Oleh: Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Baru saja publik disuguhi sebuah tontonan di hampir semua stasiun televisi tentang kelanjutan kasus penodaan agama yang disangkakan kepada Basuki Tjahaja Prunama alias Ahok yang memasuki babak baru. Setelah sebelumnya publik disuguhi tontonan panjang pemeriksaan Ahok hingga menyandang predikat tersangka dan diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tontonan yang melelahkan dan menguras energi bangsa terlalu besar.
Hari ini, Ahok menjalani sidang perdana dimana Ahok didudukkan di kursi terdakwa dihadapan Hakim dan mendengar dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. Dakwaan yang singkat namun jelas tegas menyatakan bahwa Ahok melanggar pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Peran Ganda Ahok, Kepentingan Politik dan Kepentingan Hukum
Pasca pembacaan dakwaan yang cukup terang benderang itu, Ahok menyatakan tidak memahami maksud dakwaan meski secara bahasa terdakwa Ahok mengakui mengerti. Ahok memang unik, menyatakan tidak mengerti dakwaan meski dipahami secara bahasa. Artinya hingga kini, Ahok bisa kita nilai juga tidak mengerti mengapa jadi tersangka, dan mengapa jadi terdakwa. Benarkah Ahok tidak mengerti atau itu hanya sebuah strategi pembelaan diri? Biarlah Ahok yang tahu bersama tim hukumnya, meski hal itu menjadi lelucon yang tak layak ditertawakan karena tidak lucu.
Saya jadi bertanya-tanya, untuk apa Ahok beberapa kali dihadapan umat Islam meminta maaf atas peristiwa yang saat ini menjadikan Ahok sebagai terdakwa? Bukankan permintaan maaf terjadi karena merasa bersalah dan mengakui bersalah? Dua peran sedang dimainkan. Disisi kepentingan politik pilkada meluncur permintaan maaf, sementara disisi penegakan hukum mengaku tidak paham apa yang didakwakan dan tidak merasa bersalah.
Kambing Hitam Dalam Nota Keberatan / Eksepsi
Nota keberatan Ahok secara pribadi maupun eksepsi yang dibuat oleh Tim Hukum Ahok sesungguhnya jauh dari maksud nota keberatan. Nota keberatan harusnya berisi keberatan atas dakwaan yang tidak sempurna, sumir atau abu-abu sehingga harus batal demi hukum. Namun uniknya nota keberatan itu dipenuhi oleh pledoi atau pembelaan yang belum saatnya untuk dibacakan. Premature dalam proses peradilan hukum tapi menarik bila dicermati dari sisi strategi pembelaan.
Ada hantu dalam nota keberatan yang dibacakan. Mengapa saya sebut hantu? Karena ada tudingan mencari kambing hitam tak berwujud karena tidak secara tegas disebutkan siapa dan dimana. Ada kata yang berulang kali disebut dengan menuduh ELIT POLITIK BUSUK dan ELIT POLITIK PENGECUT. Ahok seolah menyatakan bahwa kalimatnya di Pulau Seribu adalah ditujukan kepada Elit Politik yang Ahok anggap sebagai Busuk dan Pengecut karena tidak mampu mengalahkannya dalam Pilkada DKI kali ini sehingga berlindung dibalik Surah Al-Maidah 51. Elit Politik inilah yang saya sebut hantu karena Ahok tidak menyebut siapa yang dia maksudkan sebagai Elit Politik itu.
Mengapa Ahok dan Tim Hukumnya tidak jantan menyebut siapa elit politik yang dia maksudkan? Jika bicara tentang pilkada, yang dianggap tidak mampu mengalahkannya adalah tentu lawan kontestasi Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta yaitu Cagub Nomor 1 Agus-Silvy dan Cagub Nomor 3 Anis-Sandi. Adakah yang dimaksud Ahok salah satu dari kedua kompetitornya tersebut? Ahok patut diduga sedang berupaya membentuk opini bahwa yang menimpa dirinya bukan murni masalah hukum tapi adalah masalah politik. Jika demikian, bukankah Ahok bisa dinilai meragukan institusi POLRI yang menetapkannya jadi tersangka? Ahok harus menyadari bahwa POLRI tidak sedang bermain politik dalam menetapkannya sebagai tersangka tapi itu bagian dari penegakan hukum.
Berhentilah menebar opini yang justru menjadi bumerang dan bisa memicu polemik baru. Ahok dan tim hukumnya lebih baik fokus pada masalah hukum dan jangan bermain politik dalam kasus ini. Mengaku bersalah dan menerima hukuman adalah sikap ksatria dan menghindari tangung jawab adalah sikap pengecut. *SS