Oleh: Effendi Ishak
SwaraSenayan.com – Ramadhan 1439 H, bagi ummat islam sedunia diwajibkan menjalankan ibadah puasa, sebagaimana ummat ummat terdahulu. Maka tidak bisa dipungkiri, bahwa ibadah puasa tersebut sangat signifikan dikaitkan dengan upaya kesadaran manusia dalam menghayati dan merenungkan kesadaran perjalanan spiritualnya sewaktu di alam dunia.
Menjalani ibadah puasa, sangat relevan untuk menghayati makna perjalanan eksistensi manusia selama melintas alam dunia ini. Karena menjadi makhluk manusia dalam perjalanan waktunya melintas alam dunia yang fana dan ditempuh dalam waktu amat singkat ini, adalah sebuah pengalaman perjalanan bersejarah yang sangat dinamis tetapi sangat menegangkan. Ketegangan itu, terutama dikaitkan dengan karakter dasar manusia sebagai mahluk bidemensional atau memiliki dua karakter yang saling bertentangan. Kata, Ali Syari’ati Ph.D (seorang ahli sosiologi agama berkebangsaan Iran, yang juga arsitek revolusi Islam Iran, lahir di Khorasan, 23 November tahun 1933), menurutnya, manusia adalah mahluk Tuhan yang paling unik dan sangat khusus yang secara akar antropologisnya dalam perspektif proses penciptaannya, manusia adalah makhluk dua demensi atau bidemensional. (Ali Syari’ati,1970).
Syari,ati melihat dua sifat atau dua potensi dari dua kecenderungan yang kontras satu sama lain atau saling bertentangan itu , dilihat dari dua jenis bahan dasar pembuatan individu manusia, yaitu : (1) lumpur hitam dan (2) roh yang berasal dari Tuhan. Data dan fakta ini, diterangkan oleh Al Qur,an , misalnya bahan dasar lumpur sebagaimana Surah Al Hijr (15), ayat 26. Sedangkan bahan dasar roh yang ditiupkan oleh Tuhan, sebagaimana Surah As Sajadah (32), ayat 9.
Karena itu, manusia sebagai makhluk bidemensional dalam tafsir sosiologi Islam , versi Ali Syari,ati , adalah karena manusia itu mengalami ketegangan terus menerus antara sifat atau karakter lumpur versus sifat atau karakter roh yang ditiupkan Tuhan. Meskipun ketegangan itu akan mereda jika kemudian salah satu karakter itu menjadi dominan dan pemenang dalam konflik latent itu pada diri manusia. Apakah lumpur sebagai pemenang atau roh sebagai pemenang dalam konfrontasi dan konflik latent yang terus menerus tiada henti dalam diri atau individu sang makhluk bidemensional manusia.
Rentang konflik antara sifat lumpur versus roh itu, dalam individu manusia yang bidemensional , adalah rentang waktu selama manusia bereksistensi selama hidup di dunia. Secara sederhana, dibuatlah klasifikasi tamsil atau perumpamaan, bahwa lumpur sebagai material yang dominan didasar sungai atau laut membuat dangkalnya sungai atau laut adalah problem atau gangguan bagi kapal dalam pelayaran dan jika kapal akan bersandar di pelabuhan, karena sungai dangkal atau laut dangkal. Lumpur juga gangguan untuk fondasi pendirian bangunan atau gangguan waktu mencari minyak bumi pada upaya pengeboran. Tetapi ruh dari Tuhan, adalah mewakili segala hal yang menyangkut kebaikan , kemuliaan, kesucian, kebenaran.
Rentang waktu hidup manusia didalam dirinya adalah wadah konfrontasi atau dialektika yang terus menerus antara kuasa lumpur atau kuasa roh. Kuasa lumpur pada diri manusia adalah dorongan dan hasrat pada diri manusia untuk melakukan segala perbuatan buruk :(1) ingkar pada kebaikan ,(2) melakukan korupsi, mencuri, mengambil hak orang lain, (3) menentang perintah dan anjuran Tuhan ,(4) khianat ,(5) sikap sombong, riya’, pamer, suka pujian,(6) menyakiti orang lain, pelit, rakus,tamak. Pokoknya semua sikap buruk dan jauh dari akhlak kemanusiaan.
