Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi, Mantan ASTER KASAD dan Mantan Anggota DPR RI.
BAGIAN 8
Kapitalisme Malas VS Kerja Kerja Kerja.
SwaraSenayan.com. Praktek penguasaan ekonomi melalui pasar uang dunia ini kemudian melahirkan model “Kapitalisme Malas”. Disebut “Kapitalisme Malas” karena dengan permainan “Uang Beranak Uang” (money makes money) di pasar uang tanpa kegiatan ekonomi secara riil. Mereka hanya memperdagangkan uang dan kertas-kertas berharga dengan berbagai turunan dan ikutannya (derivatifnya).
Dengan cara ini mereka tidak perlu repot-repot menghadapi masalah sosial sebagaimana dalam bisnis di bidang sektor riil, seperti repotnya perijinan, pemogokan buruh, dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat perekonomian dunia dewasa ini terbelah menjadi 2 (Dua) yaitu sektor riil dan sektor moneter.
Perkembangan sektor moneter begitu pesatnya, empat puluh kali bila dibandingkan sektor riil, sebagai contoh perdagangan Valuta saja tiap hari mencapai 2, 4 Tilyun USD, sementara keseluruhan sektor riil hanya mencapa 4 Trilyun USD per hari. Artinya dari 1 (satu) cabang saja dalam hal ini Valuta asing (Money Changer) sudah mencapai 54% (empat puluh enam persen), belum lagi dari penjualan saham, aneka Bonds, dan Surat-surat berharga lainnya.
Model perokonomian yang demikian ini melahirkan gelembung ekonomi (Bubble Economy), akibat yang diperdagangkan adalah kertas, berbeda dalam sektor riil yang dikelola benar-benar ada barangnya.
Sejumlah ahli bahkan menyimpulkan bahwa sektor moneter dewasa ini menguasai 76% (tujuh puluh enam persen) kehidupan dunia, sisanya baru tersebar pada aspek kehidupan lainnya. Dalam kaitan pengelolaan ekonomi dunia, melalui negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional mereka memberi bantuan dalam bentuk pinjaman kepada negara-negara berkembang.
Dalam kenyataannya model yang diterapkan harus mengakomodasikan kepentingan mereka dan harus sesuai dengan disiplin keilmuan yang mereka kembangkan. Dalam kenyataannya upaya mereka di negara-negara berkembang pada umumnya gagal. Salah satu penyebab utamanya karena elit bangsa yang dibantunya korup. Mereka bersembunyi pada elit yang korup. Melalui elit yang korup mereka dengan mudah mengendalikan pengelolaan perekonomian negara-negara yang dibantunya. Maka lisensi tambang dan monopoli pasar pun mereka kuasa bersama kroni dalam negeri.
Tata Dunia Baru dan Restrukturisasi
Kalau kita perhatikan dunia sekarang dihebohkan dengan krisis ekonomi secara bergantian, serta perang dunia ketiga dalam bentuk “currency war”. China bermaksud menggeser peran US dollar sebagai mata uang yang diakui dunia.
Artinya apa? Bentuk-bentuk mata uang adalah kesepakatan adanya negara-negara dan merupakan diplomasi formal antar negara, yang merupakan bentuk formal perantara tukar menukar komoditi antar negara. Keberadaan negara diatur melalui eksistensi mata uangnya dan untuk itu dibuat aturan main pertukaran barang antara negara melalui diplomasi mata uang. Kesepakatan ini kini menjadi sumber pertikaian yang dianggap sebagai potensi perang dunia III.
Apakah negara-negara sudah tidak mengakui adanya sistem yang menjadi kesepakatan antar negara selama ini? Yang ternyata mendominasi mayoritas bangsa-bangsa di dunia selama ini? Lalu apa yang harus kita perbuat dalam menyikapi hal tersebut? Apakah diam saja dan sibuk urusan “tetek-bengek” di dalam negeri yang tidak kunjung usai?
Mengapa negara kaya raya ini belum menghadirkan manfaat bagi rakyatnya. Sementara Thailand yang tidak punya tambang, tidak sekaya Indonesia, bisa bangkit dan menjadi “tradehub agribisnis” dunia?
Mengapa Malaysia yang hanya sebesar satu provinsi nya Indonesia berhasil menggeser posisi Eropa sebagai investor papan atas di Indonesia, dan kini menjadi pintu masuk pariwisata Asia khususnya Asia Tenggara.
Padahal yang dibutuhkan bagi satu bangsa sebesar Indonesia hanya ada dua solusi yang terpadu saja, yaitu: revolusi kebudayaan dan perombakan sistem kenegaraan yang dikawal oleh militer yang berpihak pada rakyat. Ini adalah proses yang dibutuhkan sebagai prasyaratnya untuk melakukan corporate restructuring (restrukturisasi) negeri ini.
Kisah sukses dalam hal Redesign Country Management model tersebut adalah Thailand dan Malaysia. Pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa negara yang sudah memiliki segalanya, memiliki rakyat dalam jumlah besar, memiliki hukum, bisa memberikan lisensi sumber daya alam, semuanya ada termasuk aturan main pun ada, tetapi dalam prakteknya mengapa bisa kalah dengan perusahaan multinational corporation yang kini berlomba untuk mengorganisir rakyat melalui mekanisme pasar.
People Cybernomics adalah Bentuk NASAKOM Kekinian
Indonesia memiliki potensi untuk membentuk model ekonomi baru, yaitu people cybernomics. Suatu sistem baru untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat secara konkret. Apalah artinya kedaulatan rakyat ditangan rakyat, kalau rakyat tanpa mempunyai kedaulatan ekonomi.
