Oleh: Djoko Edhi S. Abdurrahman, SH (Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama PBNU)
SwaraSENAYAN.com. Indonesia jelas takut perang. Punya semangat perang, tak disangkal. Tapi kalau berperang, jelas tak punya apa-apa. Pakta pertahanan tak punya, cuma dengan Jepang dan negara kecil yang tidak signifikan untuk urusan perang. Senjata canggih tak punya, sedang lawan punya semua. Musuh yang pasti adalah Five Power Defense Arrangement (FDPA), atau Kekuatan Pertahanan Lima Negara yang tergabung dalam pakta pertahanan.
Yaitu Inggris, New Zealand, Australia, Malaysia, dan Singapore. Akadnya, jika salah satu negara dari lima itu diserang, kelima negara ikut menyerang. Kita dikepung oleh pakta pertahanan lima negara itu. Mereka punya semuanya, sejak dari nuklir hingga WMD (weapon mass destruction – senjata pemusnah massal). Mereka punya kawanan, kita sendirian.
Bukannya perang dimana-mana main keroyokan? Tawuran sejak dulu hingga kini, ya keroyokan, sejak nasi bungkus hingga WMD. Lalu apa yang yang dimaksud perang? Jargon yes. Menhan ke RRC saja gagal bikin pakta pertahanan dengan China. Kalau mau aman, harus rangkul RRC. Negara ini punya hak veto, pemenang perang, punya WMD. Rival berat Amerika. Punya kawanan sendiri, punya bank sendiri. Sejak AIIB, BRICK hingga Broncho Del Sur. Dua terakhir diinisiasi China.
Indonesia ini tanggung. Ikut di AIIB, tapi ogah lebih lanjut. Kalau mau aman dari ancaman Hoaqiau dan Hoasan, dan kapotalisme kanan, rangkul Tiongkok. Berlindung dibalik politik luar negeri (polugri) bebas aktif, sudah usang. Itu cara ketika masih ada non blok, artinya, ketika masih ada blok Barat dan blok Timur, tak terlibat kedua negara adidaya. Jika tidak, jangan bicara perang. Tinggal satu jurus yang bisa dimainkan, yaitu jurus diplomatik.
Polugri rezim Jokowi sudah kebablasan. Lima bulan ia berkuasa, Jokowi menyeberang ke China. Tak mungkin kembali ke Amerika. Apalagi China begitu memanjakan Jokowi. Ini presiden pertama yang bisa manut ke politik penguasa Beijing. Oktober 2014 Jokowi presentasi di Beijing untuk memperoleh dana bantuan investasi bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dijanjikan dalam kampanye pilpres.
Tak ada sanggahan, ralat atau revisi. Xi Jinping, Presiden China langsung mengiyakan: 520 miliar USD. Selanjutnya, tak ada pula sanggahan ketika Jokowi disodorkan harus tanda tangan untuk ikut dalam pendirian AIIB (bank investasi infrastruktur Asia). Padahal, pada bulan itu Menlu Amerika minta agar Jokowi tidak mendukung AIIB. Itu memang bank kreditur ketiga setelah BRICK (berpusat di Afsel) dan Broncho Del Sur (berpusat di Caracas) yang merupakan perlawanan terhadap lembaga keuangan Barat (IMF, ADB, dan World Bank).
Fenomena AIIB memang luar biasa. Ini merupakan perang masa kini, Proxy War. Perkiraan pengamat meleset yang berharap AIIB bakal menjadi pesaing berat IMF, ADB, dan WB. Setelah Indonesia masuk, maka seluruh negara Asia Pasifik masuk minus Jepang dan Korea. Disusul kemudian oleh Perancis, Inggris, dan lalu seluruh Eropa.
Setelah itu, giliran IMF dan ADB yang ikut masuk AIIB. Diluar tinggal WB dan Amerika. Selesai satu babak Proxy War.
Babak kedua, didahului dengan serangan Taper Tantrum (senjata global Amerika), namun ternyata yang rusak cuma negara ketiga dan emerging markets, RRC tidak apa-apa, diseranglah China dengan nilai tukar tanggal 6, 7, 8, Agustus 2015. Pasar modal Sanghai collaps. Dalam tiga hari itu, Rp 36.000 triliun menguap.
China menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya dari 7,4% menjadi 7,3%, dan realisasi 6,7%. Sampai kini, Ia belum pulih, tapi Yuan berbasil masuk SDR (special drawing rights) menjadi Remimbi, mata uang resmi dunia setelah USD dan EURO.
Akan halnya Jokowi tak bisa mundur. Beijing memintanya untuk menyerang keungan Barat di Konferensi Asia Afrika di Bandung 2015. Ya dilakoni. Amerika kecewa berat. Ia sudah sadar salah orang begitu Jokowi membelot ke China. Jokowi memang dibesarkan oleh Amerika sejak masih Walikota Solo hingga jadi Presiden. Dan FPDA berada di bawah kendali Amerika. ■