Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman, mantan Anggota Komisi III DPR-RI
SwaraSenayan.com. Empat bulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa, yang diincar olehnya adalah uang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersimpan di Singapore yang jumlahnya tak kurang dari Rp 4.000 triliun. Sementara dana yang dibutuhkan untuk membiayai proyek-proyek telah dijanjikan dalam Pilpres tak kurang dari Rp 4.000 triliun pula. Sementara pula tak ada ruang fiskal yang disisakan oleh Presiden SBY.
Presiden Jokowi panik. Untunglah ia masih bisa bernafas dengan cara menghapus subdisi BBM sehingga ada income sekitar Rp 600 triliun yang dapat ditarik. Dana ini yang ia mainkan.
Dalam kampanyenya Presiden Jokowi menyatakan akan memberi pengampunan bagi WNI yang di Singapore tadi, asal dananya dialihkan ke Indonesia. Segera kampanyenya mendatangkan kontroversial di kalangan hukum, sebab yang akan diampuni itu mem-bypass otoritas hukum. Ada kejahatan extra ordinary crime, ada yang ordinary crime. Rupanya masukan tersebut ingin meniru penyelesaian kasus kredit BLBI yang Rp 620 triliun itu, bisa di-close setelah BPPN menerbitkan R & D (Release and Discharge).
Tentu saja tak sama, karena konstruksi hukumnya tak sebangun. Kredit BLBI adalah kepentingan pemerintah dan kondisinya force majeur akibat domino effect yang membuat nilai tukar USD berakrobat, dari Rp 2.200 menjadi Rp 15.000 (Juli 1997) dalam waktu singkat yang membuat para obligor gulung tikar setelah Gubernur Bank Indonesia menarik bandwitdht arus uang.
Pada Tax Amnesty tak ada unsur hukum yang memaksa. Tak ada force majeur. Tak ada unsur kerja sama hukum. Yang ada asumsi pemilik uang tadi memperoleh uang tersebut dengan cara tak wajar, melanggar hukum, dan tak membayar pajak. Bagaimana mereka melanggar hukum tak diketahui. Ringkasnya, karena itu, untuk kejahatannya itu, dapat diampuni asal membayar 2,5% dari total dana yang diproyeksikan.
Pertanyaannya, pertama, apa gerangan motivasi yang mendorong mereka, wajib pajak (WP), bersedia membayar jika selama 15 tahun sejak reformasi mereka aman-aman saja di Singapore?
Kedua, benarkah pernyataan Menteri Keuangan, bahwa penerapan Tax Amnesty segera menyerap cash-in Rp 4,2 triliun dari pajak-pajak, dan Rp 512 triliun dari repatriasi asset. Total sekitar Rp 517 triliun. Data ini menyangkut data TPI (Tax Performance Index) dan AER yang mustahil ke luar. Top Secret!
Ketiga, benarkah pernyataan Menkeu, mereka telah memiliki daftar WP target Tax Amnesty yang Rp 517 triliun tadi? Ini juga Top Secret!
Keempat, jika benar, benarkah sudah terkonfirmasi para WP tadi, sehingga pembayaran cukup dengan aplikasi pajak secara digital yang kini sedang diujicoba? Juga Top Secret!
Kelima, apa tindak lanjut jika WP tak bersedia membayar? Alternatifnya, dicari kesalahannya yang memungkinkan tindakan paksa, antara lain penyanderaan (gijseling), dan atau memasukkannya sebagai pelanggar hukum pidana yang dapat dieksekusi oleh petugas hukum di Singapore. Point Kelima ini yang menarik dibahas karena menyangkut angka coeffisien TPI atau kinerja kesuksesan penarikan pajak.
Aspek Fiskal RAPBN-P 2016
Sampai kemarin (15/6/2016), dilaporkan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty belum rampung,masih sengit perdebatan Panja Komisi XI DPR-RI. Bahkan skema penarikan masih debat antar Fraksi. Suasana pembahasan 27 pasal RUU itu tertutup, bertempat di hotel, dan berpindah-pindah. Seru!
