Oleh: Saurip Kadi, Mantan ASTER KASAD
SwaraSenayan.com. Kita sudah jauh melangkah berdemokrasi, kok masih sibuk bahaya latent komunis gaya baru (KGB). Memang UUD hasil amandemen, belum menjabarkan nilai-nilai luhur Founding Fathers kita secara benar dan menyeluruh. Sehingga pengelolaan kekuasaan di era reformasi lebih parah dari jaman orba.
Dulu monopoli dan oligharkhi kekuasaan ada di tangan Soeharto. Tentara berubah jadi alat kekuasaan. Rakyat di belah-belah, yang berpolitik ikut partai orba dengan 3 partai, PPP, Golkar, dan PDI. Yang tidak berpolitik diawasi oleh TNI (AD khususnya) dengan KOTER dan Intel TNI nya dengan stempel EKKA – EKKI – EKLA.
Yang pasti Pak Harto lengser dengan warisan yang sangat membebani generasi penerus. Hutang LN begitu besar. Hutan sudah gundul. Lingkungan hidup yang sudah rusak, SDA dikuasai segelintir orang saja.
Di era reformasi monopoli dan oligharkhi kekuasaan, juga terjadi dan justru lebih parah, bukan oleh Presiden tapi oleh pemegang Kapital.
Karena waktu itu kepemimpinan nasional begitu lemah, maka dalam sistem yang semrawut muncul MAFIA DIMANA-MANA dan DIMANA-MANA MAFIA.
Jujur kita harus berani bilang, aparat bisa dibeli oleh konglo hitang dengan jaringan MAFIA nya. Idem juga hukum.
Pak Jokowi sedang mensiasati agar dirinya tidak jadi boneka. Dengan “diam“, tapi tidak mau bergabung dengan Mafia, kini antar Mafia saling cakar dan menelanjangi diri. Setelah Papa Minta Saham, kini kasus Reklamasi Teluk Jakarta mulai terkuak.
Lantas mengapa kita harus sibuk dengan bahaya latent KGB. Bukankah yang harus jadi musuh bersama dan apalagi harus di stempel bahaya latent semestinya terhadap pihak yang merusak negara dong.
Mari jujur bertanya perbuatan anak-anak PKI yang mana yang bisa kita jadikan alasan mereka kita jadikan ANCAMAN. Apakah keamburadulan, keterpurukan, dan hutang negeri yang begitu besar yang bikin mereka? Siapa yang merampok kekayaan negeri ini, mereka atau orang lain??
Dosa apa yang mereka tanggung apalagi untuk anak-anak keluarga PKI, saat orba dizdolimi negara (saya dkk di TNI yang melakukannya).
Jangankan jadi anggota TNI, POLRI dan pegawai negeri. Jadi buruh pabrik milik swasta saja gak bisa. Peluang yang paling mungkin adalah jadi tukang tambal ban, buruh harian dan maaf-maaf pelacur bagi yang perempuan. Ini fakta bukan opini.
Dan setelah mereka menjadi militan untuk survive, belakangan bisa jadi anggota DPR, DPRD, DPD dan bahkan menteri. Lantas kita teriak AWAS BAHAYA LATENT KGB, sungguh lucu.
Lucu karena komunisme sudah rontok. Ideologi nya sudah tamat. Takut kok sama roh gentayangan komunisme dan PKI yang sudah lama terkubur. Mengapa ada pihak yang ketakutan secara berlebihan.
Semestinya segenap aparatur negara termasuk juga TNI dan Polri harus segera switching of mind set, tak peduli pangkat dan jabatan dirinya adalah pelayan alias jongos. Gaji yang mereka terima adalah uang pajak rakyat. Tempat kan Rakyat sebagai majikan.
Berlaku lah sopan dan jangan kurang ajar terhadap majikan. Bagi TNI kembali lah ke khittoh. Rasakan denyut nadi rakyat. Karena legitimasi hanya lahir tergantung bagaimana to win the heart of the people. Kenapa kalian harus ikut menyakiti hati rakyat, ikut gusur-menggusur orang-orang tak bersalah. Mereka lahir dari keluarga miskin bukan karena pilihan. Mereka rakyat Indonesia. Jangan hinakan mereka.
Perubahan tata kelola dunia yang menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial ternyata membawa malapetaka bagi peradaban manusia tak terkecuali bagi pemegang kapital papan atas di tingkat dunia.
Sepuluh global concern kalau saja disikapi dengan baik, niscaya membawa berkah bagi segenap anak bangsa tanpa kecuali.
Maka sangat tepat kalau Pak Jokowi merespon upaya mengakhiri dendam masa lalu. Dengan rakyat bersatu, apa yang tidak bisa kita laksanakan. Semua kita punya. SDM lebih dari cukup. Kerusakan sosial juga hanya di kota-kota besar saja kok.
Saudara-saudara kita yang di daerah, sangat paham untuk tidak “memanen karena tidak ikut menanam”. Mereka satu antara kata dan perbuatan. Mereka pekerja tangguh. Habis subuh mereka bergegas ke sawah atau ke laut kok.
Bukan seperti sebagian elit kita yang sudah tidak bisa membedakan halal dan haram. ■ss