Oleh: Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Menjadi seorang pemimpin butuh reputasi yang baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan politiknya. Seorang pemimpin besar akan diikuti tanpa rasa terpaksa atau ketakutan oleh orang-orang yang dipimpinnya, dan sebaliknya seorang pemimpin yang kerdil akan kehilangan harapan dan kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Adalah Indonesia, negara besar yang dihuni lebih dari 250 juta jiwa dengan wilayah yang teramat luas daratan dan lautnya serta angkasanya. Negara besar ini seharusnyalah dipimpin oleh pemimpin besar yang bisa merasa dan bukan seorang pemimpin yang merasa besar dan hanya merasa bisa.
Kondisi kebangsaan saat ini sangat memprihatinkan. Gaduh dimana-mana, ricuh dimana-mana, rakyat merasa kehilangan pemimpin dan akhirnya mencoba mencari pemimpin mereka sendiri. Dan inilah fenomena yang terjadi atas naiknya nama Habib Riziek Syihab melambung tinggi dan mampu mengumpulkan rakyat puluhan ribu dengan mudah. Bahkan jutaan umat terkumpul karena dimotori oleh Habib Riziek Syihab meski berkumpulnya jutaan manusia itu bukan karena kekuatan Habib Riziek Syihab tapi kekuatan iman Islam yang dianut oleh jutaan manusia tersebut. Namun tanpa pemimpin, hal tersebut tidak akan terjadi.
Fenomena Habib Riziek Syihab tersebut mestinya dilihat dan dicerna para pemimpin bangsa ini sebagai sebuah tanda bahwa rakyat sedang mencari pemimpin karena rakyat merasa kehilangan pemimpin. Bukan malah memaknainya secara negatif sebagai ancaman intoleran dan gangguan kebinekaan. Nalar dan hati para pemimpin bangsa ini harus lebih digunakan daripada sekedar mengedapankan rasa mempertahankan kekuasaan sehingga melihat kritik dan protes sebagai ancaman kepada kekuasaan.
Eleanor Rosevelt berkata : “Untuk menangani dirimu, gunakan kepala Anda dan untuk menangani orang lain, gunakan hatimu.”Serta sebuah pernyataan indah dari Dwight D Eisenhower berkata : “Anda tidak memimpin dengan memukul orang di atas kepala-itu penyerangan, bukan kepemimpinan.” Kedua kutipan dari pemimpin-pemimpin besar tersebut mestinya menjadi pelajaran mutlak yang harus dipahami dan diteladani oleh pemimpin bangsa saat ini yaitu Presiden Joko Widodo.
Pola kepemimpinan yang diterapkan rejim berkuasa saat ini sangat bertolak belakang dengan kutipan 2 pemimpin besar diatas. Rejim ini menangani orang-orang yang dipimpinnya bukan dengan hati tapi dengan kepala dan otot. Bahkan rejim ini menerapkan strategi memukul kepala orang-orang yang dipimpinnya sebagai bentuk pemaksaan kehendak bahwa siapapun harus tunduk dan ikuti semua kemauan pemerintah. Bahkan rejim berkuasa ini mendominasi justifikasi kebenaran. Hanya pemerintah yang benar, hanya pemerintah yang boleh memutuskan apa yang benar dan rakyat harus ikut, jika tidak maka siap-siaplah dipukul oleh rejim berkuasa.
Kepemimpinan nasional saat ini adalah kepemimpinan terburuk sepanjang sejarah dan catatan bangsa hingga saat ini. Kepemimpinan yang penuh retorika dan klaim-klaim palsu. Kepemimpinan yang berpuas diri dengan penilaian oleh diri sendiri. Kepemimpinan yang menilai dan menempatkan opini dan kekritisan sebagai kabar palsu, bohong atau hoax. Padahal sesungguhnya rejim inilah yang penuh kepalsuan, penuh kebohongan kepada rakyatnya. Kaum oposan dan kaum kritis hampir tidak bisa menemukan tempat aman disetiap jengkal tanah ibu pertiwi ini untuk berdiam. Terancam secara politik dan terancam secara hukum, karena represifme diterapkan menggunakan alat politik dan tangan penegak hukum.
Kondisi sulit menemukan rasa aman tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi yang tidak kunjung bertumbuh, kondisi politik yang mencekam karena rejim memaksakan kehendaknya untuk memenangkan kontestasi politik bahkan memperalat instrumen-instrumen negara. Kondisi penegakan hukum yang menjadi alat politik menambah kacaunya bangsa saat ini. Hanya di era sekarang kegaduhan terus terjadi tanpa ada waktu bagi bangsa ini untuk tumbuh dan menempatkan diri pada deretan atas bangsa-bangsa besar.
Kondisi negatif tersebut akhirnya melahirkan pemikiran-pemikiran dari banyak kalangan untuk mencoba menyelesaikan kemelut dan kerusakan bangsa dengan memunculkan pemikiran ilmiah untuk kembali ke UUD 45 ASLI yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 pada sidang BPUPKI dengan target penyempurnaan melalui addendum salah satunya adalah tentang batasan masa berkuasa presiden. *Namun sayang, pemikiran ilmiah itu kemudian harus menghadapi tuduhan makar dari rejim berkuasa. Padahal pemikiran kembali ke UUD 45 ASLI itu didasari kecintaan kepada bangsa Indonesia dan keprihatinan atas ancaman kooptasi politik dari bangsa asing salah satunya riuh ramenya tentang isu Cinaisasi.
Abraham Lincoln berkata : “Jadilah dengan seorang pemimpin ketika dia benar, tinggal bersamanya ketika dia masih benar, tetapi, meninggalkan dia ketika ia salah.” Kutipan ini menjadi inspirasi bagi banyak orang-orang untuk kemudian berpikir sesegera mungkin mengganti keoemimpinan nasional. Bahkan tidak sedikit yang berharap terjadi pergantian pemimpin ditengah jelan, meski harapan itu sah saja namun tidaklah sesuai dengan konstitusi. Namun jika rakyat sudah berkehendak, maka konstitusi tidak bisa berbuat apa-apa karena rakyat diatas konstitusi dan rakyat bagian besar dari konstitusi itu.
Kepemimpinan yang tidak punya karakter ini telah membuat resah banyak kalangan. Resah akan masa depan bangsa yang terlihat semakin tidak terarah. Kepemimpinan rejim ini hanya dipenuhi banyak strategi tapi minus karakter. Akhirnya seluruh pikiran dan upaya rejim adalah hanya strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan upaya memperpanjang kekuasaan.
Norman Schwarzkopf berkata :”Kepemimpinan adalah kombinasi ampuh strategi dan karakter. Tetapi jika Anda harus tanpa satu, harus tanpa strategi.” Berbanding terbalik dengan rejim ini yang hanya dipenuhi strategi namun minus karakter.
Saya sebagai anak bangsa, menyarankan kepada segenap masyarakat dan elit politik bangsa ini untuk memikirkan dengan hati mengganti pemimpin nasional yang lemah secara konstitusional. Pilpres 2019 harus melahirkan pemimpin baru berkarakter besar karena Bangsa ini bangsa besar, yang tentu harus dipimpin pemimpin besar. *SS
Jakarta, 18 Januari 201