Oleh: Izul Muslimin
SwaraSenayan.com. Masih berdasar survei Polmark, elektabilitas Jokowi di luar Jawa semakin meningkat, sementara di wilayah Jawa cenderung stagnan. Mungkin ini kabar baik buat Jokowi yang pada Pilpres 2014 justru agak kurang dukungan di luar Jawa khususnya di daerah Sumatera. Tapi jika melihat perbandingan jumlah pemilih Jawa dan luar Jawa, maka kenaikan elektabilitas Jokowi di luar Jawa menjadi tidak signifikan jika justru di Jawa tidak dipertahankan atau bahkan dinaikkan.
Masih belum amannya elektabilitas Jokowi ternyata tidak berdampak positif pada elektabilitas Prabowo (22%). Elektabilitas Prabowo cenderung stagnan dan tidak bergerak naik. Kondisi ini agak berbeda bila dibandingkan di saat menjelang Pilpres 2014 dimana Jokowi yang waktu itu mulai menurun tingkat elektabilitasnya berbarengan dengan elektabilitas Prabowo yang semakin merangkak naik. Ada yang mengatakan bahwa ini terjadi karena Prabowo belum menggerakkan mesin politiknya sehingga belum berdampak signifikan bagi elektabilitasnya. Alasan ini bisa saja diterima tetapi bisa juga dibantah.
Secara logis harus diakui bahwa opini adalah milik pemenang dan itu harus diakui bahwa dengan tampilnya Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014 maka hampir semua resources dikuasai Jokowi untuk memenangkan opini. Prabowo yang diposisikan sebagai pesaing Jokowi hanya akan dapat nilai positif dari ketidakmaksimalan Jokowi memanfaatkan seluruh kekuatan politik yang dimilikinya.
Jadi jika Jokowi mendapat nilai elektabiĺlitas 52,4% maka mestinya Prabowo bisa mendapatkan sisanya. Tetapi jika kita lihat hasil survei menunjukkan bahwa masih banyak pemilih yang belum atau bimbang menentukan pilihannya. Artinya, mereka sebenarnya tidak optimis dengan Jokowi, tetapi ragu dengan Prabowo. Jika Prabowo adalah figur baru maka wajar jika ada keraguan. Tetapi karena Prabowo adalah figur yang bertarung melawan Jokowi di Pilpres 2014 maka ada pesan kuat bahwa mereka sedang menanti figur baru di luar Jokowi dan Prabowo namun masih belum mendapatkannya.
Prabowo adalah figur yang secara usia sebenarnya sudah tidak muda lagi. Prabowo termasuk dalam generasi elit politik yang sudah beredar sejak awal era reformasi. Posisi Prabowo bisa disejajarkan dengan Megawati, SBY, Amien Rais, JK dan beberapa tokoh politik senior lain yang meskipun masih punya kekuatan politik tetapi sudah tidak lagi berada di garis depan pertempuran. Bagi generasi baru yang akan memilih dalam Pilpres 2019, rentang usia mereka dengan Prabowo terlalu jauh, sehingga agak sulit bagi mereka berada dalam satu frekwensi memahami dunia.
Prabowo hanya bisa menarik mereka jika masuk dalam isu yang kuat dan kritis seperti terancamnya keamanan negara, keterpurukan ekonomi yang parah, atau isu yang bersifat SARA. Kondisi ini, jika melihat perkembangan Indonesia saat ini sepertinya tidak sampai ke arah sana. Jadi, agak sulit bagi Prabowo untuk bisa dengan mudah diterima oleh generasi baru yang akan mengikuti Pilpres 2019.
Persoalannya, hingga saat ini belum ada figur baru yang cukup kuat untuk bisa menyaingi dominasi Jokowi dan Prabowo. Nama Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Gatot Nurmantyo yang agak menonjol hanya dibawah 5% elektabilitasnya. Kondisi ini bisa dipahami karena publik masih merasa bahwa Pemilu 2019 nanti hanyalah pengulangan rivalitas Jokowi-Prabowo dengan pasangan yang mungkin berbeda. Jokowi jelas pasti akan maju kembali. Sedangkan Prabowo, selama yang bersangkutan masih menyatakan kesediaan dan keinginannya untuk maju kembali dalam Pilpres 2019 maka agak sulit bagi figur lain untuk bisa menyaingi popularitas dan elektabilitasnya.
Keadaan akan berubah jika dengan ke-legowo-annya Prabowo bersedia tidak maju lagi dalam Pilpres 2019. Dengan sendirinya publik yang tidak ingin memilih Jokowi akan berusaha mencari figur baru pengganti Prabowo. Apalagi jika figur tersebut didorong oleh Prabowo, maka kemungkinan akan cukup mudah bagi figur tersebut untuk melejit menjadi pesaing Jokowi.
Namun jika Prabowo tetap dengan pilihannya akan maju dalam Pilpres 2019, ada kemungkinan beberapa partai politik akan mengajukan figur lain di luar Jokowi dan Prabowo. Jika beberapa partai tersebut jeli dan bisa mengambil celah peluang, bisa jadi akan muncul kuda hitam dalam Pilpres 2019 yang akan mengalahkan Jokowi dan Prabowo. Namun jika kemungkinan figur alternatif tidak dimunculkan parpol, dan yang bersaing hanya Jokowi dengan Prabowo, maka kemungkinan besar Jokowi lah yang akan memenangkan Pilpres 2019.
Akhirnya, kita akan menunggu sikap Prabowo, akankah tetap maju dalam Pilpres 2019 atau tidak. Jika Prabowo ingin menang maka kembalilah kepada jati dirinya sebagai King Maker yang pernah memenangkan Joko Widodo dan Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta. Wallahu alam. *SS