Oleh: Ferdinand Hutahaean Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
SwaraSenayan.com. Ada yang salah dengan bangsa yang besar ini, entah apa dosa bangsa ini hingga harus dihadapkan ada tumpukan masalah demi masalah yang tidak tertangani bahkan semakin ruwet dan semrawut. Entah apa yang ada dalam hati dan pikiran para pemimpim bangsa ini, mengapa presiden dan jajarannya seperti tidak punya jalan solusi untuk menyelesaikan masalah bangsa ini dan malah terus memproduksi masalah dibidang ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.
Kemana perginya janji-janji kampanye Jokowi tentang kedaulatan energi? Mati dimana janji Jokowi tentang swasembada pangan? Nawacita sepertinya sudah terkubur dan mati muda, digantikan dengan selera sesaat oleh pemimpin bangsa ini.
Secara khusus tulisan ini ingin menyoroti masalah sektor Energi dan Migas yang sudah lama terpetakan masalahnya namun hingga hari ini tidak ditemukan juga solusi oleh pemerintah. Banyak sekali masalah bermunculan dan justru masalah tersebut diproduksi oleh pemerintah sendiri bukan oleh pihak lain.
Pertama, tanpa disadari oleh rakyat tarif listrik sudah dinaikkan oleh PLN, dan sekarang rakyat harus membayar listrik lebih mahal dari sebelumnya, sementara DPR hanya protes dengan mengatakan PLN diam-diam menaikkan tarif listrik dan tidak diberitahukan kepada DPR. Aneh, mestinya DPR melakukan pengawasan dan bukan menunggu laporan.
Kedua temuan BPK atas Pph Migas yang hilang hampir 1T akibat keteledoran pemerintah, padahal sudah sejak tahun lalu hal ini diingatkan oleh BPK namun tidak juga terselesaikan hingga negara kehilangan hampir 1T dari Pph Migas.
Ketiga adanya penyerbuan dan penyerangan preman atas instalasi objek vital nasional milik Pertamina di Sumatera Barat. Penyerangan ini adalah ancaman serius bagi negara karena objek vital ìni bila terganggu akan berdampak besar pada gangguan distribusi bahan bakar, dan distribusi yang terganggu akan mengakibatkan kekosongan bahan bakar ditengah masyarakat. Mengapa pihak keamanan lalai mengamankan objek vital ini? Padahal UU mengatur standar pengamanan atas objek vital.
Keempat adalah terbitnya telegram SK Dirjen Perhubungan Laut yang melarang kapal pengangkut kecil mengangkut BBM. Tentu jika ini diberlakukan maka dapat dipastikan bahwa daerah terluar dan terpencil tidak akan mendapat pasokan BBM dan Gas Elpiji. Dirjen Hubla harusnya paham tentang ini, jangan cuma mikir dibelakang meja, turun ke lapangan supaya tahu masalahnya.
Kelima adalah masalah proyek listrik 35GW yang tidak jua terlihat wujudnya, hanya ada diatas kertas bahkan lelangnya pun tarik menarik antara PLN dengan Kementrian ESDM, dan lucunya seolah tidak tahu masalah, Presiden Jokowi sibuk mencitrakan proyek ini berjalan dengan melakukan ground breaking, padahal yang sudah ground breaking tahun lalupun tidak jelas progressnya.
Ini hanya secuil masalah di sektor energi yang terus bertumbuh tanpa solusi, belum lagi nanti bulan Juli dimana harga BBM diprediksi akan naik karena kenaikan harga minyak dunia yang sekarang mendekati USD 50 / Barel dan kurs rupiah yang terus terpuruk. Sampai kapan sektor ini hanya akan memproduksi masalah? Jokowi segeralah bekerja dengan tindakan bukan dengan kata-kata kosong yang menghibur. ■ss