Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation / Koordinator Rally “Today I am a Muslim too” di NYC)
SwaraSenayam.com. New York, 9 Februari 2017. Hari ini satu berita yang menggembirakan banyak orang di Amerika, khususnya komunitas Muslim. Dan lebih khusus lagi komunitas Muslim dari tujuh negara yang dilarang oleh Donald Trump masuk Amerika. Ketujuh negara itu adalah Iran, Irak, Suriah, Libia, Yaman, Sudan dan Somalia. Mereka dilarang masuk Amerika dengan alasan menjaga keamanan Amerika dari serangan teror dari luar.
Pada hari ditanda tanganinya keputusan itu, yang menimbulkan kekacauan (chaos) di berbagai bandara internasional Amerika, termasuk diadakannya demontrasi besar-besaran baik di luar maupun dalam bandara. Ratusan penumpang yang menarat hari itu dari negara-negara termaksud ditahan di aiport. Bahkan imbas kebijakan ini juga merambas ke penumpang Muslim lainnya, dimana mereka mendapat perlakuan yang buruk di imigrasi bandara Amerika.
Alhamdulillah, ternyata karakter anti Islam dan Muslim Donald Trump, khususnya dengan pelarangan orang Islam masuk Amerika ini, menumbuhkan simpati dan solidaritas warga Amerika secara luas. Berbagai demo di bandara-bandara internasional Amerika justeru diinisiasi oleh warga Amerika non Muslim termasuk komunitas Yahudi.
Tekanan warga (mass pressure) di berbagai kota di Amerika meninggi dan semakin menjamur. Sementara itu berbagai asosiasi pengacara melakukan tuntutan hukum darurat menuntut agar keputusan itu dibatalkan. Maka pada hari yang sama peraturan itu diperlakukan, Pengadilan Tinggi Brooklyn menangguhkan pelarangan itu. Hasilnya ratusan pendatang yang tertahan di airport itu bisa masuk Amerika pada hari berikutnya.
Setelah Pengadilan Tinggi Brooklyn, peraturan itu kemudian dinyatakan batal dan tidak konstitusional oleh Pengadilan Tinggi negara bagian Washington.
Merespon atas pembatalan itu pihak White House membawanya ke pengadilan menuntut agar pembatalan itu ditangguhkan. Artinya Donald Trump berusaha untuk tetap memperlakukan pelarangan itu. Karena memang pelarangan itu disebutkan dalam masa tiga bulan.
Akan tetapi sekali lagi Donald Trump harus menerima kenyataan pahit bahwa pengadilan Tinggi di San Fransisco di mana pemerintahannya mengajukan peninjauan kembali atas pembatalan “Executive Order” itu ditolak secara aklamasi. Dari tiga Hakim Tinggi yang memutuskan itu semuanya menyatakan menolak keinginan Donald Trump itu.
Donald Trump sebagaimana biasanya menyampaikan uneg-unegnya lewat twitter “see you in court. The security of our nation at stake” (sampai ketemu di pengadilan. Keamanan negara kita dalam bahaya).
Sakali presiden Donald Trump menampakkan diri sebagai orang yang hidup dalam bayang-bayang dirinya sendiri. Di mana dirinya selalu merasa terancam (insecured) dan hanya dia sendiri yang bisa menjamin keamanannya. Sebuah kepribadian yang terlepas dari realita sekitarnya.
Benarkah bahwa dengan melarang orang Islam datang ke Amerika negara dan bangsa ini akan lebih aman? Dalam sejarahnya Amerika selalu teruji oleh nilai-nilai kemanusiaan universal yang dibanggakan. Bahwa Amerika adalah negara dan bangsa imigran, terbuka untuk imigran, dan selalu mengedepankan sikap berkeadilan kepada semua tanpa batas agama, ras dan latar belakang kebangsaan.
Bersatu Membangun Solidaritas
Dari sudut nilai-nilai universal Amerika inilah yang membangun kesadaran bangsa Amerika bahwa apa yang dilakukan oleh presidennya saat ini salah. Sehingga wajar jika banyak warga Amerika saat ini yang bangkit dan melakukan resistensi terhadap kebijkaan Donald Trump itu.
Saya sendiri sejak awal kampanye hingga terpilihnya dan bahkan hingga kini banyak mendapat dukungan dari teman-teman non Muslim, baik itu secara langsung dengan menawarkan perlindungan apapun yang diperlukan dalam menghadapi tantangan masa kini. Atau juga secara tidak langsung dengan mengajak kerjasama dalam membangun komunitas bersama yang solid.
Salah satu bentuk nyata dari dukungan teman-teman non Muslim adalah keinginan mereka untuk secara terbuka menyatakan rasa simpati dan solidaritas dengan mengadakan rally bertemakan “Hari ini kami juga Muslim”. Rencana kegiatan tersebut akan diadakan pada tanggal 19 Februari mendatang di jantung kota New York, Time Square.
Maksud dari tema “Hari ini kamu juga Muslim” adalah menyatakan bahwa apa yang diperlakukan kepada umat Islam berarti itu juga diperlakukan kepada kami. Kesadaran ini bahkan diekspresikan oleh sebagian pembesar Amerika dalam kata-kata “kalau sampai komunitas Islam didata (registry) maka kami akan menjadi Muslim”.
Sungguh komitmen besar dan jujur dari sebagian warga Amerika. Komitmen yang menggambarkan karakater Amerika yang sesungguhnya. Dan disadari atau tidak, karakter inilah yang menjadikan banyak kaum mustadh’afin dari berbagai belahan dunia datang ke negara ini. Termasuk tentunya kakek dan nenek Trump datang dari Eropa mencari karakter yang (harusnya) kasih (compassionate) tadi.
Berbagai tokoh agama yang berpengaruh di kota New York telah menyatakan kesiapannya untuk hadir berbicara, antara lain Cardinal Dolan (pimpinan Katolik), Rabbi Joseph Potasnik (Majelis Rabi Yahudi di New York), Rabbi March Schneier (president FFEU), Rev. Chloe Breyer (Direktur Interfaith Center of New York), dan banyak lagi.
Dari kalangan pejabat akan hadir Gubernur New York, Jaksa Agung New York (AG), Walikota New York, maupun anggota kongres yang mewakili New York di Washington DC.
Selain juga akan hadir beberapa selebriti Hollywood. Salah satu di antara mereka yang memang menjadi bahagian dari panitia pelaksana adalah Russell Simmons, raja hip hop yang sangat terkenal. Sekitar lima atau enam tahun lalu saya dan Russell Simmons pernah berkesempatan ketemu dengan Donald Trump.
Rally yang rencananya akan diliput secara luas oleh media mainstream ini, sepert CNN, NBC, ABC, MSMBC, bahkan Fox News maupun media luar seperti MBA, Aljazeerah, dan Al-Hurrah, akan menjadi salah satu perhelatan akbar sebagai bentuk resistensi masyarakat kepada kebijakan Trump yang diskriminatif.
Sekaligus selain kekalahan Donald Trump di pengadilan tadi, rally ini juga membuktikan bahwa demokrasi di Amerika masih hidup. Karena dalam dunia demokrasi, kekuasaab itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Toh memang di awal Konstitusi Amerika tidak dikatakan “I the President” (saya sebagai presiden). Tapi “we the people” (kita rakyat).
Sehingga bagi saya bahwa di tengah badai tantangan itu, di balik rintangan yang menggunung itu, ada sinar mentari tersenyum. Sehingga optimisme harus terus dibangun karena memang harapan itu selalu ada. Insya Allah! *SS