Oleh: Achmad Suhawi
SwaraSenayan.com. Ilusi Pilkada Langsung Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung dan serentak mendatangkan optimisme sekaligus psimisme tersendiri bagi sebagian kalangan. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan aspirasi masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka melakukan rekrutmen kepemimpinan di daerahnya masing-masing.
Dengan adanya pilkada langsung maka kehidupan masyarakat ditingkat lokal menjadi semakin dinamis. Situasi semacam ini diharapkan berjalan beriringan dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat di tingkat daerah sebagai indikasi keberhasilan proses demokratisasi. Selain daripada itu, pilkada langsung diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang lebih demokratis, akuntabel, kompeten sekaligus mampu mewujudkan pemerintahan yang lebih melayani rakyatnya. Gagasan pilkada langsung merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang berlangsung di tanah air, sekaligus sebagai upaya lain untuk menghindari adanya praktek anti demokrasi yang dapat memberangus demokrasi itu sendiri.
Pilkada langsung juga dimaksudkan untuk memenuhi hak-hak individu agar terdapat peluang yang lebih terbuka dan partisipatif dalam menentukan pemimpin sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan. Artinya, pilkada secara langsung merupakan upaya dalam memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik. Pilkada langsung sebagai proses demokratisasi di daerah membutuhkan evaluasi yang terus menerus serta berkesinambungan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus memajukan demokrasi itu sendiri.
Robert Dahl, Samuel Huntington dan Bingham Powel memberikan parameter untuk mengukur suatu demokrati melalui mekanisme pemilihan umum yang teratur, Terjadinya rotasi kekuasaan, Mekanisme rekrutmen yang dilakukan secara terbuka, dan adanya akuntabilitas publik. Pilkada merupakan sarana rekrutmen jabatan politik atau pejabat publik yang sekaligus menjadi sarana untuk menilai pejabat publik terpilih. Artinya, pilkada juga merupakan sarana ganjaran dan hukuman (reward and punishment) atau dalam arti lain, apakah layak kepala daerah terpilih untuk dipilih kembali atau sebaliknya, sedangkan batasan maksimal menjabat selama 2 (dua) periode menjadi mekanisme baku dalam melakukan rotasi kekuasaan dalam batas waktu maksimal.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan batasan bagi seorang kepala daerah agar tidak terus-menerus memegang jabatan tersebut tanpa batas waktu. Rotasi kekuasaan juga memberi ruang pergantian kepala daerah secara teratur dan damai dari satu orang kepala daerah kepada yang lainnya, Pilkada langsung juga memberi peluang adanya kompetisi, dimana setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi kepala daerah, bahkan juga terbuka untuk calon perseorangan. Selain daripada itu, kepala daerah sebagai pemegang jabatan public harus dapat mempertanggungjawabkan atas apa yang dilakukan, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik.
Seorang kepala daerah bukan saja harus mampu mempertanggungjawabkan segala kebijakan yang ditempuh, tapi juga terbuka untuk dipertanyakan oleh publik atas apa yang dilakukan kepada keluarga terdekatnya, sanak saudaranya bahkan teman dekatnya, karena boleh jadi, ada banyak hal yang dikaitkan dengan kedudukan atau posisi tersebut. Apalagi pers yang bebas dengan berbagai sarana social media yang berkembang pesat telah turut member andil terhadap akuntabiltas dengan tingkat partisipasi masyarakat yang lebih luas.
Dalam kenyataanya, semenjak diberlakukan pilkada langsung ternyata korupsi masih marak di daerah, bahkan menurut Ranu Wiharja, Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi, dengan 343 bupati / walikota dan 18 gubernur. Dari 343 kasus korupsi yang menjerat bupati / walikota, 50 kasus diantaranya ditangani KPK, sementara sisanya ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian. Sedangkan dari 18 kasus yang menjerat gubernur, 16 kasus ditangani oleh KPK dan 2 kasus ditangani oleh kejaksaan.
Artinya, pilkada langsung yang diharapkan mampu melahirkan kepala daerah yang dapat memberikan perbaikan bagi kehidupan masyarakat didaerah ternyata memproduksi koruptor. Besarnya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi menimbulkan tanda tanya besar, dimana letak sumber masalahnya. Selain masalah korupsi, pilkada langsung sebagai suatu mekanisme rekrutmen kepemimpinan belum secara signifikan memunculkan figur kepala daerah dari luar lingkaran kekuasaan, fenomena politik dinasti. Politik dinasti merupakan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Realitas ini bukan saja mempersempit ruang kompetisi yang lebih sehat seperti mengurangi penyalahgunaan anggaran dan aparatur pemerintahan sipil selama proses sampai dengan pelaksanaan pilkada. Politik dinasti juga menyebabkan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat dalam rangka melakukan pemerataan pembangunan menjadi semakin terpusat pada sekelompok orang / golongan tertentu saja.
