Oleh: Muchtar Effendi Harahap (NSEAS)
SwaraSenayan.com. Awal September 2017 ini muncul berita unik dan menyedihkan bagi pendukung pembangunan pro rakyat. Suatu kebijakan pembangunan pro rakyat justru digugat. Atas nama para pemangku kepentingan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) tentang Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.
Pihak penggugat antara lain Perkumpulan Pensiunan Pegawai Kehutanan (P3K), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Lembaga Masyarakat Pengelola Sumber Daya Hutan (LMPSDH) Wana Salam, Perkumpulan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) Kosambiwojo Lestari, dan LSM Lodaya.
Para penggugat sebagai pihak legal standing terlihat sebagai jaringan kelompok kepentingan bertumpu pada kepentingan Perum Perhutani sebagai pihak yang merasa dirugikan karena tanah mereka diambil Pemerintah untuk diberikan kepada rakyat di sekitar lokasi tanah.
Klaim Penggugat Permen LHK 39 tahun 2017, sebagai berikut:
- Permen intinya bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol dan karenanya bertentangan dengan UU Kehutanan dan peraturan pemerintah yang ada di atasnya.
- Permen itu memberi kesempatan kepada para pemegang ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) membabat kayu dalam hutan lindung.
- Pemegang IPHPS juga berkesempatan untuk mengelola hutan. Kalau pengelolaan hutan diberikan kepada ribuan pemegang IPHPS yang tidak cakap, maka kondisi hutan Indonesia tinggal tunggu bencana alamnya saja.
- Disamping merusak alam, bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol kepada pemegang IPHPS rawan konflik horisontal karena di tempat-tempat tertentu di areal Perum Perhutani sudah ada ijin pemanfaatan hutan kepada masyarakat.
Tim Studi NSEAS cenderung menilai, para penggugat kurang obyektif dan faktual atas informasi diterima alias salah. Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK merupakan kebijakan dan program perhutanan sosial untuk pengentasan kemiskinan rakyat hidup di sekitar Tanah Hutan Negara.
Regulasi atas kebijakan dan program ini tertuang di dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 39 Tahun 2017
tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh
masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.
Dalam perspektif kebijakan perhutanan sosial, Tanah Hutan Negara boleh dikelola oleh kelompok organisasi masyarakat untuk program “pengentasan kemiskinan” dengan tetap menjaga lingkungan. Tanah Hutan Negara di Pulau jawa yang diberikan ijin pemanfaatan kepada rakyat selama 35 tahun adalah semuanya faktual sebagai tanah kosong yang sudah lebih 5 tahun hingga 15 tahun gagal diselesaikan oleh Pihak Perum Perhutani.
Sementara itu, kondisi rakyat di sekitar lokasi Tanah Hutan Negara tersebut tetap miskin. Kebijakan dan program Kementerian LHK memanfaatkan Lahan Hutan Negara yang kosong dimaksud untuk dijadikan perhutanan sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kebijakan dan program perhutanan sosial menerapkan, setiap Kepala Keluarga (KK) menerima maksimal 2 (dua) Ha dan dibantu dengan Perbankan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Universitas dan “off taker” pembeli hasil. Program perhutanan sosial menjamin hutan akan tertutup dengan baik, tapi rakyat mendapatkan tambahan hasil. Selama 25 tahun hutan tetap hancur oleh Perhutani dan rakyat tetap miskin.
Permen LHK No 39 tahun 2017 pada prinsipnya berupaya menyeimbangkan penguasaan lahan kaum petani miskin yang selama ini hanya rata-rata 0,24 Ha per KK. Artinya, Permen LHK ini merupakan upaya reforma agraria versi kehutanan dalam bentuk pembukaan akses rakyat ke dalam lahan hutan yang dikuasai negara. Selama 35 tahun sangat memadai untuk usaha ekonomi rakyat. Permen LHK ini bukanlah bermakna “bagi-bagi tanah” seperti yang dituduhkan para Penggugat diatas. Permen LHK ini justru membuka access rights (hak-hak untuk jalan masuk) bagi kaum petani selama 35 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun sekali.
Selanjutnya, tudingan Permen LHK dimaksud “merusak” lingkungan sangatlah berlebih-lebihan dan keliru. Justru Permen LHK ini diterbitkan dengan maksud untuk menanam lahan hutan yang sudah kosong lebih dari 5 tahun sampai 15 tahun menjadi produktif. Kalau dibiarkan lahan ini kosong terus, maka akan merugikan bagi keuangan negara.
Jadi, mereka yang melakukan gugatan uji materi Permen LHK No.39 Tahun 2017 sesungguhnya tidak mau memahami maksud dan tujuan Permen LHK tersebut. Permen LHK ini sangat progresif dan berpihak pada pengentasan kemiskinan dan lingkungan. Tentu saja bagi pihak-pihak kelompok status quo dunia perhutanan khususnya di Pulau Jawa menganggap kebijakan dan program mendukung pengentasan kemiskinan ini mengganggu dan bahkan merugikan kepentingan mereka.
Sangat ironis dan tragis memang, ada kelompok “masyarakat madani” justru menolak dan menggugat kebijakan pembangunan yang jelas-jelas pro rakyat. *SS