisnis dan hubungan baik dengan pemilik TBIG dan Protelindo selama ini sejak dia memimpin Telkomsel hingga menjadi Dirut Telkom.
Diduga, Nur menyebutkan, ini yang menjadi alasannya ngototnya Alex Sinaga menolak Penurunan Tariff Interkoneksi , tetapi hal itu wajar saja karena mungkin saja Alex Sinaga tidak ingin Asing masuk dalam bisnis Provider BTS sebab jika TBIG dan Protelindo menurun pendapatannya dan terpaksa harus menjual ke pemodal asing kan akhir makin semakin besar dominasi asing di sektor telekomunikasi, jadi mungkin ini yang pantas untuk menjadi alasan bagi Dirut Telkom dan Telkomsel. ■ss