Densus Tipikor Sulit Awasi

Ayo Berbagi!

titoOleh: Djoko Edhi Abdurrahman (mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Wasek LPBH, PBNU).

SwaraSenayan.com. Hanya satu yang perlu dijawab Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengenai Densus Tipikor: “Apa, siapa dan bagaimana mengawasi orang bersenjata dalam menjalankan Densus Tipikor?” yang ide originalnya dari Anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani dalam hearing dengan Jenderal Sutarman dan dilanjut oleh Bamsoet.

Jika itu bisa dijawab dengan pas, tak ada masalah. Jika tak bisa dijawab, jangan diteruskan.

Penyidik Densus Tipikor itu adalah komunitas orang bersenjata. Harus diawasi oleh orang bersenjata juga. Jika tidak, tak bisa dikendalikan, tak bisa diawasi, berarti tak terukur. Double power ini berbahaya.

Beda dengan KPK, bukan komunitas orang bersenjata, maka bisa diawasi. Toh, tetap kedodoran. Apalagi bersenjata.

Beda dengan di Amerika. Polda, misalnya NYPD (New York Police Department) diawasi Polisi Nasional, FBI. Jika NYPD tak beres, FBI turun, dan mengambil alih kasusnya. Head to head, orang bersenjata lawan orang bersenjata. Maka tak ada masalah, bahwa penegak hukum merupakan bagian utama dari masalah korupsi. Masalah bukan di koruptornya yang duduk manis di rumahnya.

The Big Problem dari penanggulangan korupsi adalah peran penegak hukum yang memakan lebih separuh peran koruptor dalam kasus-kasus yang terjadi. Petugas hukum itu sendiri koruptornya yang jauh lebih korup daripada koruptornya sendiri.

Saat ini, sistem di Polri tak memungkinkan adanya mekanisme kontrol praktikum hukum.

Waktu kasus Jenderal Djoko Susilo, Polri membela mati-matian, dan berakhir dengan drama Cicak Buaya, memasukkan komisioner KPK ke sel. Tak ada jejak hukum di situ. Tinggal tricki teknik yuridis KUHP dan KUHAP yang didominasi korsa komunitas bersenjata, bukan hukum, sementara Djoko Susilo terbukti koruptor kakap.

Tricki Korsa ini akan lebih hebat nanti ketika Densus Tipikor running. Yaitu, separuh lebih masalah korupsi, adalah masalah korup pada penegak hukum. Bukan makin berkurang korupsi, bahkan bikin bursa baru yang lebih berkualitas korupsinya.

Densus itu akan beroperasi seperti KPK. Memiliki alat sadap, seperti Densus 88. Kelebihannya, Polri punya pasukan gerak cepat, ada di mana-mana, bersenjata, dan hafal praktek hukum acara, jumlahnya ratusan ribu, sudah memiliki SOP Bareskrim dan SOP Kapolri. Mungkin nanti ada SOP Densus Korupsi. Habislah para koruptor!

Para calon tersangka, di OTT. Semua nomor HP anggota di Senayan dimasukkan ke alat sadap. Tak ada satupun yang lolos dari Densus Tipikor. Juga semua potensi di birokrasi, dan terakhir korporasi. Habislah koruptor. Bersih dari Sabang hingga Merauke. Indeks pemberantasan korupsi naik ke juara.

Itu narasi terlalu indah. Mustahil. Malah kian ruwet dari sebelumnya. Pisau teknik yuridis itu terarah mau-maunya Kapolri. Ya kalau Kapolrinya terus Tito, punya intelektual, profesor. Tapi Densus itu dibuat minimal untuk satu dekade (25 tahun). Tito hanya tinggal 3 tahun. Habis itu, mana intelektual Polri yang calon Kapolri? Tak ada!

Operasi Polri dilandasi UU No 2 tentang Kepolisian. Jenis UU No 2 itu, adalah “bertanggung jawab kepada UU, melapor kepada presiden”. Sedang brief Polri langsung di bawah lini komando presiden. Kalau kata presiden berhenti, ya berhenti. Kalau jalan, ya jalan. Tangkap dan lepas, apa kata presiden. Ini bukan hukum, tapi kekuasaan. Yang anti presiden niscaya di OTT, yang pro presiden dilepas. Sudah bukan urusan korupsi, melainkan Densus membantu presiden untuk menyimpangkan hukum demi selera pribadi dan syahwat kekuasaan.

Itu keniscayaan. Sebab, Polri memiliki SP3 yang penerbitannya, dalam praktikum yang saya alami selaku pengacara, lebih mempertimbangkan faktor subjektif penyidik. Auhh, gelap.

Beda dengan UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Jenisnya, “bertanggung jawab kepada UU, melapor kepada UU”. KPK juga tak memiliki SP3. Jika seseorang jadi tersangka, masuk dari pintu depan, keluar dari pintu depan. Tak bisa keluar dari pintu dapur seperti pada SP3.

Sejak Hakim Sarpin menerima praperadilan Jenderal Gunawan, Pasal 170 KUHAP sudah tak punya gigi. Ini membuka pengujian “status tersangka” dari Sprindik KPK yang kemudian, membebaskan Setnov dua pekan lalu dari jeratan KPK via Hakim Cepi Efendi.

OTT di sektor swasta, jauh lebih hebat. Salah satunya yang terbaru adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 tahun 2016 tentang tata cara penanganan kejahatan korporasi. Perma ini menitik beratkan asset recovery dari quasy criminal proverty law, mampu menjadikan perusahaan sebagai tersangka. Jika Densus Tipikor itu jalannya lurus, sektor ini justru baik untuk digarap karena belum digarap. Baru satu perusahaan yang dijadikan KPK sebagai tersangka, yaitu perusahaan milik Sandi yang diduga bermotif politik pilkada.

Dengan Perma ini, Densus bisa menjerat korporasi, sejak dari inangnya hingga sisternya. Sebelumnya, korporasi tak bisa didakwa, padahal separuh uang milik WNI disembunyikan di luar negeri, menurut BI.

Dengan itu, Menkeu Sri Mulyani bergigi dalam menjerat kejahatan korupsi transnasional dan mafioso dalam rangka Open Information Exchange G20 dan OECD. Kejahatan-kejahatan ekonomi lintas negara itu bisa ditangani Densus karena Polri memiliki Interpol.

Sudah masanya para Taipan disadap. Kasus BLBI malah belum digarap. Yang digarap BPPN hanya Rp 12,6 triliun. Yang Rp 167 triliun, malah sama sekali belum dijamah. BLBI bank plat merah yang Rp 370 triliun, belum pernah disentuh. Jika kena Densus, pasti tuntas.

Hanya saja, benarkah Densus Tipikor itu mampu berjalan lurus? Berani kepada Taipan? Kalau tak lurus, berakhir dengan hengki pengki, 86, etcetera. Lebih gawat.

KPK jelas useless. Maksud saya hak supervisi yang disandangnya, amanat UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Sebab, UU KPK tidak membreakdown hak supervisi. Mau pakai apa atur Densus?

Pagi-pagi, Jaksa Agung sudah menolak menjadi bagian dari Densus Tipikor. Hanya KPK dengan basa-basi mendukung Densus Tipikor. Yaitu, takut dikerjai Polri. *SS

Ayo Berbagi!