SwaraSenayan.com. Menko Polhukam Wiranto menyatakan keseriusan pemerintah menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla), antara lain membentuk organisasi semi permanen yang secara tanggap menghadapi ancaman karhutla. Organisasi ini diharapkan dapat menyusun standar sebagai dasar penyusunan anggaran (APBD) pencegahan karhutla.
“Memang kita harus serius, termasuk membentuk organisasi semi permanen yang mengelola standar ini, mempersiapkan penanganan sebelum karhutla itu terjadi dan tanggap menanganinya. Kebakaran hutan dan lahan ini sudah menjadi ancaman bagi negara kita,” ujar Wiranto dalam Rapat Koordinasi (Rakor) membahas Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Kamis (22/9), di Jakarta.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah membahas masalah karhutla dalam Rapat Kabinet Terbatas. Dalam rapat tersebut diputuskan perlunya perubahan cara pandang dalam penanganan karhutla, dari pemadaman menjadi pencegahan.
Pencegahan karhutla memiliki pendekatan yang berbeda dengan pengorganisasian pemadaman karhutla, sehingga dibutuhkan lembaga baru yaitu Crisis Center. Pembiayaannya dapat diupayakan diluar APBN, misalnya dari industri perkebunan dan bantuan negara lain. Pencegahan karhutla menguntungkan dunia internasional, hal ini terlihat dari apresiasi dunia internasional kepada Indonesia karena tahun ini berhasil meminimalisasi terjadinya karhutla.
Cuaca kemarau basah yang terjadi pada 2016 ini sangat menguntungkan karena membantu meminimalisasi karhutla, sehingga Pemerintah memiliki tambahan waktu menyiapkan konsep pencegahan karhutla. Untuk itu, momentum langka ini perlu dipergunakan secara maksimal.
Perlu keterlibatan langsung berbagai stakeholder, baik itu Kementerian/Lembaga pusat, Pemerintah Daerah, perusahaan perkebunan, serta masyarakat yang bermukim disekitar kawasan hutan untuk pencegahan karhutla. Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga amat diperlukan dalam crisis center, khususnya untuk menjalankan fungsi pemadaman dini karhutla.
Karhutla terjadi secara berulang di 8 (delapan) provinsi rawan yaitu Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, dan hot spot selalu terindikasi di sejumlah desa yang sama. Pada 2015, areal kebakaran mencapai 3,1 juta hektar, meliputi lahan gambut, perkebunan sawit, dan hutan non-gambut, serta teridentifikasi sebanyak 21,930 (NOAA) dan 48,730 (Terra Modis) di 731 desa.
Biaya yang diperlukan untuk pencegahan karhutla jauh lebih rendah dibanding biaya pemadaman, dengan perbandingan sekitar 1:25. Biaya pencegahan umumnya digunakan untuk patroli, deteksi dini, manajemen hot spot dan fire spot, serta pemadaman dini. Biaya pencegahan bertambah seiring tingginya standar deteksi dan respon yang diberikan, namun tetap tidak sebesar biaya pemadaman.
Rakor pimpinan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang bertempat di ruang rapat Mahakam, Gedung Ali Wardana tersebut juga dihadiri oleh perwakilan TNI/Polri, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna.
Rencananya, rakor ini akan ditindaklanjuti dengan rapat berikutnya yang melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri. Hasil rapat tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada Presiden RI. ■MTQ