Dengan demikian, bisa dipastikan mereka belum sampai pada pembahasan coeffisien TPI tadi yang, justru menentukan sukses tidaknya penerapan Tak Amnesty.
Tumben, harian Kompas Selasa (14/6/2016) menulis sangat keras bertajuk “Hukum Besi Fiskal”. Kebiasaan Kompas adalah memuji habis Presiden Jokowi, jarang sekali mengkritik, sehingga dapat dimaknakan kondisi fiskal memang sangat serius. Saya kutipkan artikel internal yang ditulis FX Laksana AS tersebut, sebagai berikut:
“Politik anggaran sepenuhnya bergantung pada rezim pemerintahan – politik dan rezim birokrasi. Meski demikian, tetap ada hukum besi fiskal di Indonesia yang tak bisa ditawar oleh siapapun atas alasan apapun. Hukum besi itu adalah defisit kumulatif anggaran pemerintah pusat dan daerah, maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)”.
“Hukum besi soal defisit anggaran ini, tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pertanggung Jawaban Pengelolaan Keuangan Negara. Jika defisit anggaran melewati batas 3 persen, itu berarti melanggar UU. Konsekwensinya jelas, presiden bisa dilengserkan”.
“Hukum besi ini perlu diingatkan lagi kepada semua pihak. Ini karena APBN 2016 menghadapi resiko pelebaran defisit anggaran mendekati batas 3 persen terhadap PDB. Hal ini berawal dari asumsi dasar yang meleset dan target pendapatan yang terlalu ambisius”.
“Defisit anggaran 2016 ditargetkan Rp 273 triliun atau 2,15 persen PDB. Resiko pelebaran defisit anggaran dipastikan di atas 2,5 persen PDB. Guna menghindarinya, pemerintah mengajukan RAPBN-P dengan target defisit Rp 313 triliun atau hanya 2,48 persen PDB”.
“Untuk itu, anggaran belanja kementerian dan lembaga negara harus dipotong Rp 50 triliun. Kebijakan ini, dituangkan dalam Inpres No 4/2016. Sebanyak 87 instansi mendapat jatah pemotongan mulai Rp 2 miliar sampai dengan Rp 8,5 triliun. Soal program yang dipapras, diserahkan ke setiap instansi”.
Kita mulai dari tulisan Kompas itu. Komisi III DPR sudah menolak dipangkas. Jika pemangkasan itu tak mencapai Rp 50 triliun, masih kata Kompas, pilihan lainnya adalah menambah utang. Dengan defisit RAPBN-P 2,48 persen PDB itu saja, total utang harus ditarik pemerintah adalah Rp 602 triliun. Itu, sepertiga total target pendapatan RAPBN-P 2016. Ingat, utang dibayar dari pajak rakyat!
Pemerintah tampaknya harus menerbitkan Surat Berharga lagi. Tapi, batas defisit akan terlampaui. Apa boleh buat, hukum besi fiskal berlaku! Jokowi harus diturunkan!
Cash-In Tax Amnesty Masuk RAPBN-P
Mengapa tak forecasting Tax Amnesty yang Rp 517 triliun tadi dimasukkan ke dalam cash-in RAPBN-P 2016? Selamat toh? Sebab, kekurangan dana untuk penambal defisit itu Rp 166 triliun untuk tak sampai berubah menjadi Hukum Besi Fiskal, menambah Rp 602 triliun. Malah masih sisa Rp 315 triliun! Inilah kiat yang kemudian dilakukan Menkeu: memasukkan proyeksi pendapatan Tax Amnesty ke dalam cash-in RAPBN-P 2016.
Skenario jitu: memasukkan ilusi ke dalam proyeksi sebagai cash-in. Yang terpenting targetnya: RAPBN-P 2016 diabsah parlemen, maka Presiden Jokowi lolos dari jeratan Hukum Besi Fiskal tadi.
