SwaraSenayan.com. Pembangunan infrastruktur merupakan sebagai bagian dari Nawacita Presiden Joko Widodo dalam menjalankan roda pemerintahan periode 2014-2019. Salah satu isi Nawacita adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Untuk itu, sejumlah langkah diperlukan tak terkecuali pembangunan infrastruktur. Pemerintahan Jokowi menargetkan pembangunan 2.000 kilometer jalan baru. Selain itu, akan turut dibangun masing-masing 10 bandara dan 10 pelabuhan di seantero tanah air.
Keseriusan tersebut juga diikuti dengan besarnya nominal anggaran infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika pada APBN 2015 anggarannya tercatat Rp 290 triliun, pada tahun ini jumlahnya melebihi Rp 300 triliun.
Demikian disampaikan Arief Poyuono selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu kepada SWARA SENAYAN (7/6/2016).
Dalam hal merealisasikan Nawacita dalam bidang Infrastruktur tersebut, Jokowi mengajukan kepada DPR RI untuk menyuntikkan dana APBN ke BUMN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) agar kebutuhan infrastruktur yang sudah direncanakan pemerintah sepanjang 2015-2019 bisa direalisasikan. Menurut Poyu, nilainya bisa mencapai Rp 5.000 triliun hingga Rp 6.000 triliun. Artinya, tiap tahun butuh antara Rp 1.100 triliun sampai Rp 1.200 triliun artinya untuk tahun 2016 masih kekurangan 900 trilyun rupiah.
“Sangat jelas sesuai keinginan Presiden untuk lebih memberi peran yang lebih bagi BUMN untuk mendukung penyediaan dana pembangunan infrastruktur yang masih kurang 900 Trilyun tersebut,” ujar Poyu.
BUMN jasa infrastrutur seperti PT Pelindo, PT Angkasa Pura dan lainnya dalam mencari sumber pendanaan yang besar agar dipercaya kreditur diperlukan laporan keuangan yang bankable serta dianggap memiliki kemampuan untuk mengembalikan dana yang dipinjam dari Kreditur.
Salah satu caranya, menurut Poyu yaitu dengan menyertakan Barang Milik Negara (BMN) seperti pelabuhan, airport, hotel, jalan tol yang saat ini dioperasikan oleh BUMN dan dijadikan sebagai Penyertaan Modal Negara sehingga akan meningkatkan nilai kapitalisasi BUMN seperti PT Pelindo, PT Jasa Marga dan PT Angkasa Pura yang ditugasi untuk mencari sumber pendanaan oleh Presiden dalam mensukseskan program Nawacita.
Karena itu, ini sangat dimungkinkan dalam perubahan UU APBN 2016 untuk menetapkan Barang Milik Negara (BMN) yang dipergunakan dan / atau dimanfaatkan oleh BUMN yang harus segera ditetapkan statusnya. Seperti Penerapan dalam UU Nomor 10 tahun 2010 Barang Milik Negara yang berasal dari Daftar Isian Kegiatan (DIK) / Daftar Isian Proyek (DIP) / Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Negara / Lembaga yang dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh BUMN dan telah tercatat pada Neraca BUMN sebagai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) atau akun yang sejenis, ditetapkan untuk dijadikan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN tersebut.
Tapi justru apa yang diinginkan dan direncanakan oleh Jokowi untuk mengunakan BUMN sebagai lokomotif Nawacita akan terhambat. Kata Poyu, dengan kebijakan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian teknisnya seperti tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57 /PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara dan Permenhub tentang Pelimpahan Sebagian Wewenang Menteri Perhubungan Dalam Rangka Pengelolaan Barang Milik Negara di Lingkungan Kementerian Perhubungan.
Dimana BUMN yang selama ini sudah mencatatkan sebagai sumber pendapatan dalam laporan Keuangan dan RKAP nya sekarang diharuskan melakukan pembayaran sewa pada pemerintah seperti sewa bandara, pelabuhan yang dibangun dari dana APBN sebelumnya.
“Tentu saja ini akan mempengaruhi nilai buku BUMN yang berdampak pada penilaian kreditur yang akan memberikan pinjaman pada BUMN,” tegasnya.
Karena itu Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak agar Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kebijakan anak buahnya yang menyebabkan hambatan bagi cita-cita Nawacita yang dicanangkan oleh Jokowi sendiri.
FSP BUMN Bersatu juga mencurigai kedua Permen tersebut sebagai bagian agenda besar para Mafia di kedua Kementerian tersebut agar bisa menggantikan BUMN yang mengoperasikan BUMN tersebut ke pihak swasta dengan harapan bisa dijadikan ATM bersama.
“Modus yang dilakukan oleh Mafia kedua Kementerian ini yaitu dengan disewakannya BMN kepada swasta, biasanya oknum petinggi di Kementerian tersebut meminta jatah saham atau jatah preman bulanan kepada pihak swasta yang menyewa barang milik negara tersebut,” pungkas Poyu. ■mtq