Oleh: Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Entah kata kritik apalagi yang harus diucapkan kepada rejim ini supaya siuman dari pingsan panjangnya, entah kalimat kritis apa lagi yang harus dirangkai bagi pemerintah ini agar tersadar dari mimpi ilusi panjangnya dan entah analogi apa lagi yang pantas dianalogikan mendeskripsikan perjalanan negara ini dari era ke masa hingga sekarang dibawah kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden yang justru terlihat semakin gamang dan semakin grogi memimpin bangsa ini.
Tidak ada ritme kerja yang logis, tidak terlihat pola kerja kabinet yang solid, dan lembaga negara saling pukul saling hajar ditengah publik. Inikah era negara tanpa pemimpin meski ada penguasa? Inikah era negara harus kacau balau tanpa pemimpin yang mengayomi? Entahlah, tapi situasi ini sangat menyesakkan menyaksikan bangsa besar ini berupaya keras menghancurkan dirinya berkeping keping dibawah pemerintahan rejim Jokowi.
Sebetulnya saya tidak ingin menuliskan ini karena jujur saya tidak ingin menyakiti rejim ini ditengah bulan Ramadhan yang menginjak separoh perjalanan, tapi biarlah rejim sakit hati agar mereka tersadar dari kesesatan dan segera kembali ke jalan revolusi dimana kedaulatan adalah berdaulat mengatur diri sendiri, dimana kemandirian adalah tidak mengemis hutang dan berkebudayaan adalah gotong-royong dan bukan liberalisasi, itulah Trisakti ajaran Bung Karno yang agung.
Diantara rasa ingin minta maaf, sebagai teman, sebagai pendukung Jokowi saya harus menampar dan memukul, tamparan dan pukulan dari seorang teman yang tentu jauh lebih baik daripada ciuman dan pelukan beracun dari lawan.
Indonesia, Pesawat, Pilot, Supir Bajaj dan rakyat tidak jelas era Pak Tedjo Edy mantan Menkpolhukam yang dilengserkan karena kata rakyat tidak jelas itu. Dan memang sekarang terbukti kalimat itu sahih dan waktu menjawab bahwa orang-orang yang dulu berdiri memagari KPK era Samad adalah memang rakyat tidak jelas karena saat ini entah dimana mereka berdiri ditengah upaya komisioner KPK melindungi Ahok dari perbuatan korupsi. Mengapa mereka bisu tidak punya kata tentang kasus Ahok di KPK? Memang mereka rakyat tidak jelas, Pak Tedjo benar.
Indonesia, Pesawat, Pilot dan Supir Bajaj adalah analogi tepat saat ini untuk medeskripsikan bangsa besar ini. Ibarat pesawat besar, mestinya diawaki oleh pilot yang memang mengerti sistem pesawat dan paham tentang arah kemudi pesawat. Tapi sayangnya pesawat besar ini dikemudikan oleh supir bajaj yang berbelok sesuka hatinya dan berhenti kapan saja, bahkan tidak jarang nyalakan lampu sein ke kiri tapi beloknya kekanan.
Hingga ada lelucon bahwa hanya Tuhan dan supir bajajlah yang tahu kapan dia belok dan kapan berhenti. Tulisan ini tidak bermaksud meremehkan supir bajaj, tapi memang supir bajaj tidaklah mampu kemudikan pesawat terbang karena tidak paham sistem kemudi pesawat. Sang supir bajaj karena ketidak pahamannya sering asal pencet tombol diruang kokpit hingga membunyikan alarm pesawat dan dengan entengnya berkata saya tidak baca itu tombol apa meski tanpa permintaan maaf kepada penumpang yang cemas dengan bunyi alarm pesawat.
Masih banyak kisah dati kokpit pesawat yang dikemudikan supir bajaj yang tidak perlu kita kisahkan satu persatu karena sekarang lebih penting meluruskan kemudi pesawat dan harus mendarat dimana, supaya pesawat besar ini tidak menabrak gunung atau menukik tenggelam kedasar laut dan hancur lebur. Andai sang supir bajaj mengajak pilot di kokpitnya tentu kita tidak perlu sekuatir ini mencemaskan akan mendarat dimana kita. Sepertinya harus ada penumpang yang membongkar kokpit dan mengganti supir bajaj dengan pilot, mengembalikan sistem kepada sistem pesawat dan bukan sistem kemudi bajaj agar pesawat ini bisa terbang dan mendarat dengan sempurna. ■ss