Oleh: Haris Rusly (Petisi 28)
SwaraSenayan.com. Kita tentu masih ingat kemeja bermotif kotak-kotak yang dikenakan oleh PYM Joko Widodo di saat menjadi calon Gubernur DKI. Kemeja motif “kotak-kotak” yang legendaris itu adalah kemeja yang gandrung dikenakan oleh anak-anak muda.
Karena itu, kemeja motif kotak-kotak yang dikenakan tersebut sesunguhnya dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan politik kaum muda, untuk meng-antitesa politik kaum tua yang berlumuran masalah dan mewariskan kepada kita berbagai dosa sejarah, baik masalah korupsi, kemunafikan maupun penyakit mentalitas inlander.
Terlalu banyaknya masalah hukum yang melilit sejumlah tokoh kunci kaum tua yang memegang kendali politik negara tersebut, telah menempatkan mereka untuk saling menyadera satu dengan yang lainnya. Akibatnya, orang-orang bermasalah tersebut bersatu, bahu-membahu, untuk saling membantu menutupi kejahatan yang mereka perbuat.
Pada gilirannya nasib bangsa dan negara pun turut tersandera oleh masalah yang menyandera kekuatan tua yang mengendalikan institusi pemerintahan tersebut. Sedikit sekali kekuatan tua yang berpikir dan bertindak sebagai pelatih, seperti Alex Ferguson (MU), yang membentuk dan melahirkan pemain yang berkaliber dan berkarakter seperti Christiano Ronaldo.
Sulit sekali menemukan orang-orang tua di dalam dunia politik, yang bersikap dan bermoral seperti Cokroaminoto yang ikhlas menjadi guru bangsa, yang menempa dan melahirkan seorang proklamator seperti Ir. Soekarno. Yang menyedihkan, bahkan ada sejumlah tokoh tua yang berambisi merangkap sebagai pelatih sekaligus sebagai pemain.
Oleh karena itu, simbol baju kotak-kotak yang mengantarkan oleh Joko Widodo menjadi Gubernur DKI sesungguhnya membawa misi regenerasi, untuk membangkitan spirit politik pemuda dalam membangun “trase” baru kehidupan bernegara yang disandera oleh jejaring kartel, mafia dan sindikat kekuatan tua.
Demikian juga simbol baju warna putih yang dikenakan oleh Joko Widodo di saat kampanye Pilpres 2014, tentu dimaksudkan sebagai simbol kesucian jiwa, anti tesa terhadap pemerintahan sebelumnya yang kotor dan berlumuran dengan berbagai kejahatan korupsi, kemunafikan dan kebijakan menjual negara.
Baju warna putih kini bahkan telah menjadi seragam resmi yang wajib dikenakan oleh para menteri di saat acara resmi kenegaraan. Seluruh pegawai negeri sipil dari pusat hingga daerah juga diwajibkan mengenakan kemeja warna putih pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari Senin dan Selasa.
Kemeja warna putih tersebut membawa kita pada memori ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Kita diajarkan oleh guru kita tentang makna dari warna bendera merah putih yang oleh guru kita. Merah bermakna berani, putih bermakna suci. Dwi warna, merah putih, sesungguhnya bermakna “jiwa yang berani, berkobar dan berkorban untuk membela dan menegakkan kesucian kebenaran dan keadilan”.
Karena itu, simbol kemeja warna putih yang dikenakan oleh Presiden Joko Widodo dan wajib juga dikenakan oleh para menteri, pejabat pemerintahan dan seluruh pegawai negeri adalah sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk menjiwai revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo.
Revolusi mental adalah untuk membangun kembali jiwa dan mental yang bersih dan suci dari korupsi, bersih dan suci dari kemunafikan dan bersih dari virus mental inlander yang bangga menjadi marsose kepentingan asing.
Namun kenyataannya kini, Presiden Joko Widodo, justru telah secara sadar bertindak sebagai malaikat pencabut nyawa. Presiden Joko Widodo dengan tangan dan mulutnya sendiri telah mencabut roh yang menghidupkan simbol kemeja bermotif kotak-kotak dan kemeja warna putih, yang telah berjasa mengantarkan dirinya terpilih baik sebagai Gubernur DKI maupun sebagai Presiden RI.
Dua kemeja herois tersebut telah menjadi almarhum, di-kafani dan dikubur sendiri secara sadar melalui tangannya Presiden Joko Widodo. Langkah Presiden Joko tersebut juga diamini seluruh parasit pendukungnya yang dulunya adalah orang-orang yang sangat kritis terhadap keadaan bangsa.
