SwaraSENAYAN.com. Ketika kebijakan mengusik zona nyaman (comfort zone) yang selama ini mereka dapatkan, pasti akan menuai reaksi. Calo-calo kapal asing yang menikmati kebebasan beroperasinya kapal-kapal asing di perairan Indonesia kini terusik atas kebijakan Susi.
“Yang menginginkan kapal asing tetap bisa leluasa beroperasi di perairan Indonesia masih sangat banyak,” demikian Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) ketika dihubungi SwaraSENAYAN (4/4).
Para oknum pejabat menggunakan jabatannya untuk intervensi melakukan pembiaran operasi kapal-kapal asing di perairan Indonesia, disinyalir Susi mereka hidup dari situasi semacam ini. Karena itu, Susi yang diamanahkan mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan oleh Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan peraturan yang berani dan tegas terhadap praktik illegal fishing.
Untuk meminimalisasi praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing), Susi mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 56 tahun 2014 tentang penghentian sementara (moratorium) izin kapal eks asing dan Permen nomor 57 tahun 2014 tentang larangan transhipment atau bongkar muat ikan di tengah laut.
Menurut Susi, izin kapal eks asing dihentikan sementara karena banyak yang tidak melaporkan jenis dan jumlah ikan yang ditangkap. Selain itu, kapal eks asing pada kenyataannya masih dimiliki oleh asing. Perubahan bendera kapal menjadi bendera Indonesia ditengarai hanya untuk mengelabui petugas. Saat ini, hampir semua kapal penangkapan ikan eks asing sudah tidak lagi diperpanjang izinnya untuk beroperasi di perairan Indonesia.
Selanjutnya, untuk menghasilkan data yang akurat mengenai seberapa besar sebenarnya hasil tangkapan di laut, Susi juga mewajibkan pengukuran ulang bagi kapal-kapal nasional. Sebab, hampir sebagian besar pemilik kapal ternyata memanipulasi ukuran kapalnya.
Kapal yang sebenarnya berukuran 100 Gross Ton (GT) misalnya, hanya dilaporkan 20 GT. Dampaknya, jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan dan dipakai sebagai perhitungan penerimaan negara hanya seperlima dari total tangkapan.
Atas kebijakan tersebut yang menuai polemik, Susi menyatakan kebijakannya sudah betul. Berdasarkan catatan KKP, pertumbuhan PDB sektor perikanan tahun 2015 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan PDB salah satunya menunjukkan bahwa jumlah ikan yang ditangkap nelayan dan perusahaan perikanan meningkat dari sebelumnya. Ini berarti jumlah sumber daya ikan di laut cenderung meningkat.
Penghentian izin operasi kapal eks asing ternyata memberi kesempatan ikan untuk berkembang biak secara optimal. Anak-anak ikan pun memiliki peluang untuk tumbuh besar karena penggunaan pukat harimau (trawl) atau cantrang berkurang signifikan. Hasilnya, nelayan-nelayan yang hanya menggunakan perahu tanpa motor bisa menangkap ikan tanpa harus berlayar jauh ke tengah laut.
Meningkatnya kesejahteraan nelayan terindikasi dari nilai tukar nelayan yang meningkat signifikan pada tahun 2015. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata nilai tukar nelayan pada tahun 2015 sebesar 105,8, naik 2,75 persen dibandingkan rata-rata tahun 2014 yang sebesar 102,97.
“Nelayan makin sejahtera jika nilai tukarnya semakin besar,” tegas Susi.
Tanpa kebijakan yang berani tersebut, menurut Susi tidak mungkin PDB perikanan menjadi 8,96 pada kwartal akhir 2015, selama ini tidak pernah lebih dari 6. Nilai tukar nelayan dari 102 ke 107. Harga ikan juga sumbangkan deflasi 0,42. “Semua itu setelah asing berhenti, jadi mutlak kekuatan dalam negeri,” kata Susi.
Menurutnya, 3 angka indikator tersebut diatas membuktikan bahwa kebijakan yang diambil sudah betul. “Angka-angka indikator itu merefleksikan kebijakan saya sudah betul,” pungkasnya. ■mtq