Sehingga pada akhirnya menjadi semakin sulit untuk memutus mata rantai korupsi. Hadirnya kepala daerah yang kompeten dengan kualitas kepemimpinan yang handal pun makin jauh dari harapan. Ini barangkali yang menjadi dasar argumentasi bagi kelompok pesimis yang melihat pilkada langsung sebagai suatu proses yang menguras energy sebagai bangsa dengan biaya dari rakyat tapi tidak cukup memberikan perbaikan taraf hidup terhadap masyarakat setempat. Fenemena dari 101 pilkada yang akan digelar tahun 2017 dapat digambarkan bahwa masih ada, setidaknya 67 daerah atau 66 persen yang diikuti oleh calon patahana (incumbent) dengan total 90 pasangan calon. Selain daripada itu, ada 19 daerah yang calon patahana tetap maju sebagai pasangan calon bersama wakilnya dan ada 15 daerah lainnya maju secara terpisah. Dari 90 pasangan calon patahana diketahui bahwa 83 pasangan calon mengambil jalur partai politik dan 7 pasangan calon mengambil jalur perseorangan.
Dari sini kita mengetahui bahwa pilihan yang ada dalam pilkada masih sangat terbatas dan lebih banyak disuguhkan muka-muka lama. Artinya, selama lima tahun kedepan tidak akan banyak perubahan kebijakan yang bisa diharapkan terjadi didaerah, khususnya bagi daerah yang akan mengikuti pilkada langsung pada tahun 2017. Calon Tunggal Dalam Pilkada Langsung Indonesia akan mengadakaan pilkada langsung dan serentak pada 15 Februari 2017 di 101 daerah, baik provinsi maupun kabupaten / kota. 101 pilkada tersebut akan diikuti oleh 338 pasangan calon dengan 6 pilkada yang kontestannya adalah calon tunggal.
Semula ada 7 daerah yang akan mengikuti pilkada dengan calon tunggal, tetapi setelah dilakukan perpanjangan waktu oleh KPU ternyata cuma ada 1 daerah yang kemudian memunculkan pasangan calon baru, yaitu Kabupaten Kulonprogo. Adanya calon tunggal dalam pilkada langsung mengindikasikan terjadinya kelemahan dalam sistem kaderisasi dan pola rekrutmen yang ada di partai politik (parpol). Parpol idealnya mencetak “manusia-manusia hebat” sebagai politisi dan negarawan yang siap berkarya tapi dalam kenyataannya terjerembab menjadi “pengguna manusia hebat” yang tidak terproses melalui parpol.
Disamping itu kemunculan calon tunggal bukan hanya menutup kesempatan khalayak dalam membuat pilihan, tapi juga merusak iklim kompetisi dalam berdemokrasi. Hadirnya calon tunggal dalam pilkada langsung pada umumnya karena didukung koalisi parpol yang menguasai 90 persen kursi di DPRD setempat, sehingga sisa kursi yang ada tidak memungkinkan untuk mengajukan calon lain karena syarat minimal adalah memiliki 20 persen kursi, sementara syarat calon perseorangan membutuhkan waktu lebih untuk mempersiapkan teknis administratif. Fenomena calon tunggal menunjukkan parpol memilih jalan pintas yang pragmatis dalam rekrutmen calon kepala daerah. Proses rekrutmen calon kepala daerah yang ditentukan oleh sejumlah kecil elit parpol, seringkali diikuti oleh menyeruaknya aroma kurang sedap tentang adanya “mahar politik” diruang-ruang terbatas.
Walaupun sejumlah parpol seperti Golkar menyatakan tidak ada mahar politik dalam rekrutmen calon kepala daerah tahun 2017. Mahar politik adalah kebiasaan tidak mengikat yang dikenakan oleh parpol kepada calon kepala daerah yang hendak mengajukan diri agar di usung / di dukung oleh parpol bersangkutan dengan keutamaan harus menyetor sejumlah besar uang. Ini adalah pendekatan pragmatis dalam menunjuk calon yang berpeluang besar menang walaupun harus berpaling ke tokoh-tokoh di luar parpol itu sendiri. Pendekatan pragmatis ini tetap dibungkus dengan rapih, cantik dan elegant. Indikator yang dipakai biasanya berbasis kepada survey terhadap popularitas dan elektabilitas calon.
