SwaraSenayan.com. Undang-undang N0 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan instrumen kebijakan formal dalam pembangunan bangsa yang meletakkan desa sebagai sebuah komunitas masyarakat Indonesia yang mesti diberdayakan guna mencapai kemandirian dan kesejateraan masyarakat.
Implementasi UU Desa ini membuat pemerintah desa semakin dekat dalam mengenali dan memahami masyarakat. Diharapkan dapat meningkatkan fungsi pemerintah sebagai fasilitator dapat berjalan dengan baik untuk membangun desa yang maju, kuat dan mandiri. Namun, disisi lain, penerapan undang-undang ini menimbulkan tantangan sekaligus hambatan terkait persoalan pendidikan yang rendah serta minimnya sumber daya manusia aparatur desa.
Karena itu, dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat di tengah hadirnya UU No 6 tahun 2014, pemerintah di level desa perlu diberikan sosialisasi, pendidikan dan pembekalan serta pembinaan yang berkelanjutan. Untuk memberikan pendampingan terhadap aparatur desa terhadap persoalan di atas, Anggota DPR RI Partai Hanura Drs. Sudiro Asno, Ak menggelar sosialisasi UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa di Kecamatan Tukdana Kabupaten Indramayu pada 15 Mei 2018.
“Amanah Undang-undang Desa memberikan proses bottom-up yang melibatkan partisipasi masyarakat desa dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan pemahaman ini, maka rakyat menjadi subjek yang sangat menentukan dalam perencanaan maupun dalam implementasi pembangunan,” tutur Sudiro ketika dihubungi SwaraSenayan.
Di hadapan para Kuwu (kepala desa) beserta aparatur desa, Sudiro juga menyinggung bahwa pembangunan bangsa selama ini menggunakan sistem sentralistik dan top down. Sistem ini telah menciptakan kegagalan dan ketergantungan bagi masyarakat, akibatnya terjadi eksploitasi sumber daya masyarakat desa.
“Sistem sentralistik dan top down memunculkan persoalan seperti ketidakadilan, ketidakmerataan atau kesenjangan pembangunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi sumber daya lokal sehingga kehadiran UU Desa No 6 Tahun 2014 merupakan sebuah regulasi bangsa yang mencoba untuk mendesain pembangunan desa berbasis kearifan lokalnya,” papar anggota legislatif dari Dapil Jabar VIII yang meliputi Kabupaten Indramayu, Kabupatan dan Kota Cirebon.
Dengan demikian, UU tersebut merupakan sebuah ruang kebijakan yang memberikan otoritas kepada desa untuk mengeksplorasi potensi lokalnya untuk pembangunan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif. Menurut Sudiro, otonomi desa harus dipahami sebagai sebuah penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis rakyat atau people driven.
Dalam memberikan sosialiasi Undang-undang Desa ini, Sudiro memberikan penekanan kepada pengelolaan keuangan desa. Perbuatan penyalahgunaan keuangan desa seperti penyalahgunaan Alokasi Dana Desa merupakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh perangkat desa. Apabila dilakukan, maka yang bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Selain itu, perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang yang menyalahgunakan wewenangnya yang berakibat dapat merugikan keuangan negara.
Dalam paparannya, Sudiro menekankan pentingnya pengawasan terhadap penggunaan dana desa. Masyarakat dapat membuat pelaporan atau pengaduan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat serta kepada Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan serta perkiraan nilai kerugian yang diselewengkan. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, perlu disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yang menjadi dugaan tindak penyelewengan.
“Penggunaan dana desa diharapkan bisa mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat desa. Penggunaannya harus transparan dan akuntabel. Jangan main-main dengan penyalahgunaan dana desa, karena bisa langsung berurusan dengan penegak hukum, terlebih KPK,” tegas Sudiro yang mantan direktur keuangan PT Telkom.
Karena itu, jika laporan masyarakat kepada BPD dan kecamatan tidak direspon, Sudiro meminta kepada masyarakat dapat menyampaikan dugaan penyelewengan dana desa kepada Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, serta Inspektorat Daerah Kabupaten.
“Jika memang masyarakat mempunyai bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, maka masyarakat berhak melaporkan oknum tersebut kepada pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut,” terangnya.
Dari kegiatan serap aspirasi ini, Sudiro menerima berbagai keluhan dari Kuwu terkait proses pencairan dana desa yang masih berbelit dan sangat birokratis yang justru dapat menghambat implementasi undang-undang desa.
“Saya menerima berbagai keluhan dari para Kuwu dan aparatur desa, terutama soal pencairan dana desa. Karena itu dalam rapat dengar pendapat dengan menteri dalam negeri nanti saya akan sampaikan dan perjuangkan aspirasi tersebut,” ujar Sudiro putra desa Bodas Tukdana Indramayu. *mtq