PRESIDEN JOKOWI “GAME CHANGER”

Ayo Berbagi!

sauripOleh: Mayor Jenderal TNI (Purn.) Saurip Kadi (Mantan Aster Kasad)

SwaraSenayan.com. Dalam 2,5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, belasan ribu kilometer jalan negara dan jalan tol telah dan sedang dibangun. Dalam hitungan maksimal 2 tahun kedepan sejumlah Pelabuhan Udara dan Laut serta Rel Kereta Api di sejumlah wilayah diluar Jawa akan beroperasi.

Pos-Pos Perbatasan telah dipermegah, puluhan Pembangkit Tenaga Listrik dengan ukuran puluh dan ratus megawatt telah dan sedang dibangun secara merata disemua wilayah negeri. Harga BBM di Papua disamakan, seperti yang berlaku diwilayah lainnya. Walau hasilnya belum memuaskan, ditahun pertama Presiden Jokowi telah menata pelayanan pendidikan dan kesehatan. Dan masih banyak prestasi lainnya yang selama ini tidak ter “expose” di media massa.

Sebagai “game changer”, seakan Presiden Jokowi hendak mengatakan bahwa tanpa dibarengi kesamaan perlakuan negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan fasilitas, infrastruktur dan pelayanan publik, tidak sepatutnya menyebut diri sebagai NKRI. Pendek kata, Presiden Jokowi sedang meredefinisi makna NKRI, bukan hanya secara politik dan hukum, tapi juga makna kesamaan hak, manfaat dan perlakuan negara bagi segenap anak negeri tanpa kecuali.

Tapi mengapa Presiden Jokowi hanya mengutamakan infrastruktur, padahal janji kampanye Pilpres 2014 meliputi seluruh aspek kehidupan. Belum lagi warisan pendahulunya yang berupa aneka praktek mafia, premanisme, kriminalisasi, kreativitas aparat mencari-cari rejeki dan akal-akalan birokrasi, dan lain-lainnya yang  hingga kini belum tersentuh, bahkan terkesan dibiarkan. Sementara itu persoalan mega korupsi masa lalu seolah hanya menjadi tanggung jawab KPK. Disisi lain, sejumlah “capital violence” serta “state terorism” masih terjadi di sejumlah tempat.

Tontonan Politik bagi Rakyat

Belenggu sistem tata negara yang amburadul telah membuat Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu, tak berdaya untuk membentuk kebinet “zaken” sebagaimana logika politik seharusnya. Keterpaksaan menerima figur-figur sodoran Pimpinan Partai pendukung dan Tim-Sukses Pemilu 2014 dalam pembentukan kabinet dan 2 kali reshufle tidak bisa dielakkan.

Berselancar dengan keadaan, Presiden Jokowi memanfaatkan belenggu yang ada sebagai kendali dalam menjaga perimbangan kekuasaan. Dan otomatis akhirnya secara natural membuat dirinya keluar sebagai pemenang.  Begitu juga realitas bahwa dirinya adalah pendatang baru dalam “turbulensi” perpolitikan nasional saat ini, dalam waktu relatif singkat Presiden Jokowi sudah menjadi orang terkuat di Republik.

Kejujuran dan kesederhanaannya telah menghadirkan dukungan dan legitimasi luar negeri yang luar biasa. Sebab, korporasi luar negeri yang selama ini dibebani biaya setoran untuk para koruptor oleh korporasi mitra dalam negeri, tiba-tiba merasa “plong” bisa menyampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa sesungguhnya dirinya bersih tidak korup, sebab transparansi di negara nya mewajibkan mereka patuh terhadap aturan main perpajakan dan pasar modal, atau kena sanksi berat.

Bagai sejumlah “bisul” meletus bersamaan, berbagai korporasi manca negara berbondong-bondong melaporkan transparansi perusahaan mereka, yang artinya sama dengan membongkar borok mitra bisnis dalam negeri sendiri. Sambil senyum-senyum tampil dengan kuis sepeda, ternyata Presiden Jokowi sudah mempunyai daftar kejahatan korporasi lengkap dengan data para koruptornya berikut jumlah uang rakyat yang dikorupnya.