Dimana rakyat secara komunal terorganisir dalam bentuk semacam korporasi melalui aplikasi telematika. Konsep ini mempertemukan antara kapitalisme dan sosialisme dalam korporasi kerakyatan walaupun tidak harus berbentuk badan hukum secara rigid.
Jadi ke depan, rakyat (komunal) akan berjaringan. Ini menjadi model ekonomi baru yang berbasis kerakyatan yang diperlengkapi dengan aplikasi teknologi dan sistem seperti halnya multinational corporation. Karena negara lah yang bisa memfasilitasi hal ini, maka negara yang harus mengubah sistem ekonominya dengan kembali ke uang mas, atau komoditi lainnya dan mengadopsi fenomena tersebut.
Yang pasti kepemimpinan nasional di seluruh dunia tidak bisa lepas dari skenario global ini. Terpilihnya Joko Widodo dari kalangan rakyat dengan motto “KERJA KERJA KERJA” sudah tepat waktunya. Kemampuan Pemimpin menerawang fenomena global yang sudah dan sedang bergerak ke sana menjadi faktor penentu nasib bangsa manapun di seluruh dunia supaya rakyatnya tidak terus disengsarakan oleh kebodohan dan juga keserakahan sang Pemimpin.
Dari perspektif persyaratan “corporate restructuring”, kalau ingin NKRI tetap utuh maka Indonesia wajib melakukannya segera. Kalau ini tidak, maka yang terjadi saya rasa adalah skenario kedua yakni adanya perpecahan seperti Aceh, Papua, Riau, Kaltim yang ingin berdiri sendiri-sendiri karena tidak merasakan manfaat berIndonesia. Yang pasti akan segera disusul oleh daerah lainnya. NKRI mreteli dengan sendirinya.
Pertanyaan para ekonom klasik: Lantas modal uang darimana agar Indonesia bisa membiayai rencana “Corporate Restructuring” tersebut? Jawaban saya: Uang itu hanya sarana. Contohnya Thailand yang tidak punya tambang dan sumberdaya sebanyak kita terbukti bisa bangkit dari keterpurukan dan melunasi hutang-hutangnya (mengusir IMF) hanya dalam waktu 6 bulan. Berarti ada cara.
Malaysia kini maju dengan pesatnya. Berarti ada caranya. Itu hanya bagian sebuah model, China misalnya mengambil satu model yang awalnya tidak menganut hukum “supply and demand” sebagaimana sistem kapitalisme, yang penting dia mengatur bagaimana rakyatnya semua bekerja dari jam tujuh sampai jam lima.
China pun terbukti bisa memproduksi barang apa pun mulai dari peniti sampai satelit dengan tidak ikut model mekanisme pasar. Rakyatnya lebih dari 1,4 miliar makan semua. Kesehatan ditanggung negara, pendidikan semua gratis semua anak sekolah, semua kerja. Kalau China menerapkan sistem kompetisi bebas, seperti negara-negara barat, rakyat China bisa mati bunuh-bunuhan hanya untuk sekedar cari makan. China mengeruk devisa hampir 3 trilyun dolar AS. Jadi jangan tanya soal uang. Uang itu hanya alat. Itu kan hanya soal modelling saja.
Bangsa yang cerdas tidak perlu alergi dengan istilah. Trauma-trauma terhadap istilah perlu dimaknai ulang. “Bad memory” bawah sadar perlu didetox supaya pikiran bangsa kembali cemerlang. Kalau dunia pada akhirnya mengakui KONSEP BUNG KARNO tentang NASAKOM yang kalau dijelaskan secara gamblang sebagai berikut:
“Dalam tantangan the end of nation-state dan the death of government, maka nasionalisme (NAS) hanya bisa bertahan apabila didasari oleh filsafat Agama (A) yang perwujudannya seperti makna Pancasila Pakeming Ngaurip sebagaimana diuraikan diatas, yang dioperasikan dalam bentuk kongkrit perwujudan rakyat terorganisir dalam jaringan (KOM) yang istilah kerennya People Cybernomics”.
Sebuah realitas yang sedang diwujudkan oleh seluruh dunia melalui dorongan revolusi telematika dan seluruh komponen pendukungnya”, lantas mengapa Bangsa Indonesia sebagai pemilik Bung Karno malah sibuk alergi dengan istilah NASAKOM tersebut.
Kalau meminjam istilah Filsuf Pakistan, Muhammad Iqbal, “Komunisme adalah Islam minus God”. Itu cocok untuk Pakistan yang sudah mendeklarasikan sebagai Negara Islam Pakistan (Thanks to Mas Adi Sasono mantan Menteri Koperasi dan UKM era Presiden BJ Habibi yang telah mengingatkan saya tentang istilah ini).
Saya jadi ingat komentar Gus Dur “minyak zaitun dikasih merk minyak babi jadi haram, minyak babi dikasih merk minyak zaitun jadi halal”. Sementara justru kita sudah punya istilah sendiri yang tepat hasil kreasi Bapak Bangsa kita yang diakui dunia.
Ayo Stop menjadi Bangsa Bodoh alias OON. Saya yakin Bung Karno sedang tersenyum membaca tulisan saya ini. Melalui tulisan ini saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh Jenderal yang dalam sebulan ini menghujat saya sebagai Jenderal PKI, TNI kesusupan Kader Komunis sampai Bintang Dua, dan terkhusus senior saya, Mayjen TNI (Purn) Budi Sudjana yang telah membuat saya terpaksa menjelaskan semua ini.
Kepada yang mulia Presiden Joko Widodo ijinkan saya menyampaikan aspirasi…… lanjutkan……!!! Lebih cepat lebih baik……. KERJA KERJA KERJA. Gitu saja kok repot. Wis RAPOPO. ■ss