SwaraSenayan.com Front Nelayan Indonesia aktif merespon dan menanggapi kritis terhadap kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiasuti. Pasalnya, Susi ditentang oleh sejumlah pihak karena melarang nelayan tradisional menggunakan jaring penangkap ikan atau cantrang.
Dalam release yang diterima redaksi SWARA SENAYAN (27/4/2017), Ketua Umum Front Nelayan Indonesia, Rudianto Samawa menyampaikan bahwa kebijakan menteri Susi sudah sangat meresahkan nelayan. Karena itu, pihaknya menyampaikan pesan kepada Presiden Joko Widodo yang telah berjanji bahwa pemerintah akan berusaha memberikan solusi yang terbaik untuk para nelayan.
“Kalau mengajak nelayan dan rakyat percaya, mungkin akan sangat sulit mendapat kepercayaan. Pasalnya Pak Presiden Jokowi sudah 2,5 tahun yang lalu menjanjikan solusi untuk nelayan. Namun, sampai kini belum ada solusinya. Mana janjimu wahai presiden?,” ujar Rusdianto.
Rusdianto menambahkan, “Sebagai kepala negara jangan berjanji terus, perlu segera ditunaikan janji itu sehingga nelayan akan merasa nyaman dengan pemerintahan Jokowi. Jangan sampai nelayan diberbagai daerah se-Indonesia dimiskinkan dengan Permen-Permen Susi Pudjiastuti yang bermasalah itu. Ini kan dampaknya luar biasa terhadap pengangguran dan kemiskinan rakyat. Bayangkan lebih kurang 15 Juta kepala keluarga yang terkena dampaknya,” katanya bersemangat dan berapi-api di kantor MPM PP Muhammdiyah Jakarta (27/4/2017).
Front Nelayan Indonesia berharap presiden segera mengevaluasi dan melihat langsung ke lapangan guna menentukan arah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. “Jangan sampai nelayan dan rakyat berpandangan negatif terhadap pemerintahan Jokowi-JK karena akan melahirkan konflik yang sangat besar bahkan akan menyebabkan kerugian negara,” singgungnya.
Menurut Rusdianto, nelayan itu hanya butuh dilegalkan penggunaan cantrang untuk kapal berbagai ukuran di WPP NRI. Cantrang bukanlah trawl yang sering dipahami oleh Susi Pudjiastuti. Menteri KKP sekarang ini membuat rakyat gagal paham.
“Kami hanya meminta hapus berbagai permen yang mempersulit para pekerja perikanan. Nelayan juga berharap mari bersama-sama antara pemerintah dan pelaku usaha perikanan sebagai partner kerja memajukan dan menjadikan laut Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang handal dan bermanfaat bagi masyarkat banyak. Bukan malah mematikan sentra-sentra produksi sektor perikanan,” pintanya.
Rusdianto kembali mengingatkan kepada presiden dan Susi Pudjiastuti sebagai menteri bahwa penggantian jaring cantrang dicanangkan KKP hanya untuk kapal ukuran 10GT kebawah. Dengan 17 macam alat tangkap. Salah satunya cantrang diganti dengan satu macam alat tangkap milenium yang disebut Gill net (terminologi alat tangkap perikanan).
“Ini kok tambah puyeng pemerintah, apalagi Susi Pudjiastuti semakin seperti orang stress. Darimana rumusnya 17 alat tangkap itu diganti dengan satu alat tangkap. Padahal laut atau wilayah berbeda, apalagi ikannya tidak sama besar dan ikan banyak jenisnya pun. Padahal alat tangkap yang dibutuhkan pun beda-beda tergantung jenis ikan yang akan di tangkap dan kemampuan nelayan,” keluhnya keheranan.
Bagaimana dengan ribuan kapal trawl yang lebih besar dari 10GT? Bisa dicapai dengan manajemen spesifikasi alat tangkap dan musim yang baik jujur dan effectif tidak dengan melarang alat tangkap dan tidak memperkecil ukuran kapal.
Bila cantrang bisa dilegalkan, Pukat Udang bisa lebih dilegalkan dan dikembalikan ke Permen KP 02/2011 dan/atau Keppres 85/1982, mengingat azas manfaat sumberdaya udang di WPP-718 memiliki MSY sebesar 49.500 ton/thn, sementara baru memanfaatkan sekitar 5.000 ton/tahun sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Pasal 4 UU No.25 thn 2007, dan Keppres 85/1982 ttg Penggunaan PU.
Rusdianto mensinyalir, adanya program bodong terkait Deregistrasi Kapal yang tentu sangat mempersulit nelayan. Menurutnya, agar sustainability perlu disiplin dan bekerja dengan kejujuran serta sesuai kemampuan penguasa untuk mengatur.
Oleh sebab itu, Rusdianto mendesak Susi Pudjiastuti jangan memaksakan kehendak untuk melarang cantrang sehingga tidak terjadi konflik antar nelayan. Semua yang ada di Permen 02 tahun 2015 tidak perlu dilarang, tetapi sangat perlu diatur.
Rusdianto menyindir, kalau saja menteri Susi Pudjiastuti belum bisa membedakan antara kata “diatur” dengan “dilarang” maka akibatnya bukan hanya kehidupan keluarga nelayan yang menjadi korban tetapi negara merugi karena harus melakukan pengadaan alat tangkap. Belum lagi ada penyelewengan anggaran di KKP RI soal tender kapal.
“Sekali lagi, sebaiknya Menteri Susi Pudjiastuti jangan grusa–grusu dan tidak mendengar keluhan. Coba turun ke lapangan agar agar kondisi nelayan dapat diserap dengan kepala dingin, tanpa kepentingan bisnis pribadi,” ujarnya.
“Katanya bawa staff jalan-jalan ke Jepang sambil belajar perikanan. Lho… di negara seperti Jepang, Australia, Norwegia yang peduli pada manajemen potensi lautnya trawl, cantrang dan lainnya sesuai spesifikasinya tidak dilarang. Sementara di Indonesia seblum era Permen 02 trawl dilarang tapi fish net diperbolehkan,” pungkasnya. *SS