TERKAIT PAJAK FREEPORT, INI NEGOSISASI ATAU TIPU-TIPU?

oleh -68 Dilihat
oleh
banner 468x60

freeportOleh : Salamuddin Daeng (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)

SwaraSenayan.com. Sedih ya.. Kata Presiden Jokowi sudah tiga tahun negosiasi dengan Freeport, akan tetapi sampai dengan saat ini belum membuahkan hasil sama sekali. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diganti dengan yang baru, eks Menteri Perhubungan yang dipecat, berharap proses negosisiasi berjalan melewati jalan TOL yang lancar. Namun apa mau dikata, macet juga. Ini sudah lama sekali pak Presiden, sementara Freeport jalan terus, pengerukan jalan terus, ekspor jalan terus.

banner 336x280

Lebih parah lagi adalah didepan publik pemerintah membawa Jargon Nasionalisme, nasionalisasi Freeport, dll, faktanya tidak ada satupun dari yang di negosiasikan sesuai dengan harapan. Penting diketahui bahwa ada empat hal yang menjadi poit krusial dalam negosiasi dengan Freeport, yakni  (1) terkait dengan perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khsus (IUPK). (2) Terkait divestasi saham 51%. (3) terkait pembangunan smelter sebegai alat pemurnian bahan mentah konsentrat. (4) terkait dengan peningkatan pajak Freeport. Point satu (1) sampai dengan tiga (3) telah kami bahas dalam artikel sebelumnya. Ketiganya gagal menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan nasional.

Harapan terakhir adalah peningkatan penerimaan negara dari bea keluar (tarif) dan dari pajak yang harus dibayarkan Freeport kepada negara Indonesia.  Tapi apa yang terjadi? Sebelumnya ada baiknya kita memahami beberapa kewajiban pajak Freeport dalam Kontrak Karya (KK) dan peraturan perundangan di Indonesia.

1. Kontrak Karya (KK) Pasal 13 mengatur kewajiban perusahan untuk membayar kepada pemerintah 13 jenis pajak dan lain kewajiban keuangan perusahaan meliputi: pajak / iuran tetap / royalty/ biaya materai / bea masuk/ pungutan-pungutan / pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemda dan pungutan-pungutan administrasi umum serta pembebanan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah. Penghitungan kewajiban keuangan tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 13 dari angka (1) sampai dengan angka (13).

2. Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya Pajak dan PNBP yg dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.  Dengan demikian maka PT FI harus  mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan perubahannya (prevailing) sesuai Pasal 131 UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Tapi apa yang terjadi? Harapan rakyat Indonesia khususnya masyarakat Papua untuk mendapatkan kenaikan pajak dari Freeport, malah hasilnya terbalik 180 derajat. Pemerintah melalui menteri ESDM dan teman temannya justru memberikan keringanan kepada Freeport. Berikut Faktanya :

1. Sampai Oktober 2017, PT Freeport Indonesia (PTFI) diperbolehkan untuk pengenaan bea ekspor sebesar 5% dengan mengantongi kesepahaman bersama (memorandum of understanding/MoU) yang telah disepakati pemerintah dan PTFI. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13/PMK.010.2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, untuk mendapatkan bea keluar 5%, kegiatan pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sudah harus 30%. Sementara, sejak membangun smelter di Gresik, Jawa Timur pada 2014 silam, pembangunan smelter berkapasitas 2 juta ton konsentrat itu baru mencapai 14% sampai saat ini. Karena itu, merujuk pada PMK yang ada, PTFI harus membayar bea keluar 7,5% untuk ekspor konsentrat.

2. Pemerintah berencana menerbitkan rancangan peraturan pemerintah (RPP). Berdasarkan bocoran dalam BAB VII Pasal 14 menyebutkan, tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25 persen. Turun dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35 persen.

Ini negosiasi macam apa? Kalau semua poin yang dinegosiasikan bersifar merugikan negara dan rakyat Indonesia, maka tidak dapat dikatakan sebagai negosisiasi, tetapi zero sum game, nol besar atau omong kosong saja. Kalau di jaman pemerintahan sebelumnya seorang menteri yang neoliberal mengaku neoliberal, bahkan berani mengatakan “kantongi nasionalismemu!”, sekarang para penjual negara mengaku nasionalis. Kira-kira lebih baik mana ya? Mohon pencerahan dari rakyat. *SS

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.