Ekspansi Tenaga Kerja China Dan Ideologi Pembangunan

Ayo Berbagi!

Oleh: Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Local Governance Strategic Studies (Logoss)

SwaraSenayan.com – CHINA diperkirakan akan mengalami booming populasi pada tahun 2025, yaitu mencapai hampir 1,5 milyar penduduk. Masalahnya adalah angkatan kerja (usia 15 hingga 64) akan mencapai lebih dari 1 milyar penduduk (PBB, 2017). Tetapi populasi juga menunjukkan trend naik pada rasio ketergantungan antara bukan angkatan kerja (usia 0 hingga 14 dan 65 ke atas) dan angkatan kerja.

China Menguasai Pasar Bebas

Sejak awal 90-an booming populasi sudah menjadi persoalan besar bagi pemerintah komunis China untuk memberikan pekerjaan kepada penduduknya jika tidak mau menanggung biaya hidup penduduk yang tidak bekerja. Cara satu-satunya adalah untuk terus-menerus ekonomi tumbuh di atas 7 persen agar dapat menyediakan pekerjaan, salah satunya fokus pada manufaktur. Itulah mengapa China mengambil kesempatan melakukan normalisasi hubungan dengan AS di era Clinton yang kemudian AS mempermudah China masuk WTO tahun 2001.

Pada Maret 2000, Presiden Clinton yakin bahwa AS akan menikmati pasar China yang terbuka, dan menyebutnya sebagai “perdagangan satu-arah” untuk AS. Bahkan ketika domestik AS mempertanyakan langkah normalisasi dengan China, Paul Krugman yang pro-normalisasi menyebutnya sebagai “masalah yang kepentingan simbolisnya jauh lebih besar daripada implikasi ekonomi langsungnya” (Slate.com, 2016).

Banyak pakar ekonomi AS yang tidak menduga, dalam 15 tahun kemudian, normalisasi dan China bergabung dalam WTO akan secara mendasar mengubah hubungan perdagangan AS dan China. Clinton telah “membangunkan naga tidur”.

Ada 3 strategi yang dilakukan China untuk memenangkan pasar bebas, selain reformasi aturan ekonomi, yaitu menutup BUMN dan menggantikannya dengan korporasi privat, juga swasta diperbolehkan ekspor langsung tanpa lewat negara, dan dalam rangka menurunkan biaya produksi agar harga ekspor murah, pihak swasta dipermudah untuk impor material manufaktur (Hanson, Dorn, 2016). Dengan jumlah tenaga kerja murah dan melimpah, China mencapai economic scale sehingga ekspor meningkat 30 persen.

Ekspansi Ekonomi China Ke Afrika Dan Sentimen Anti-China

Untuk menjaga sustainable growth, maka pemerintah China harus menjamin pasokan energi jangka panjang yang dibutuhkan untuk mempertahankan industrialisasi dan manufaktur. Untuk itu, pemrintah China mendorong perusahaan-perusahaan swasta melakukan diversifikasi usaha bisnis di Afrika pada sektor infrastruktur, manufaktur, telekomunikasi dan pertanian.

Namun masyarakat sipil Barat dan Afrika mengkritik kegiatan bisnis perusahaan China di Afrika yang gagal mempromosikan Good Governance dan HAM. Perusahaan China banyak yang memberlakukan upah murah kepada pekerja lokal dan snagat timpang dengan pekerja China di level yang sama.

Di sisi lain beberapa pemerintah di negara-negara Afrika cukup puas dengan kerja sama China karena tidak mencampuri urusan pemerintah seperti yang dilakukan lembaga-lembaga donor Barat, misalnya persoalan korupsi dan pelanggaran HAM. Tetapi sentimen anti-China telah termanifestasi secara jelas, bahkan dimobilisasi oleh kekuatan politik yang menentang atau sangat kritis terhadap partai yang berkuasa.

Partai-partai dan gerakan-gerakan oposisi Afrika Selatan telah menyatakan bahwa China sebagai ‘penjajah baru’ dan menuduh Cina telah mengeksploitasi dan mendegradasi ekonomi lokal. Mereka berusaha menghentikan atau membatasi masuknya barang-barang buatan Cina dan migran Cina.

Kekerasan anti China juga sudah terjadi di Zambia (2006) dan Lesotho (2007). Tahun 2011 di Zambia, Michael Sata terpilih sebagai Presiden karena dukungan sentimen anti-China setelah seorang manajer perusahaan pertambangan China menembak beberapa pekerja lokal yang memprotes upah murah. Tahun 2013, Sanusi Lamido Gubernur Bank Sentral Nigeria menyatakan bahwa, Afrika harus melihat China sebagai kompetitor karena ekspansi ekonomi China di Afrika bukan untuk orang-orang Afrika tetapi untuk kepentingan China.

Pangkalan Militer Permanen China Di Afrika Dan Migrasi Warga China

Pertengahan tahun 2017, pangkalan militer Tentara Pembebasan Rakyat China pertama kali dipermanenkan di Djibouti. Tujuannya adalah untuk mengamankan ekspansi kepentingan keamanan ekonomi dan maritim China, yang merupakan bagian strategis dari Jalur Sutra Maritim Beijing (One Belt-One Road).

John Fei (2017) menyatakan pangkalan China di Djibouti untuk mendukung upaya diplomatik Beijing di Afrika dan menyediakan pos terdepan untuk membantu pertumbuhan populasi warga China di Afrika. Tentu saja, selain itu pangkalan militer juga berfungsi sebagai pendukung dan logistik untuk operasi militer yang diperlukan. Tetapi China berdalih bahwa pangkalan ditujukan untuk mendukung 2500 tentara China yang bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Afrika (ECFR, 2016).

