SwaraSENAYAN.com. Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, New Zealand, dan sebagainya, pengaturan terhadap tanggung jawab sosial lebih ketat. Perusahaan harus seimbang memainkan dua wajahnya, sebagai korporasi yang mencari profit dan tanggung jawabnya sebagai sosial dalam turut serta membangun masyarakat.
Senafas dengan membuat aturan sosial tersebut, maka Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Tangung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibility (CSR) perlu ditata dan disesuaikan dengan perkembangan bisnis yang makin dinamis.
Untuk itu pengelolaan dana nya harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemanfaatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial harus diatur secara komprehensif. Jangan sampai terulang modus jeruk makan jeruk terhadap dana CSR oleh korporasi.
Demikian disampaikan Lalu Gede Syamsul Mujahidin anggota Komisi VIII DPR RI saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII dengan Prof. Dody Prayogo dari UI (26/4/2016).
Sekarang ada perusahaan yang justru menjalankan bisnis inti nya (core business) nya itu mengelola dana CSR, seperti Sampoerna Foundation, lebih dari 200 perusahaan dana CSR nya dikelola oleh Sampoerna Foundation. Kondisi ini, jika tidak diatur maka akan menimbulkan praktik-praktik manipulasi dana CSR yang seharusnya menjadi kewajiban (obligatory) berubah menjadi kesukarelaan saja (voluntary).
“Saya menekankan pentingnya audit dana CSR, harus ada lembaga pengelola dana khusus CSR baik di tingkat nasional maupun daerah, semacam BAZNAS-nya CSR lah,” kata Lalu Gede asal Dapil Nusa Tenggara barat (NTB).
Kalau tidak ada penyerahan dana CSR kepada lembaga tertentu, kata Lalu Gede maka praktek jeruk makan jeruk akan terus berlangsung, apalagi audit internal perusahaan susah diaudit oleh pihak luar, makanya relatif korporasi mengelak dari kewajibannya ini.
Meski namanya kewajiban, namun jika perusahaan abaikan terhadap tanggungjawabnya ini maka perusahaan akan terkena sanksi sosial.
“Makanya disinilah perlunya pengaturan sanksi sosial macam apa yang bisa dikenakan terhadap korrporasi yang lalai dan abai terhadap pembangunan masyarakat sekitar. Bisa saja punishment nya pemerintah mengumumkan kedalam daftar negatif CSR juga harus ada reward khusus bagi korporasi yang menunaikan kewajibannya,” tuturnya.
Lalu Gede juga menyorot soal pentingnya perencanaan dalam mengelola aspirasi masyarakat, biar benar-benar tersalurkan dana CSR tersebut untuk kesejahteraan sosial, bukan hanya jatuh kepada segelintir orang saja, atau jatuh ke tangan orang-orang yang mengatasnamakan masyakarat.
“Mekanisme pendistribusian dana CSR juga harus direncanakan berbasiskan aspirasi masyarakat lokal. Sehingga benar-benar terukur perencanaan dan realisasinya berapa kewajiban perusahaan dan alokasi kewajibannya yang harus dikembalikan kepada masyarakat,” kata Lalu Gede dari Fraksi Hanura. ■mtq