Disisi lain, Presiden Jokowi juga banyak terkendala oleh kekacauan “rule of the law” dan “rule of engagement” pemerintahannya. Jangankan pada lingkungan kementerian sipil, dilingkungan pemangku fungsi keamanan negara saja terjadi kekacauan aturan main. “Konflik” terbuka antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dalam Rapat Kerja dengan Komisi 1 / DPR RI tanggal 6 Pebruari 2017 adalah fakta. Kedua pihak mempunyai legal standing yang sama-sama sah secara yuridis formal.

Hari-hari ini, para Pembahas RUU Penyelenggaraan Pemilu kembali merekayasa untuk melanggengkan kekuasaan elite partai. Ketika Pasal. 6. A. UUD – 1945  mengamanatkan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (Sistem Presidensial), untuk kepentingan pemilik partai, dalam pemilihan  anggota DPR mendatang  hendak dipaksakan menerapkan norma “nomer urut”,  layaknya sistem parlementer. Sehingga, anggota DPR akan diposisikan sebagai wakil Partai, yang setiap saat bisa dicopot oleh Pimpinan Partai nya.

Padahal norma dasar pasangan Presiden hasil Pemilu langsung adalah Anggota DPR nya mutlak sebagai wakil rakyat. Lantas logika politik darimana kelak akan melahirkan kondisi “chek and balance”, kalau Anggota DPR dalam sistem presidensial berstatus sebagai Wakil Partai?.

Dan masih banyak lagi kekacauan aturan main yang terjadi hampir disemua urusan, seperti di bidang pertambangan dengan kasus PT. Free Port dan mafia migas nya, Pertanian dengan persoalan kartel import komoditinya, Perumahan dengan kasus pengelolaan rusunnya, dan lain-lainnya.

Karena belenggu realitas dan amburadulnya sistem tata negara tersebut diatas, maka sangat bisa dipahami apabila pilihan Presiden Jokowi jatuh pada pembangunan infrastruktur sebagai program unggulan. Karena diluar infrastruktur, masih perlu waktu yang panjang untuk menaklukan segenap “binatang buas” yang kalau salah perlakuan, bisa-bisa akan menerkamnya.

Cara Cerdas Mensukseskan Nawacita

Adalah mudah dimengerti kalau sejumlah menteri gagal paham  dalam menterjemahkan Nawacita. Sebab, majikannya ada dua. Pemilik partai yang menyodorkannya, disamping sang Presiden itu sendiri. Kombinasi strategi “Silent Revolution”, “Membalik Paradigma” dan “Memanfaatkan Tenaga Lawan” yang tidak membuat gejolak politik apapun dan apalagi “perang” dengan pihak manapun, telah dilakoni oleh Presiden Jokowi.

Kini, terbukti sedang terjadi fenomena “kelinglungan” di lingkaran kekuasaan yang bingung harus berbuat apa. Disatu sisi takut sama majikan pemilik Partai, disisi yang lain Presiden maunya Nawacita. Dan ketika ruang publik dibiarkan kosong,  maka pihak-pihak tertentu memanfaatkannya dengan  menggelar “gamelan”, dan kemudian justru birokrasi pemerintahan sendiri sibuk menari pada irama kendang mereka. Bahkan, sebagian sibuk mengurus yang bukan urusannya dan sebaliknya tidak mengurus yang menjadi urusannya.

Sudah barang tentu publik berharap, dalam mengawali paruh kedua masa pemerintahannya, Presiden Jokowi akan melakukan  perkuatan kementerian dan lembaga yang terkait dengan Reformasi Birokrasi, Hukum, Agraria dan semua urusan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat banyak yang selama ini terabaikan, sebagai prioritas. Dan persoalan yang lebih mendasar, adalah peran para operator lapangan yang berani mendobrak belenggu realitas, agar GONG yang ditabuh Presiden Jokowi  tidak menjadi sia-sia. *SS

Ayo Berbagi!