Di seluruh benua Afrika saat ini terdapat lebih dari 10.000 perusahaan China, 90 persennya perusahaan swasta (McKinsey, 2017). Migrasi pekerja China ke Afrika, dan juga Asia, sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China. Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada manufaktur berteknologi tinggi mengakibatkan berkurangnya manufaktur padat modal. Akibatnya sekitar 100 juta pekerja manufaktur padat karya telah kehilangan pekerjaannya (Justin Yifu Lin, mantan Kepala Ekonom World Bank).

Ekspansi Pekerja China Di Asia Tenggara

Sentimen anti-China juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Filipina dan Indonesia. Di Thailand lebih dari 100 LSM bergerak untuk menghentikan bendungan yang dibangun di sepanjang Sungai Mekong (2017). Sebagai bagian dari One Belt-One Road, pada tahun 2020 China akan menghubungkan Simao (China)-Luang Prabang (Laos) dan Sungai Mekong (Thailand) untuk mempersingkat jalur perdagangan.

Untuk memudahkan navigasi dan pengangkutan material melalui sungai, China ingin menghilangkan pulau dan batu-batuan sungai yang menghalangi. Kedutaan China di Laos dipaksa untuk mengeluarkan peringatan keamanan setelah seorang pekerja China ditembak mati di provinsi Xaysomboun, Laos.

Di Asia Tenggara, anti pekerja China telah menjadi gerakan akar rumput. Kegiatan perusahaan China, selain menggunakan pekerja China, juga dinilai banyak melakukan pelanggaran. Umumnya mereka tidak beradaptasi dengan etika kerja karyawan lokal, tidak menawarkan kontrak atau asuransi, dan sering tidak merespon secara memadai terhadap tuntutan karyawan (Today on line, 20 Maret 2018).

Di China, para karyawan umumnya menerima tuntutan pekerjaan dan upah yang ditetapkan perusahaan. Terkait hukum dan peraturan tenaga kerja, perusahaan China juga terbiasa dengan pendekatan domestik mereka yang mengandalkan berbagai koneksi dan sumber daya untuk menyelesaikan berbagai masalah. Inilah yang mengakibatkan meningkatnya jumlah pemogokan pekerja oleh serikat pekerja di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tuntutan pekerja atas kondisi kerja yang lebih baik seringkali dihadapi dengan intimidasi dan ancaman pemecatan.

Xi Jinping telah memulai persiapan proyek One Belt-One Road-nya di Asia Tenggara di mana dilakukan penyediaan infrastruktur untuk meningkatkan kekuatan distribusi global China. China telah berhasil meruntuhkan ASEAN melalui investasi dan kebijakan ekonomi (Oliver Ward, 2017), tetapi gerakan akar rumput anti-China di negara-negara ASEAN telah meningkat pesat. Selain itu, sentimen anti pekerja China juga disebabkan oleh ketegangan hubungan politik setelah China mengklaim Laut China Selatan.

Tenaga Kerja China Dan Ideologi Pembangunan Jokowi

Persoalan tenaga kerja China di Indonesia bukan soal jumlahnya, tetapi jumlah pekerja China yang banyak itu telah mengambil pekerjaan warga negara Indonesia, di mana pekerjaan itu saat situasi ekonomi sulit sangat dibutuhkan rakyat.

Tenaga kerja China sudah jelas merupakan bagian dari infrastruktur yang dibiayai perusahaan atau pemerintah China. Sementara infrastruktur ini sendiri diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebanyak-banyaknya, yang kemudian diharapkan mampu menggerakkan konsumsi, di tengah kondisi ekonomi sulit. Tanpa prasyarat itu, jelas sudah ini dapat menjawab mengapa pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen.

Persyaratan tenaga kerja China dalam infrastruktur menunjukkan bargaining position pemerintah Jokowi yang lemah. Kita bisa melihat contoh pembangunan waduk Jatiluhur Djuanda sejak tahun 1957, di mana pekerja Perancis yang datang merupakan tenaga ahli semua, sehingga proyek tersebut mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal.

Bahkan ketika para ahli Perancis meninggalkan Indonesia ketika terjadi peristiwa G30S proyek tersebut belum selesai. Kemudian proyek Jatiluhur diselesaikan oleh semuanya tenaga kerja dan insinyur Indonesia.

Kedua, Jokowi tidak melihat bahwa tenaga kerja China di Indonesia dan di negara-negara lainnya adalah solusi Pemerintah China atas persoalan 100 juta pekerja di China yang kehilangan pekerjaan di manufaktur padat karya. One Belt-One Road adalah solusi strategis dari upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi China agar mampu menyediakan terus pekerjaan untuk penduduknya terutama booming penduduk di 2025. One Belt-One Road merupakan penopang bagi migrasi pekerja China ke seluruh dunia.

Ketiga, kehadiran banyaknya pekerja China di Indonesia menunjukkan konsep pembangunan Jokowi tidak didasari ideologi. Saya mengutip kalimat Prof. Sarbini Somawinata:

“Dalam menyusun konsep pembangunan, beberapa pertanyaan pokok menjadi sangat penting. Pertama, orientasi dan arah pembangunan. Kedua, apakah dan siapakah yang menjadi pendorong dan pelaksana pembangunan itu. Ketiga, dalam suasana sosial politik yang bagaimanakah kita mengadakan pembangunan itu. Pertanyaan itu sangat penting, karena dari jawabannya akan terlihat dengan jelas ada atau tidaknya hubungan antara konsep pembangunan dan ideologi yang mendasarinya. Bila hubungan antara konsep pembangunan dan ideologi tidak ada atau lemah, betapapun baiknya kemauan dan tujuan kita, maka hasil usaha-usaha tadi akan jauh dari cita-cita kita.” *SS

Ayo Berbagi!