Sebaliknya sifat ruh yang diitiupkan Tuhan adalah lawan dari sifat lumpur :(1) cenderung pada kebaikan dan kemuliaan serta kebenaran, (2) konsisten dan tunduk pada arahan serta petunjuk Tuhan, (3) tidak pelit atau dermawan, (4) suka berkorban demi kebaikan dan meringankan beban orang lain, (5) tidak sombong, tidak pamer,rendah hati, berempati pada penderitaan orang lain dan membantunya sebisa yang dapat dibantu dalam meringankan penderitaan mereka.
Menjadi manusia, adalah menjadi makhluk unik yang bidemensional, yaitu wadah pertentangan , atau wadah memilih dan menentukan secara sadar dan bebas antara tarikan sifat dan tabiat lumpur versus tabiat dan sifat ruh yang ditiupkan Tuhan, pada waktu proses penciptaan manusia.
Atas dasar itu, menurut Ali Syar’i,ati , bagi manusia , semestinya konflik antara sifat lumpur dan ruh itu dalam perjalanan eksistensi manusia , seharusnya dimenangkan oleh kuasa ruh yang di tiupkan Tuhan , yang dominan dalam perjalanan eksisensi manusia melintas planet bumi ini.
Apa yang diteorisasikan dan diyakini oleh Sosiolog Islam ,Ali Syari,ati adalah sejalan dan senafas dengan apa yang juga diyakini oleh pendiri Filsafat eksistensialisme , Soren Aabye Kierkegard (1813 -1855),yang berkebangsaan Denmark. Bagi Kierkegard, hidup sebagai perjalanan eksisensi manusia, maka puncak tertinggi eksistensinya itu adalah bahwa manusia yang sempurna akan berakhir menjadi manusia religius. (Kierkegard, The Diary of a seducer, 1840).
Kata Kierkegard, semestinya perjalanan eksistensi manusia itu selama di alam dunia ini, adalah akan sampai ke puncak eksistensi manusia, yaitu menjadi manusia religius atau homo relegius. Meskipun untuk mencapai itu sang manusia terlebih dulu menjadi dan mengalami sebagai : homo estetis dan homo etis.
Homo estetis adalah diri manusia yang sangat mencintai dan mendambakan segala hal yang semata memuaskan libido dan hasrat materi serta sexualitas . Tipe manusia ini adalah mengejar : kemewahan,kemegahan , wanita wanita cantik, pesta pora, kekayaan , puja dan puji orang lain, ketenaran, kedudukan, ambisi dan kekuasaan. Maka jika tiba saatnya , maka sang manusia sesuai dengan penghayatan dan pengalamannya bertransformasi menjadi homo etis. Jenis manusia ini, dia hanya mengerjakan segala sesuatu yang bermanfaat dan memberikan nilai martabat, kebaikan serta kemuliaan bagi dirinya dan orang lain. Dan akhirnya homo etis bertransformasi kepuncak eksistensi yaitu menjadi homo relegius. Dan homo relegius di puncak eksistensi adalah type manusia yang seluruh aktivitas dan tindakannya adalah segala sesuatu yang diperintahkan dan disetujui oleh Tuhan, dia hidup dalam semua tingkah lakunya adalah sepenuhnya mengikuti petunjuk dan kuasa Tuhan.
Manusia religius di puncak eksistensi versi Soren Aabye Kierkegard, adalah manusia yang memenangkan ruh yang ditiupkan Tuhan melawan lumpur versi eksistemsinya Ali Syari’ati.
Maka menjadi homo relegius atau manusia yang berada dalam kuasa Ruh dari Tuhan adalah manusia manusia yang sukses dalam perjalanan eksistensinya melintasi planet dunia yang fana ini dalam perjalanan panjang pulang kembali menuju Tuhannya.
Ditengah kompleksitas peradaban modern yang sekuler dan kering saat ini, maka jalan eksistensi menuju homo relegius atau kuasa ruh Tuhan adalah jalan yang paling aman dan paling bertanggungjawab. Maka, semoga ibadah puasa menghantarkan manusia menuju puncak spritual tertinggi yaitu taqwa atau menjadi homo religius. Wallahu allam bissawab. *SS