Pada tahap selanjutnya makin banyak keanehan dan kejanggalan, ketika muncul fenomena kedaulatan partai yang tunduk dengan hasil survey dari suatu lembaga survey dalam menentukan kualitas calon. Sehingga calon kepala daerah yang diusung oleh parpol tidak lagi mengedepankan dedikasi, komitmen, moralitas, nilai-nilai kejuangan parpol dan integritas calon. Walaupun kita tahu bahwa survey yang berbasis persepsi sifatnya sangat dinamis dan dapat berubah setiap waktu. Namun satu hal yang pasti bahwa sifat statis dari modus setiap survey terletak pada keuangan calon kepala daerah. Sebab, calon yang popular biasanya ekuivalen dengan keuangan calon sebagai modal politik untuk memenangkan kontestasi pilkada langsung ditengah pemilih yang cenderung pragmatis atau pemilih NPWP (nomor piro wani piro / nomor berapa berani berapa).
Selain daripada itu adalah kesanggupan untuk mahar politik. Praktek mahar politik tidak terlepas dari oligarki didalam tubuh parpol itu sendiri. Sebagaimana disadari bersama bahwa untuk menggerakan struktur dan kelembagaan parpol tidak mudah dan juga tidak murah. Sementara sumber keuangan parpol secara formal masih mengacu kepada iuran anggota atau bantuan tidak mengikat sebagai sumber yang sah dan legal. Iuran anggota dari suatu parpol nampaknya hanya berjalan pada level tertentu saja atau bisa juga sifatnya tentative dan temporer. Selain daripada itu, parpol juga tidak memiliki badan usaha sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan (ormas). Artinya, parpol merupakan institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan kenegaraan, mulai dari memutuskan calon presiden / wakil presiden, kepala kepolisian, panglima TNI, hakim agung, komisi-komisi Negara yang bersifat adhock sampai dengan calon kepala daerah tetapi ia juga harus membiayai dirinya sendiri sebagai institusi.
Bukan hanya itu, partai juga yang secara tidak langsung mengawasi jalannya pemerintahan dan mengatur anggaran belanja negara. Kewenangan yang demikian besar tersebut tidak ditopang oleh sumber pembiayaan yang memadai dan mudah dikontrol oleh publik. Akibatnya, menjadi suatu keniscayaan bagi parpol untuk menarik sumbangan / iuaran dari berbagai sumber walaupun pengelolaan dan jumlahnya sumbangan tersebut tidak pernah diaudit dan juga tidak transparansi sebagaimana layaknya badan publik. Dana bantuan parpol yang bersumber dari APBN juga terus menuai pro – kontra yang tidak berkesudahan, baik dari segi jumlah maupun substansi dana bantuan itu sendiri, dimana selama masa pro kontra berlangsung pembiayaan terhadap gerak langkah parpol tetap masih ditopang oleh beberapa tokoh parpol itu sendiri.
Inilah sumber oligarki yang turut memberi andil bagi tumbuhnya korupsi di daerah yang harus diputus untuk memberikan iklim yang lebih sehat terhadap keberlangsungan demokrasi di tanah air. Walau bagaimanapun parpol masih menjadi tumpuan dan hulu dari keseluruhan sistem pemerintahan dan rekrutmen kepemimpinan disegala aspek dan arah kehidupan kebangsaan kita. Pseudo Democracy dalam Pilkada Langsung Pilkada langsung merupakan refleksi atas demokrasi yang telah berlangsung ditanah air semenjak reformasi 1998.
Dari perspektif sejarah demokrasi, revolusi Perancis telah melahirkan bentuk parlemen sebagai sebuah bentuk demokrasi keterwakilan yang disuarakan oleh kaum borjuis. Dan para pengkritiknya pun menuduh parlementerisme sebagai badan politik yang memotong partisipasi rakyat, dimana demokrasi dipersamakan dengan prinsip perwakilan (representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang / elite, dimana pada tahap selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut.
Dengan demikian, pilkada langsung merupakan perwujudan lebih nyata atas praktek demokrasi bila diukur dari pelibatan partisipasi. Pilkada langsung dan serentak yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2017 menurut daftar pemilih sementara (DPS) yang dilansir oleh KPU diperkirakan akan diikuti oleh 41.150.323 pemilih dengan 20.691.929 pemilih laki-laki dan 20.458.311 pemilih perempuan. Para pemilih tersebut akan menggunakan hak politiknya melalui 95.063 TPS yang disediakan. Artinya, dari aspek teknis dan partisipasi boleh dikatakan bahwa demokrasi dalam pilkada langsung bersifat lebih nyata daripada demokrasi perwakilan atau pemilihan kepada daerah yang dilakukan melalui DPRD / legislatif.
