Oleh: Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
SwaraSenayan.com – Kemaren, kita sudah bahas Hastag #2019GantiPresiden. Sesuai premis dan kesimpulan akhir dari tulisan saya yang berjudul “Hastag #2019GantiPresiden: Mengapa dan benarkah?,” sebenarnya belum selesai, masih kita bahas.
Kebayang ngak, kalau hastag #2019GantiPresiden merupakan gerakan super power yang mengancam posisi Presiden Jokowi. Karena, hastag tersebut, kekuatan dominannya terdapat pada common will dan common sense masyarakat Indonesia. Sehingga bisa menarik. Tentu, hal ini membuat petahana terganggu.
Tetapi, berbeda dengan hastag #DiaSibukKerja dan #DILAN_Jutkan2019, image Jokowi menjadi suram. Oke, kita bahas satu persatu hastag tersebut.
Pertama, hastag #DiaSibukKerja, bagian ini memiliki dampak negatif terhadap efektivitas Jokowi sebagai Presiden. Ada subjektifitas yang muncul pada tataran rakyat. Seharusnya, Presiden Jokowi jangan bekerja, tetapi memimpin. Karena sangat berbeda yang bekerja dengan memimpin.
Mengutif Rizal Ramli di ILC TVONE pada edisi selasa, 30 Mei 2018 bahwa “pemimpin itu pemberi kerja, bukan sibuk kerja, yang bekerja itu adalah rakyat. Pemimpin tidak usah bekerja, memimpin negara untuk memberi pekerjaan, itu yang penting, biarkan rakyat bekerja, ciptakan lapangan kerja, tidak butuh TKA unskill maupun skilless.”
Jadi jelas, hastag #DiaSibukKerja sudah gugur argumentasinya secara ilmiah. Begitu juga konteks ilmu psikologi komunikasi bahwa “Hastag #DiaSibukKerja terganggu psikologisnya sebagai pendukung, penggerak dan subjek yang dianggap sibuk kerja itu ingin mendapat simpati rakyat, agar perkuat dukungan dan tidak dikenal pemalas.”
Kedua, hastag #DILAN_Jutkan2019, tafsir hastag ini mengandung unsur keyakinan, kemantapan, dan tanggungjawab untuk melanjutkan sebuah ide maupun gagasan yang telah diletakkan sebelumnya. Bagi orang-orang yang tidak suka dengan presiden Jokowi inilah sasaran hastag ini, terutama di media sosial, dapat berperan sebagai agen perubahan politik melalui hastag tersebut. Lihat saja hari ini, pesan tersebut bergerak sedemikian cepat dan seketika. Pergerakan hastag ini, perhari ini juga melalui kreatifitas pendukung, seperti senam aerobik dimonas dan desain baju.
Hastag #DILAN_Jutkan2019 itu tidak berpengaruh terhadap perubahan suhu politik hari ini melalui pembentukan opini publik. Sehingga, hastag #2019gantipresiden akan semakin populer bila itu disepelekan Jokowi. Karena perhari ini juga ada sekitar 6000 orang berkumpul di taman aspirasi hastag #2019GantiPresiden menggaung lebih menggetarkan keseluruh Indonesia, bahkan dunia melalui berbagai media.
Menurut Rilis.id (2018) bahwa diketahui, warganet sedang ramai membicarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pilihan mereka tak ingin calon petahana di #DILAN_Jutkan2019 kembali memimpin. Instagram menjadi salah satu panggung netizen dalam menyuarakan aspirasi tersebut. Namun, rupanya banyak dari mereka yang menginginkan Jokowi tak lagi menang di Pilpres. Lewat hastag #2019gantipresiden, sebanyak 81.718 postingan. Sedangkan, #2019tetapjokowi hanya 9.913 postingan per hari ini. Kekuatan publik lebih dominan sekitar 80% #2019GantiPresiden.
Fenomena hastag itu merupakan interaksi sosial dan publik demokrasi yang telah melibat alat negara bernama Polisi Pamong Praja, Kepolisian Republik Indonesia hingga birokrasi pemerintahan (SKPD) seperti kesbangpol.