Dua fakta politik berikut dapat menjelaskan terkait telah dicabutnya roh atau nyawa dari kemeja bermotif kotak-kotak dan kemeja warna putih:
Pertama, fakta tentang perintah Presiden Joko Widodo kepada seluruh penegak hukum untuk tidak mempidanakan diskresi atau kebijakan pemerintah. Padahal fakta perampokan terbesar terhadap asset negara justru dilakukan melalui kebijakan yang dijabarkan melalui peraturan. Satu ayat dari sebuah UU atau kebijakan pemerintah pusat dan daerah dapat merugikan negara hingga puluhan triliun.
Perintah Presiden Joko Widodo tersebut juga telah menjadi pembenaran bagi seluruh pejabat pemerintah di pusat hingga tingkat daerah untuk membuat kebijakan menjual negara dan merampok asset kekayaan negara. Salah satu tugas Polri dan Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi secara de facto telah dilumpuhkan oleh Presiden Joko Widodo.
Kedua, fakta politik terkait kebijakan pemerintahan Joko Widodo melalui UU Tax Amnesty yang telah memberikan landasan hukum atau karpet merah untuk money laundry terhadap hasil kejahatan korupsi, pelacuran, perjudian dan narkoba.
Dengan disahkannya UU Tax Amnesty tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Pemerintahan Joko Widodo saat ini sesungguhnya telah dikuasai sepenuhnya oleh sindikat kejahatan nasional dan internasional.
Demikian juga kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN sesungguhnya adalah sebuah modus baru merampok kekayaan negara dengan memperalat BUMN. Skandal PMN kepada BUMN sebesar Rp. 70 triliun bukanlah uang yang nilainya kecil jika dibandingkan dengan skandal Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun yang hingga kini masih menjadi masalah hukum dan politik.
Ketiga, sebagai bukti bahwa pemerintahan Joko Widodo telah dikuasai oleh sindikat kejahatan nasionl dan internasional adalah masuknya sejumlah tokoh politik yang bermasalah secara hukum dalam resuffle kabinet jilid dua. Masuknya Wiranto, Sri Mulyani, Enggartiasto Lukito di dalam kabinet, telah menambah barisan orang orang bermasalah yang menguasai kabinet Kerja yang dipimpin oleh Joko Widodo.
Sebelum resuffle jilid dua, kabinet Kerja sesungguhnya telah dikuasai oleh barisan orang-orang bermasalah seperti Rini Soemarno, Luhut Binsar Panjaitan, Sutiyoso, dll. Sebetulnya, baik Presiden Joko Widodo maupun Wapres Jusuf Kalla juga tak bersih dari dugaan masalah hukum. Presiden Joko Widodo sendiri diduga kuat terlibat dalam kasus impor bus karatan dari China dan skandal NJOP Rumah Sakit Sumber Waras. Sementara Wapres Jusuf Kalla sendiri diduga kuat terlibat skandal projek pembangkit listrik 10.000 MW.
Tak salah jika banyak kalangan mengatakan bahwa Kabinet Kerja hasil resuffle jilid dua sebagai “Kabinet Oplosan”. Sebuah kabinet yang dibentuk dari mengoplos cita-cita mulia menegakan Trisakti dan pemerintahan yang bersih dari korupsi, tapi dijalankan oleh para menteri yang terlibat korupsi dan mafia kejahatan, sebagian Menteri menjadi marsose kapitalis barat, sebagian lagi bertindak menjadi kacungnya kapitalis China.
Persis seperti kejahatan mencari untung dengan mengoplos Bahan Bakar Minyak, premium dioplos dengan minyak tanah, lalu dijual dengan harga premium. Karena, kabinetnya adalah hasil oplosan, maka nasib dari Kabinet Kerja yang dibentuk oleh Joko Widodo juga tak jauh berbeda dengan mobil yang mengkonsumsi bahan bakar oplosan, pasti merusak mesin dan tak lama lagi akan mogok di tengah jalan.
Berdasarkan fakta tersebut, maka kami menyarankan agar Presiden Joko Widodo, para menteri, pejabat pemerintahan dan pegawai negeri, untuk tidak lagi mengenakan kemeja warna putih, simbol kejujuran dan anti korupsi. Untuk apa mengenakan seragam kemeja warna putih, tapi di saat yang sama sambil merampok dan menjual negara kepada asing.
Untuk apa mengenakan seragam kemeja warna putih jika di saat yang sama menjadi orang yang munafik, ingkar janji serta merampok dan menjual negara kepada asing.
Kenyataan di atas juga menegaskan bahwa hanya satu-satunya prestasi yang patut dibanggakan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu berhasil menipu kita semua sebagai rakyat Indonesia. Mari luruskan niat tegakan kembali Pancasila dan Trisakti. . ■ss