Menyelamatkan Dunia dengan Pancasila dan Nasakom (Bagian 6)

oleh -132 Dilihat
oleh
banner 468x60
Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi
Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi

Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi

BAGIAN 6

banner 336x280

SwaraSenayan.com. Noam Chomsky, guru besar MIT, USA  pernah ditanya “Apa sebenarnya yang membuat anda menjadi begitu terkenal di berbagai belahan dunia ini?”.  Noam Chomsky menjawab dengan enteng saja: “Sederhana. Karena saya tidak mengada-ada. Saya hanya menyampaikan perasaan, pikiran, dan harapan begitu banyak rakyat tertindas di seluruh dunia, dan tentu saja mereka merasakan apa yang saya sampaikan”.

Noam Chomsky juga menempatkan  “copy right” (perlindungan hak cipta) dan “free trade” (perdagangan bebas) sesungguhnya dua buah istilah yang kontradiktif satu sama lain, yang ternyata menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan dunia ini. Dan karena itulah maka Noam Chomsky membolehkan siapapun menyebarkan karyanya dengan bebas.

Tokoh lain yang tidak kalah radikal nya adalah Umar Ibrahim Vadillo. Selain soal otokritik teologi Islam,  diantaranya  soal sholat yang sudah kehilangan Roh Islam nya, Vadillo mengingatkan bahwa apa yang kita  lakukan semua ini adalah sia-sia belaka. Menurutnya hanya ada dua kemungkinan untuk memperbaiki dunia ini.

Pertama harus sangat super kaya melebihi para sutradara yang duduk di New York dan kemudian merubah sistem kapitalisme global menjadi sistem yang adil dan berorientasi kerakyatan.
Atau cara kedua yaitu bergerilya seperti yang dilakukan oleh Jaringan WITO (World Islamic Trade Organization) dengan menggerakkan kekuatan rakyat dari negara ke negara untuk kembali kepada sistem ekonomi berbasis mata uang emas (komoditi riil lainnya). Sehingga sistem kapitalisme finansial global, yang memperdagangkan mata uang kertas dan berbagai bentuk turunannya sehingga menyebabkan “bubble economy” akan menjadi runtuh dengan sendirinya.

Bagaimanapun ketika kenyataannya  sektor moneter menguasai 76% dari aktivitas di dunia ini, sisanya baru dibagi-bagi oleh berbagai sektor riil. Otomatis melahirkan ketimpangan sosial yang pada gilirannta menjadi sumber masalah dunia, seperti kemiskinan, lingkungan hidup, hak azasi, kekerasan, terorisme, dll.

Vadillo mengajak kita untuk melihat sejarah kolonial dan terbentuknya negara-bangsa (nation-state).
Ketika negara-bangsa disebut “merdeka’, sebetulnya sang kolonial meninggalkan dua (2) bom waktu, yaitu Bank Sentral yang tugasnya mencetak mata uang kertas, dan satu lagi adalah pemerintah yang tugasnya memaksa rakyat untuk menggunakan mata uang kertas tersebut.

Dua hal inilah yang menjadi alat kontrol sistem keuangan dunia hingga dewasa ini. Jadi sebetulnya rakyat belum benar-benar merdeka. Karena hal yang paling penting yaitu sistem keuangan masing-masing negara sesungguhnya masih dikontrol pihak lain, sama sekali bukan ditangan rakyat.
Ini adalah esensi kedaulatan rakyat dan demokrasi yang sesungguhnya, yang harus dipertanyakan dan direbut kembali oleh rakyat.

Peran pemerintah yang paham terhadap sejarah ini akan mencerdaskan diri dengan meredefiniskan perannya untuk rakyat, sehingga tetap bertahan hidup (tetap berperan), karena kalau tidak, pemerintah justru akan menjadi beban rakyat, dan kalau ini yang terjadi maka akan terjadi revolusi sosial dimana banyak pemikir menyebutnya dengan istilah “the death of government” sejalan paralel dengan proses “the death of money” dan “the death of inflation”.