Pilkada langsung sebagai praktek demokrasi merupakan pengejawantahan dari demokrasi yang berasal dari tradisi Yunani, dimana demokrasi memiliki pengertian asal kata demos yang berarti rakyat dan kratein / kratos yang berarti kekuasaan. Demokrasi secara harfiah dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi selalu dikaitkan dengan bentuk sistem pemerintahan / kenegaraan (Staasvorm) yang mana kekuasaan politik ditangan rakyat atau disebut kekuasaan rakyat (Heerschappij van het Volk). Definisi ini merupakan sebuah frase yang sangat ideal walaupun belum tentu sesuai dalam prakteknya atau bisa diistilahkan dengan pseudo demokrasi.
Pseudo dalam bahasa Indonesia berarti kepura-puraan, semu atau palsu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pseudo democracy berarti demokrasi palsu, atau sebuah situasi yang seolah-olah demokratis tetapi pada kenyataannya tidak. Sistem politik Indonesia sesungguhnya sangat oligarkis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kontrol kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi hanya berada ditangan segelintir elit. Mereka memegang peranan ganda, yakni sebagai pemimpin parpol dan pemimpin terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan. Modal ekonomi yang besar menjadikan mereka sanggup mengontrol kehidupan politik, serta mengarahkan agar sesuai dengan keinginan mereka. Sementara parpol sebagai institusi publik tidak dapat mewujud secara nyata, hal ini dapat digali dari sumber keuangan parpol yang hanya mengandalkan sejumlah tokoh sentralnya, padahal ia memiliki kewenangan yang sangat besar dalam segala dimensi kehidupan kenegaraan.
Artinya, selama parpol belum menjadi badan publik yang dibiayai oleh publik dan dapat diaudit maka dalam kenyataannya parpol hanyalah instrumen oligarki politik dan bisnis. Sehingga parpol sebagai instrument demokrasi sifatnya adalah pseudo yang pada gilirannya memproduksi pseudo demokrasi. Calon kepala daerah yang akan memasuki kontestasi pilkada langsung merupakan produk rekrutmem yang cenderung mengabaikan proses kaderisasi dari internal parpol, dimana pendekatan yang biasa dipakai hasil survey terhadap popularitas dan peluang calon untuk menang. Artinya parpol cenderung abai terhadap pendidikan politik, transformasi nilai yang seharusnya dilakukan. Sehingga wajar saja apabila kemudian calon-calon yang mucul adalah muka-muka lama atau bagian dari dinasti politik yang sudah mengakar. Dan tidak ayal lagi ketika kemudian calon yang dimunculkan oleh parpol banyak yang tidak sejalan dengan arus utama keinginan anggota parpol itu sendiri.
Akibatnya, pembelotan demi pembelotan dapat disaksikan dengan kasat mata, apakah yang dengan terang-terangan mengemuka maupun yang diam-diam tidak bekerja. Dan itu semua berpulang kepada oligarki sebagai wajah sesungguhnya dari pseudo democracy. Sehingga pilkada langsung tidak lebih sekedar sandiwara kaum oligarki dalam memperebutkan hati rakyat. Pseudo democracy dapat dikurangi apabila Negara yang menganut sistem demokrasi semacam Indonesia bisa mengatur keuangan parpol. Sehingga fungsi-fungsi kepartaian berjalan dengan optimal tanpa harus dibebani dengan keharusan untuk mengumpulkan sumber-sumber keuangan dalam rangka mengoperasionalkan ruang gerak kepartaian.
Dan pada gilirannya, keberadaan mahar politik dan dinasti politik yang banyak mewarnai dalam pilkada langsung dapat dikurangi. Selain daripada itu, pilkada langsung dan serentak juga dimaksudkan untuk mengurangi beban biaya pilkada yang menjadi beban bagi keuangan Negara. Sehingga pada tahap selanjutnya adalah menjadikan pilkada langsung juga efisien bagi calon kepala daerah agar muncul kader-kader parpol yang handal sebagai pemimpin-pemimpin didaerah. Hal ini sekaligus sebagai upaya dalam menekan peluang korupsi yang menjamur di daerah. Semoga !!! *SS