Oleh: Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Tepat 20 Oktober 2016, genap usia pemerintahan yang dipimpin Jokowi-Kalla memimpin Republik Indonesia sejak mengucapkan sumpah jabatan sebagai presiden 20 Oktober 2014 lalu. Waktu yang cukup cepat berlalu bagi bangsa ini khususnya bagi rejim berkuasa. Sangat cepat waktu berlalu sementara konsolidasi kekuasaan tidak juga selesai hingga kini.
Rejim ini belum menemukan format yang pas dan belum menemukan ritme kerja yang tepat. Disharmoni kabinet masih terus terjadi hingga dalam 2 tahun terjadi beberapa kali bongkar pasang kabinet. Bongkar pasang kabinet yang tidak kunjung memberikan nilai positif bagi jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara dan sepertinya masih akan terjadi lagi.
Disharmoni yang melahirkan kegaduhan tak henti menunjukkan bahwa rejim ini gagal mengelola negara dalam 2 tahun. Pendapat ini dipastikan akan mendapat bantahan dari para pendukung rejim terutama yang menggunakan ilmu jilatologi kekuasaan. Perbedaan sudut pandang tentu akan melahirkan hasil pengamatan yang berbeda. Rejim berkuasa dan para kaum jilatologinya tentu akan mengklaim kesuksesan yang diraih meski semua klaim yang disampaikan baru sebatas ground breaking dan tidak jelas apakah akan berlanjut.
Ground breaking telah diklaim sebagai keberhasilan, dan itu wajar dari sudut pandang penguasa dan para pengikutnya. Namun tentu akan berbeda dengan sudut pandang pihak lain yang melihat secara objektif atau kritis kepada pemerintah. Mestinya rejim penguasa berterimakasih kepada para kaum kritis dan objektif memberi penilaian karena itulah cermin bersih bagi penguasa dan bukan sebagai pengganggu yang harus di buldozer seperti kata Luhut Panjaitan.
Destruksi kebangsaan begitu bebas terjadi dan berlangsung tanpa henti dibawah rejim Jokowi Kalla. Destruksi nilai-nilai kebangsaan dan kedaulatan justru dilakukan oleh Presiden bersama jajarannya secara sadar atau tidak sadar tanpa ada reaksi ataupun respon dari lembaga legislatif yaitu DPR dengan hak pengawasannya. Penabrakan terhadap UU yang telah terjadi belasan kali, pengabaian keputusan hukum, menandatangi keputusan yang kemudian ditarik dengan alasan tidak membaca, mengangkat warga negara asing jadi menteri, dan terakhir penghapusan ujian nasional adalah bagian dari destruksi nilai nilai kedaulatan bangsa.
Penghapusan Ujian Nasional memang adalah keputusan popular, tapi tanpa sistem pengganti yang mengukur keberhasilan proses belajar mengajar dengan standard nasional adalah pembodohan dan penghancuran nilai nilai kebangsaan. *Apakah dengan pembagian Kartu Indonesia Pintar dirasa cukup membuat Indonesia pintar?* Mestinya sebelum Ujian Nasional dihapuskan, harus ada sistem yang menggantinya yang kemudian mampu menghasilkan generasi bangsa yang punya standard minimum.
Destruksi nilai nilai kedaulatan dan kebangsaan juga terjadi dengan derasnya arus tenaga kerja asing berkebangsaan Cina yang bagai serbuan Alien di film film menyeruak mengambil alih porsi anak anak bangsa. Serbuan tenaga kerja asing Cina tersebut datang bersamaan dengan gencarnya investor Cina yang diberikan karpet merah mulus menuju seluruh wilayah bangsa demi ambisi infrastruktur yang didengungkan Jokowi. Presiden berhutang dengan jor joran kepada Cina tanpa pernah mencoba untuk mendayagunakan sumber daya lokal. Jokowi terlalu pendek berfikir, hanya untuk kepentingan sesaat bahkan kedaulatan bangsa dipertaruhkan.
Destruksi juga terjadi semakin liar atas nama demokrasi. Ahok sang Gubernur yang mendapat hibah jabatan dari Jokowi bahkan mendestruksi Pancasila ideologi negara, dasar kehidupan berbangsa, dengan menyatakan bahwa Pancasila adalah ibarat bangunan setengah jadi kalau minoritas (Ahok?) belum jadi presiden. Sungguh destruksi dan distorsi makna Pancasila yang luar biasa. Ahok tidak paham bahwa demokrasi tertinggi adalah adanya kebijaksanaan dalam musyawarah mufakat bukan demokrasi buatan barat yang bahkan dinegara asal Ahok tidak berjalan lancar.
Semua dibawah kendali Partai Komunis Cina dan demokrasi seperti mati sunyi. Dan itulah demokrasi bagi Cina, dan demokrasi bagi Indonesia adalah kebijaksanaan dalam musyawarah mufakat. Kebijaksanaan itulah yang membuat bangsa yang berbhineka seperti Indonesia mampu tetap utuh tidak tercerai berai. Maka pemaksaan pemahaman Ahok mengenai Pancasila adalah bagian dari destruksi kedaulatan bangsa yang terjadi bukan begitu saja. Reformasi 98 telah memulainya dengan menghapus kata INDONESIA ASLI dari pasal 6 UUD 45 tentang syarat calon presiden. Ahok mungkin adalah bagian dari destruksi bangsa yang didukung oleh kekuasaan.
Destruksi nilai-nilai kedaulatan dan kebangsaan juga terjadi di beberapa kunjungan Presiden Jokowi keluar negeri. Di Prancis saat akan berpidato tiba tiba ruangan ditinggalkan oleh para kepala negara lain. Di Amerika disambut dengan cara yang tidak layak, dan di dalam forum resmi memaksakan diri menggunakan bahasa Inggris meski sangat tidak patut. Hal ini juga mendestruksi nilai kedaulatan yang didalam UU tentang bahasa bahwa Presiden wajib menggunakan Bahasa Indinesia dalam forum-forum resmi acara presiden. Di Amerika pula simbol negara yaitu Presiden dilecehkan tamunya yang datang hanya menggunakan kaos oblong dan celana jeans yang sama sekali tidak dibolehkan protokoler Istana ketika bertamu kepada presiden atau memasuki lingkungan Istana.
Begitulah Destruksi nilai-nilai kedaulatan terjadi selama pemerintahan Jokowi Kalla dalam 2 tahun, yang entah kapan akan berhenti dan berakhir. Entah kapan rejim ini akan membangun kedaulatan bangsa diatas kepentingan pribadi dan kelompok. *SS