Karena pada dasarnya, pemerintahan negara manapun kalau tidak sadar terhadap persoalan yang mendasar tersebut, niscaya akan diperalat oleh sistem keuangan global tersebut.

Akhir-akhir ini kita saksikan bagaimana pucuk gunung es “sektor ekonomi moneter dunia” sedang rontok dan menghantam seluruh penjuru dunia. Padahal yang terjadi saat ini baru gejala permulaan, dan akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya untuk merombak sistem secara mendasar. Sebagaimana kita bisa pelajari dari sejarah, krisis keuangan berbasis uang kertas ini terus berulang secara berkala, dan sejauh penanganan krisis masih pada pengobatan gejala-gejalanya, bukan pada akar masalah dari model yang telah nyata-nyata gagal, maka jangan diharapkan dunia akan selamat dalam waktu yang relatif singkat. Malahan sebaliknya, kehancuran akan sulit dihindari.

Bersyukur kepada teknologi informasi yang bisa merupakan sarana yang dapat mengkudeta fungsi perbankan atau istilahnya “coup de banque”. Bukankah yang  sebenarnya fungsi perbankan  amat sederhana, hanya mengadministrasi pencatatan plus dan minus saja dengan sedikit variasi perhitungan. Tapi mengapa menjadi “raja” yang mengatur dan menentukan nasib sektor-sektor lain.

Dengan kata lain, dipastikan ada yang salah dalam sruktur global yang demikian itu. Kita bisa bayangkan, betapa sistem perbankan sebenarnya hanya beban ekonomi, misalnya keberadaan jaringan ATM yang investasinya mahal di seluruh dunia hanya mengurusi uang kertas. Padahal kini ada handphone yang isinya pulsa, dimana pulsa adalah juga uang.

Sehingga kita bisa melakukan pembayaran dengan pulsa tersebut. Tidak berlebihan kiranya, kalau kita simpulkan bahwa dunia sedang menuju “Cashless society” atau “Paperless society”.

Bisnis perbankan kini adalah sunset bisnis, karena layanannya tidak lagi efisien dan tidak lagi kompetitif dibanding dengan dengan perkembangan fitur-fitur teknologi informasi komunikasi yang semakin canggih. Dan biaya transaksi nya pun hanya sebesar biaya pulsa, sementara transaksi melalui perbankan mahal karena harus dipikirkan ongkos manajemen, untuk menggaji para bankir yang gajinya paling mahal di dunia, belum lagi gedung-gedung mewah di pusat kota, dan jaringan ATM yang investasinya mahal. Lantas bagaimana mungkin perbankan bisa bertahan?

Dari pendekatan sejarah, wajar-wajar saja kalau perkembangan teknologi pada akhirnya mendorong berkembangnya dasar teori “coup de banque” tersebut dan ikutannya dunia kini sedang berpikir bagaimana revolusi dunia keuangan kedepan, sebagai hal yang tidak dapat dielakkan. Ini lah yang disebut dengan keharusan sejarah.

Jaman Nabi Muhammad dulu, para pedagang lah yang berada di gedung, sementara rentenir itu yang berada di jalanan. Sekarang yang kita lihat keadaannya terbalik. Para bankir duduk-duduk di gedung mewah dengan ruang ber AC, sementara para pedagang kaki lima berceceran di sepanjang jalan, malah kena gusur Tibum / Satpol PP segala.

Maka, janganlah  salahkan orang lain, kalau kita miskin, karena tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dengan benar, padahal Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim di dunia.

Salah satu cara adalah dengan mata uang emas, yang didukung oleh fasilitas teknologi informasi komunikasi, yang diakui dimanapun di dunia ini, sehingga biaya transaksi bisnis nya akan sangat murah meriah yaitu hanya seharga pulsa, sehingga terjangkau, cepat tidak birokratis, tidak perlu antri di bank, dan yang terutama adalah menegakkan keadilan dan pemerataan serta mengembalikan hak rakyat ke tangan rakyat.

