Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi
BAGIAN 5
SwaraSenayan.com. Tentu saja, gejala pemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal, harus ditolak dan dicegah. Tapi fakta juga menunjukkan, bahwa bangsa Cina dan India justru mampu menunggangi arus globalisasi. Di India umpamanya, telah timbul pusat teknologi informasi di Bangalore semacam Silicon Valey di AS. Di desa teknologi tersebut tumbuh perusahaan-perusahaan skala global yang melayani pesanan-pesanan software dari perusahaan-perusahaan multinasional dari AS, Eropa-Barat dan Jepang.
Gejala semacam itu sudah nampak juga di Indonesia, misalnya pusat IT yang dikembangkan di suatu desa pantai di Bali. Berbagai perusahaan IT kecil-kecilan di Indonesia juga telah melayani pasanan-pesanan dari Singapore dan Malaysia.
Bukan hanya itu, ada kisah sukses di salah satu pantai India dimana dengan diberikannya fasilitas handphone dengan aplikasi multimedia di tangan para keluarga nelayan, maka para ibu-ibu nelayan bisa melakukan “future trading” sementara bapak-bapak nelayan masih berada di tengah laut ketika mau merapat mereka sudah tahu tangkapan apa saja yang didapat para nelayan, dan segera para ibu mulai melakukan “future trading” sebagaimana di pasar modal saja.
Para tengkulak tidak lagi mendapat tempat karena data harga yang selalu “up-to-date” dapat diakses lewat handphone multimedia tadi. Dari Indonesia pun tidak kalah kreatif, ada yang membuka sekolah tari dengan aplikasi multimedia di internet, muridnya dari seluruh dunia.
Dengan cara ini, kan justru budaya lokal jadi mengglobal. Maka, istilah “global village” nya Mac Luhan tadi menjadi sangat relevan.
Saya termasuk golongan yang optimistis. Bahwa globalisasi justru akan membuka kesadaran baru menuju dunia yang lebih baik. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tidak dikenal dunia lain karena dominasi paham tertentu yang menguasai alat-alat kekuasaan, kini tidak lagi relevan, karena rakyat bisa langsung berhubungan tanpa halangan yang berarti.
Tapi tentu saja, tarik-menarik akan terjadi, namun yang membuat optimis adalah jumlah rakyat jelata dan tertindas di dunia ini jauh lebih banyak dari yang selama ini mengontrol kekuasaan. Maka, gelombang kesadaran baru ini akan sulit dibendung.
Michel Chossudovsky, dengan tegas, mengatakan bahwa yang menciptakan globalisasi kemiskinan itu adalah dua lembaga ekonomi internasional, yaitu IMF dan Bank Dunia. Sudah banyak laporan bagaimana kegagalan IMF dan Bank Dunia di negara-negara Amerika Latin.
Hernando de Soto juga membeberkan panjang lebar tentang resep yang sama sekali tidak mujarab dari kedua lembaga keuangan dunia tersebut. Sudah dibuktikan bahwa IMF dan WB sudah gagal di seluruh dunia.
Bangsa lain tidak mau lagi didikte oleh IMF dan WB. Bukankah posisi bangsa dan negara kita yang kini “tersudut” dalam percaturan global adalah karena kesalahan dan “kebodohan” kita sendiri. Maka sederet kebijakan ekonomi Pemerintahan Jokowi perlu kita sambut, agar kita tidak mengulangi kegagalan karena kebodohan kita sendiri, yang memilih sebagai anak manis terhadap IMF dan WB.
Anthony Giddens berpendapat bahwa pemikiran “Jalan Ketiga” (The Third Way) yang ditawarkannya timbul karena menyadari manfaat globalisasi, walaupun globalisasi yang terlalu cepat berjalan itu telah menimbulkan banyak masalah. Tapi Globalisasi juga harus diposisikan sebagai kepastian yang tidak mungkin bisa dielakkan oleh bangsa manapun tak terkecuali Indonesia.
Persoalannya, tinggal bagaimana kita sebagai bangsa akan mensikapinya. Ketika sebuah bangsa mampu mensikapi dengan bijak dengan mengedepankan kepentingan nasionalnya, maka ia akan menikmati hikmah globalisasi, tidak hanya secara pasif yaitu ketika ia datang ke negerinya, tapi ia malah menumpangi globalisasi untuk mendapat keuntungan yang lebih besar lagi dari globalisasi yang sedang melanda bangsa lain. Hal yang demikian sah-sah saja, dan tidaklah mungkin bisa dicegah dengan ukuran moral ataupun nurani.
Bangsa manapun tidak patut menyalahkan sahabat yang mengulurkan tangan memberi bantuan, dan sangatlah keliru kalau dalam tata pergaulan internasional ada bangsa yang mempersepsikan bahwa bantuan yang diberikan itu tanpa terkait kepentingan tertentu didalamnya.
Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang memerankan sebuah revolusi sosial. Revolusi sosial ini secara pasti merasuki semua sudut kehidupan. Ia mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan, merombak struktur dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Diantara riuh rendah euphoria komentar tokoh-tokoh dunia tentang globalisasi, ada dua tokoh yang menjadi favorit saya, yaitu Noam Chomsky dan Umar Ibrahim Vadillo. Keduanya tergolong pemikir anarkis, namun pengalaman hidup saya menyimpulkan kedua tokoh ini adalah benar adanya “No Nonsense”.
Dan Islam Indonesia mempunyai peranan sentral terhadap perubahan dunia jika kesadaran relijius hakiki ini tidak saja dijadikan dasar gerakan, namun terlebih dari itu menjadi dasar pijakan beribadah dan tuntunan kehidupan sehari-hari. (Bersambung Bagian VI). ■ss