SwaraSenayan.com. Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak-anak dan perempuan Indonesia memaksa Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang disahkan pada hari Rabu (26/5/2016).
Dalam Perppu itu diatur tentang pemberatan sepertiga ancaman pidana, mulai dari pidana mati, seumur hidup dan pidana kurungan penjara 10 hingga 20 tahun lamanya. Ada pun juga mengatur tentang hukuman tambahan yakni pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik bagi pelaku kejahatan seksual.
Dengan disahkannya Perppu itu, tidak sedikit pihak masyarakat yang merasa tidak terpuaskan. Pasalnya belakangan, petisi kebiri alat kelamin, dalam hal ini dengan menghilangkan anggota intim pria, bagi para pelaku kejahatan seksual telah banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat luas yang ramai dipetisikan dan disebarkan melalui sosial media.
Jika menurut anggota Komisi VIII DPR RI, Endang Srikarti Handayani, hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual memang penting adanya. Namun demi menjunjung tinggi nilai keadilan, ia merasa, hukuman kebiri fisik bukan lah merupakan hukuman yang tepat.
“Menurut saya, Indonesia adalah berazaskan Pancasila, memang orang yang berbuat keji ada hukumannya. Ada UU yang sedang kita kaji yang namanya penghapusan kekerasan. Pemberian hukuman itu memang penting tapi bukan berarti membabi buta. Harus dikaji kembali dampak dan akibatnya,” kata politisi Partai Golkar itu kepada SWARA SENAYAN, Rabu (25/5/2016).
Jadi, lanjut anggota DPR Dapil Jawa Tengah V itu, tetap harus diperhatikan sebab dan akibatnya dan bukan berarti para pelaku tersebut harus langsung dihadapkan pada hukuman kebiri. “Kalau dikebiri itu tidak bisa disambung lagi, kalau dibunuh pun tidak bisa dihidupkan kembali. Jadi kalau menurut saya dikarantinakan, agar tidak membahayakan orang,” usulnya.
Selain itu, Endang Srikarti yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Borobudur Jakarta juga menilai bahwa ada hukuman lain yang lebih pantas diterapkan ketimbang hukuman mati bagi para pelaku yang sampai tega menghabisi nyawa seseorang.
“Hukuman seumur hidup itu lebih baik daripada hukuman mati, supaya dia (pelaku) merasakan akibat dari perbuatannya. Kalau kita beri hukuman mati, dia gak akan merasakan apa-apa, kalau kita memberikan penjeraan dirinya, maka orang yang belum melakukan bisa juga merasakan penderitaan korban,” tutup lulusan S2 UGM Yogyakarta itu.■mrf