Oleh : Insanial Burhamzah
SwaraSenayan.com – Runtuhnya nilai-nilai moral luhur yang dirintis dan dipupuk melalui tradisi pergerakan nasional sejak tahun 1908, ternyata menjadi faktor utama kegagalan pembangunan ekonomi yang diharapkan mensejahterakan bangsa ini. Kondisi ini diperparah oleh sikap elit politik yang kehilangan hati nurani sebagai pemimpin bangsa yang sudah jauh dan menyimpang dari kepatutan etika dan moral.
Sehingga, menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki Opportunity Revenue lebih dari Rp. 20 ribu Trilyun pertahun. Namun, APBN sampai tahun 2017 mengalami deficit yakni, Pendapatan Negara Rp1.750,3 Triliun, Belanja Negara Rp2.080,5 Triliun. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya kebocoran penerimaan pendapatan negara. Menurut Prof. DR. Sumitro Djoyohadikusumoh, bahwa sejak zaman orde baru terjadi kebocoran lebih dari 30%, dan sekarang di perkirakan naik menjadi 60% atau lebih besar. Mengikuti angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang saat ini sudah mencapai 6.0 yang batas toleransinya hanya 2.0 dianggap sehat. Dan sepanjang orde baru ICOR tertinggi 3.0.
Tingginya kebocoran pada rezim ini, tidak lain karena pada saat kebijaksanaan dan program direkomendasikan, patut diduga selalu ada pihak yang “lebih mampu” untuk “memanfaatkan” dan akhirnya rekomendasi para ahli yang sudah disetujui oleh DPR RI, yang akan atau telah menjadi kebijakan, menjadi tidak efektif lagi. Walaupun upaya perkuatan good coorporate governance dan proses penegakan hukum sudah dimulai, tetapi sejauh mana dan sepanjang kapan? Sebab realitas bangsa saat ini memperlihatkan banyak dimensi yang kontradiktif dengan kepemimpinan ideal.
Memang bagi orang kebanyakan ikhtiar terhadap perubahan perlu jeda, tetapi diharapkan karakter pemimpin bangsa berikutnya, bukan sekedar pemimpin politik atau manajer kebersamaan semata, tetapi sekaligus sebagai mercusuar moral yang berlandaskan ikhlas, tidak pernah jeda untuk mengabdi kepada NKRI., bukan boneka asing.
Dalam mengelola negara, sudah saatnya kita mencari pendekar kemanusiaan sebagaimana ketauladanan moral Akhlaq Rasulullah, daripada sekedar menjadi manager kebersamaan golongan / partai saja, yang hanya ber bekal pemimpin kharismatik hoax. Akibatnya, kita gagal mengeluarlan bangsa yang kaya raya ini dari belenggu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Kita perlu pemimpin yang dapat memperlihatkan kepada masyarakat dunia bagaimana melawan negara predator, bukan menjadi komprador atau bonekanya.
Bagaimana menunjukkan kepada masyarakat dunia menjadi pemimpin demokrasi yang baik. Bukan membangun pencitraan kosong, yang hanya membangun diskursus hoax demi mendapatkan suara rakyatnya. Namun, ketika berkuasa memberangus hak-hak rakyat yang telah memberikan suaranya, dan menindas nilai kemanusiaan demi negara atasannya.
Kita perlu pemimpin yang paham, apa artinya sebagai Pemimpin, yakni Pemersatu, bukan Pemecah Belah. Melindungi, bukan membiarkan rakyatnya sengsara dan menjadi budak asing. Sebab, menjadi pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyat bangsanya, bukan menjadi tuan.
Kita butuh pemimpin yang dapat meninggalkan warisan moral yang bernilai ikhlas yang tidak terhapuskan kepada rakyat bangsa ini.
Kita butuh pemimpin yang dapat membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang jujur. Sebab, kejujuran adalah awal menuju ”Ikhlas’. Dan ikhlas adalah patron moral akhlaq bangsa menuju *the high trust society guna tetap eksis ditengah kompetisi peradaban global.
Esensi makna ikhlasnya, seorang pemimpin mencakup spektrum yg luas yg meliputi sendi kehidupan, akidah dan syariah kita.
Kita berikrar setiap hari : ” Sholatku, Puasaku, hidupku dan matiku hanya utk Allah SWT, semata”.
Demikian pula kita akui bhw istri/suami, anak, harta, jabatan kemuliaan dan kehormatan, sbg titipanNya.
Namun, Nilai ikhlas kita sering menjadi sangat ”Rentan”, ketika Allah SWT mengambil kembali ”Titipan-Nya”, dan ironinya hal itu kita sebut sbg Bencana?, Malapetaka?, Kutukan? dst……
Bahkan Allah SWT sering kita tempatkan sbg mitra dagang, ketimbang sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta.
Kita sering sholat, puasa dan zakat, namun kita lakukan penuh dengan pamrih agar Allah SWT menambahkan titipan rezekiNya, demi memuaskan hawa nafsu duniawi kita.
Padahal nilai ikhlas itu sebuah penyerahan diri total yang sepih dari berbagai pamrih, sebagaimana ucapan Presiden AS, John F. Kennedy, yang sangat terkenal, pada saat dilantik sebagai Presiden AS yang ke 35, pada Januari 1961 : My fellow Americans, ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country. (Kepada Rakyat Bangsaku, jangan tanyakan apa yg akan kau dapatkan dari negerimu, tanyakan apa yang dapat kau buat untuk negerimu).
Namun, yang lebih bernilai spritual lagi seperti yang disampaikan oleh seorang sufi wanita Rabiah Basri atau lebih dikenali sebagai Rabiah al-Adwiyah atau Rabiatul Adawiyah yang mengatakan bahwa :
“Ya Allah! Apabila aku menyembahMu kerana aku takut akan nerakaMu, bakarlah diriku di dalamnya.
Bila aku menyembahMu kerana mengharapkan syurgaMu jauhkan aku dari sana.
Namun jika aku menyembah Mu hanya keranaMu, maka janganlah Dikau tutup keindahan abadiMu.” *SS