Inilah demokrasi yang sesungguhnya. Bukan demokrasi “lips service”. Demokrasi “Lips Service” maksudnya, mau apapun boleh, bahkan difasilitasi atau dipermainkan biar mengesankan demokrasi berjalan lancar.

Mau berjilbab sampai seperti ninja atau mau telanjang di jalanan boleh, mau homoseksual atau heteroseksual boleh, mau apa saja boleh. Mau beristri satu atau banyak silahkan diperdebatkan secara demokratis. Ada aliran sesat, silahkan diadu pro dan kontra. Biar demokratis. Asalkan jangan menyentuh yang satu ini, yaitu mata uang dan sistem ekonomi. Istilahnya “demokrasi untuk anda, tapi tidak untuk saya”.

Apakah negara seperti Indonesia mampu menjadi pemenang (victor) dalam globalisasi? Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh Hernando de Soto. Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian.

Indonesia bisa  “victor”. Asalkan yang dibangun adalah sebuah Indonesia dimana mesjid tanpa gereja tanpa dinding, vihara, pura dan kelenteng tanpa dinding. Menembus batas. Menemukan hakikat manusia dan kemanusiaan. Memaknai kehidupan dengan kesadaran bahwa pada dasarnya Tuhan ingin setiap manusia masuk surga. Tidak pernah sedikitpun terbersit bahwa dunia ini diciptakan untuk pertikaian dan teror fisik dan pikiran dari makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajatnya. Yaitu sebuah kehidupan dimana pertemuan unsur-unsur kemanusian menjadi sebuah pancaran dan realitas yang menyatukan bangsa. Sebuah Indonesia yang “Toto Tentrem Kerta Raharjo”, dimana rakyatnya yang mayoritas muslim terbesar di dunia, menemukan kembali peradabannya, menjadi pelopor dunia yang rahmatan lil ‘alamiin,  damai untuk alam semesta.

Agama adalah perilaku. Dalam kerangka agama perilaku itulah,  manusia adalah khalifah, wakil Allah di bumi. Maka setiap manusia adalah pemimpin. Menurut guru ngaji Bapak Wardoyo dari pondok NUSANTORO, pemimpin itu harus jadi “gong“. Gong adalah perangkat dari gamelan. Kalau “gong” sudah berbunyi maka dia bisa menyerap semua nada. Baik nada sumbang sekalipun akan terserap oleh bunyi “gong“. Sifat ini yang harus dimiliki oleh pemimpin. Yaitu adalah cinta kasih.

Kalau ada cinta kasih inilah maka semua nada-nada dunia baik yang sumbang maupun  yang merdu akan bersatu terserap oleh energi gong tadi. Maka, yang ada adalah pancaran kesejukan cinta kasih yang mengayomi kehidupan. Dengan inilah kemelut bangsa ini bisa diselesaikan. Karena cinta kasih itu nyata, riil, bukan lagi di bibir saja. Bukan lagi ilusi. Cinta itu perwujudan. Dapat dirasakan rakyat.

Fungsi “gong” juga untuk mengarahkan keseluruhan orkestra gamelan sehingga menjadi suatu karya yang harmonis, enak didengar, dan memberikan nuansa keterpaduan, keserempakan, dan jelas arahnya. Bangsa ini juga demikian, perlu “gong” yang jelas mau dibawa kemana negeri ini agar tercipta suatu tatanan yang harmonis. Bukan bangsa yang begitu semangat berebut tulang dengan memelihara dendam sekalipun, sementara berkah Tuhan yang melimpah ruah, tidak dipedulikan, dibiarkan dinikmati pihak lain, dan rakyatnya terus dalam kemiskinan. (Bersambung Bagian 7). ■ss

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.