Perhari ini, kita dipertontontakan beberapa video yang perlihatkan anggota Polri dan Pol PP berjaga, menegur dan menyiapkan baju pengganti bagi pengunjung CFD (Care Free Day) bagi yang pakai baju #2019GantiPresiden. Warna baju putih yang sudah disiapkan sebanyak 100 lembar per posko. Kira-kira ada sekitar 2000-an lembar baju. Video-video yang beredar itu, terlihat polisi dan Pol PP menegur pengunjung di Medan dan Jakarta sekitar Bundaran Hotel Indonesia.
Mengamati sikap – sikap alat negara ini tentu sangat diskriminatif, apalagi mereka mendapat perintah langsung dari atasannya. Sementara, hastag #DILAN_Jutkan2019 melakukan senam aerobik di Monas juga bagian dari Care Free Day (CFD). Tetapi, hastag satu ini sangat bebas senam bahkan kompak dalam gerakannya. Berarti sikapnya alat negara ini sangat diskriminati, tak ada satupun aparat yang menegur dan berupaya mengganti bajunya itu. Miris sekali, ruang kuasa sudah tidak objektif, pengadilan aspirasi pun dilakukan dan difasilitasi oleh negara.
Sementara bagi massa relawan nasional #2019GantiPresiden saat bubarkan diri dari kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Mereka sembari memunguti sampah yang berceceran dengan membawa plastik sampah hitam besar. Mereka beraihkan dan pulangt inggalkan lokasi acara dengan tertib. Sementara, relawan #DILAN_jutkan2019 di Monas meninggalkan sedikit sampah, dan kelihatan disekitar tak bersih. Namun, per siang hari sudah bersih oleh pasukan orange.
Hastag Pelanggaran Hak Cipta
Pesan hastag #DILAN_jutkan2019 juga mengalami proses diskriminatif terhadap nama seseorang, hak cipta dan brand film DILAN 1990. Ini sebenarnya melanggar kode etik dan hak intelektual. Apalagi itu kata DILAN sebagai kapital berarti sebuah identitas individu seseorang. Mestinya pemilik Hak Intelektual film DILAN 1990 melaporkan hal ini sebagai pelanggaran berat hak cipta. Sudah nyata melanggar.
Menurut Letezia Tobing, (2014) dalam tulisannya menjawab pertanyaan di situs Hukum Online yang berjudul “Adakah Hukuman Jika Tak Sengaja Menggunakan Merek Pihak Lain?” pada Rabu, 06 Agustus 2014 bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU Merek).
Lanjutnya, pemilik merek memiliki hak yang dinamakan hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang di berikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan (Pasal 3 UU Merek). Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif, yang mana jangka waktu tersebut dapat diperpanjang (Pasal 28 UU Merek).
Lebih jauh, Leteza Tobing ungkapkan bahwa jika orang yang telah terlebih dahulu mendaftarkan mereknya (yang sama dengan merek yang digunakan) kemudian mengajukan gugatan kepada pihak yang menggunakan merek yang sama tanpa hak (tanpa meminta izin kepada pemilik merek).
Gugatan tersebut berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut (Pasal 76 ayat (1) UU Merek). Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (2) UU Merek).
Selain gugatan perdata berupa ganti rugi, juga bisa terkena pidana berdasarkan Pasal 90 atau Pasal 91 UU Merek, bergantung pada pelanggaran merek apa yang Anda lakukan.
Menurut Pasal 90 UU Merek bahwa “barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sementara Pasal 91 UU Merek bahwa “barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
Bagi Leteza Tobing (2014) katakan kedua pasal tersebut memang diatur bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan dengan “sengaja dan tanpa hak”. Pada dasarnya pada saat suatu undang-undang diundangkan, semua orang dianggap mengetahuinya (fiksi hukum), sehingga harus berhati-hati dalam membuat/memakai merek, jangan sampai melanggar hak orang lain serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. *SS