SwaraSENAYAN.com. Walikota Makasar Mohammad Ramdhan Pomanto mengatakan, dalam mengatasi peningkatan volume air laut yang sangat berpotensi menenggelamkan kawasan utara Jakarta, maka pembangun Giant Sea Wall dikawasan teluk Jakarta itu merupakan jawaban atas permasalahan tersebut.
Karena itu, pria yang akrab disapa Danny Pomanto itu tidak melihat adanya ketulusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait proyek reklamasi teluk utara Jakarta. “Kalau mau litigasi, seharusnya sea wall dulu dibikin, kalau yang saya lihat sekarang bukan sea wall, tapi bisnisnya dulu yang dibikin,” kata Danny kepada SWARA SENAYAN, di gedung Nusantara III DPR RI, Jakarta, Senin (9/5/2016).
Mestinya, lanjut Danny, pembangunan sea wall menjadi prioritas utama proyek bentang alam tersebut. Pasalnya, pembangunan sea wall merupakan pembangunan jangka panjang dan memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Ini masalah psikologi, sea wall mulai dibikin baru bikin ini (pembangunan 17 pulau), selesai yang mana duluan itu masalah strategi dan image. Nantikan masyarakat melihat ternyata niatnya untuk melindungi Jakarta dan kompensasi dari itu adalah pulau yang dibangun,” papar Danny
Pria yang pernah berprofesi sebagai Dosen arsitektur di Unhas itu, juga menilai bahwa polemik yang berkepanjangan dalam pembangunan proyek reklamasi teluk Jakarta sebenarnya didasari atas dua hal. Apakah yang menjadi masalah dasarnya permasalahannya adalah proyek reklamasinya sendiri atau adanya permainan uang dibaliknya.
Sementara itu, terkait dengan banyaknya penolakan proyek ini oleh para nelayan, salah satunya yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, yang merasa telah dirampas haknya atas tanah dan sumber mata pencaharian, menurut bapak tiga anak itu, tidak seharunya sampai terjadi, apabila antara pemilik modal dan penguasa wilayah kawasan teluk tersebut mampu menerapkan metode simbiosis mutualisme.
“Kalau saya jadi Ahok saya akan bangun satu pulau khusus untuk para nelayan. Kita tidak boleh tinggalkan share holders (nelayan). Harus ada bagi keuntungan, karena penguasa wilayah itu adalah nelayan. Jadi DPR, NGO dan semua pihak harusnya bisa merumuskan itu,” pungkasnya. ■mrf