Tetapi skenario itu tak mudah. Kecuali Panja mampu dibohongi. Sebab, proyeksi Tax Amnesty, tidak realistis kalau tak mau dikatakan ilusi. Realistis atau tidak, sangat tergantung cara menghitung dalam menganalisis pembentukan coeffisien TPI.
TPI terdiri dari 4 kolom. Kolom 1 adalah pertumbuhan WP. Kolom 2 adalah terget penarikan pajak-pajak. Kolom 3 adalah hasil pengumpulan pajak-pajak. Kolom 4 adalah coeffisien TPI, yaitu rasio target dikurangi pengumpulan pajak-pajak. Kita tak bisa maju lagi karena angkanya serba Top Secret! Kita pindah ke logika saja: angka proyeksinya sudah dimasukkan ke RAPBN-P 2016, namun RUU Tax Amenstynya belum rampung.
Luar biasa! Itu satu. Kedua, bicara TPI adalah bicara kemampuan menarik pajak-pajak dari WP. Di sini baru blunder. Kita berputar dulu sedikit untuk memperoleh deskripsi logika pengumpulan pajak-pajak atau collecting Tax Amnesty yang menjadi ukuran kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sebelum memulai terlebih dulu diajukan pertanyaan: apakah DJP sudah memiliki IRS (Internal Revenue Services)? Mereka yang seharusnya mengcollect pajak-pajak dari WP di Singapore yang Rp 4.000 triliun tadi. IRS adalah polisi pajak bukan fiskus (petugas pajak).
Siapa IRS? Pernah menonton film Al Capone di RCTI, true story. Judulnya “Untouchable” dan tokohnya bernama Eliot Ness (si burung kecil). Itu dia IRS. Mereka berhasil menggulung mafia di Amerika tahun 1950-an yang tak mampu diberantas oleh FBI. Sekitar 8 bulan lalu, IRS mengusut Bank Swiss karena mereka menemukan “petunjuk’’ terdapat pajak 53.000 WP Amerika Serikat yang diselundupkan perusahaan papan atas dunia UBS melalui Bank Swiss. Subtansinya IRS bisa beroperasi di jurisdiksi internasional berkat protokol IRS PBB. Apakah DJP sudah meratifikasi protokol ini? Jika belum, tentu tak bisa beroperasi di Singapore. Dana WNI yang di Singapore itu sama persis dengan dana WP Amerika di Bank Swiss.
Ilusi Tax Amnesty
Menurut informasi DJP belum memiliki IRS, namun memiliki kerja sama dengan Polri dan Kejaksaan Agung guna mendampingi fiskus dalam rangka penagihan pajak-pajak. Lantas fiskus bersama Polri dan Kejakgung yang berangkat ke Singapore untuk menagih WP yang tak bersedia membayar pajak Tax Amnesty.
Masalahnya, pajak tak boleh dimasuki polisi, jaksa, dan KPK. Pajak adalah domain penyidik sipil dan berada di wilayah hukum perdata, bukan hukum pidana. Tidak membayar pajak bukanlah pidana. Jika kurang tambahi, jika lebih kembalikan (restitusi). Itu azasnya.
IRS adalah lex specialist, memiliki kerja sama standar jurisdiksi internasional di mana pun ia beroperasi. Jika menggunakan polisi dan jaksa, landasannya adalah hukum pidana, bekerja sama dengan interpol dan sejenisnya. Tetapi kerja sama itu harus didahului red notice bahwa WP tersebut adalah tersangka pidana. Jika perdata, tak ada mekanismenya. Tak bisa dan tak boleh.
DJP hanya memiliki fiskus, bukan IRS. Fiskus tak bisa beroperasi di jurisdiksi internasional sekalipun memiliki kerja sama bilateral dengan Singapore. IRS bisa karena ia berdasarkan UU Khusus (lex specialist) yang secara hukum spesial dibentuk untuk itu dan memiliki alat paksa.
Lantas dari mana datangnya forecasting yang Rp 517 triliun tadi? Itu yang tak logis karena memang tak ada cara menagihnya. Makanya disebut ilusi. ■ss