SwaraSenayan.com. Rancangan Undang-undang (RUU) MIGAS sudah masuk Prolegnas tahun ini belum terlihat serius digarap secara benar. RUU MIGAS ini merupakan inisiatif DPR dan sudah mengeluarkan draf RUU sebanyak 2 kali. Namun hingga kini masih belum terlihat akan dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
Hal inilah yang menjadi sorotan Energy Watch Indonesia (EWI). “Meski tidak kasat mata, tarik menarik kepentingan sepertinya sangat besar pengaruhnya hingga dalam proses membuat RUU ini seakan jalan ditempat namun aroma perburuan kepentingan begitu kental tercium,” demikian ditegaskan Direktur Eksekutif EWI Ferdinand Hutahaean kepada SWARA SENAYAN (5/8/2016).
Melalui pergantian menteri ESDM dari Sudirman Said ke Archandra Tahar, menurut Ferdinan telah mencuatkan kembali RUU MIGAS ini ke permukaan. Pasalnya berawal dari pernyataan Menteri ESDM yang akan memprioritaskan penyelesaian RUU MIGAS. Dan semakin menjadi kontroversi ketika Menteri ESDM menyatakan sedang mengkaji cadangan minyak sebagai aset perusahaan agar bisa dijadikan jaminan mencari pinjaman, sehingga kegiatan explorasi bisa bertumbuh untuk menemukan cadangan minyak baru.
“Gagasan yang bagus tapi penuh resiko dan resiko tidak sebanding dengan manfaatnya karena sesungguhnya ada jalan lain yang minim resiko tapi tetap bisa menumbuhkan explorasi baru,” ujar Ferdinand.
Karena itulah, Ferdinan menilai gagasan tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD karena minyak adalah cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka itu minyak harus dikuasai negara. “Cadangan minyak tidak boleh diserahkan kepada swasta menjadi aset perusahaan, itu keliru dan sangat bertentangan dengan UUD. Cadangan harus tetap dikuasai oleh negara dan tidak boleh dipindah tangankan ke swasta apapun alasannya,” tegas Ferdinand.
Jika alasannya supaya perusahaan explorasi lebih giat mencari sumber minyak baru, Ferdinand menilai solusinya bukan dengan menyerahkan kekayaan negara kepada swasta. Itu sangat berbahaya dan mengancam kedaulatan bangsa atas sumber daya alamnya. Pemerintah harusnya berpikir resiko yang terjadi bila tiba-tiba swasta yang menguasai cadangan tersebut dan sudah menjadikan cadangan tersebut sebagai jaminan pinjaman ternyata bangkrut.
Maka pemberi pinjaman akan menyita aset yang dijaminkan. Ini bahaya, negara akan dirugikan sangat besar. Belum lagi resiko lain yang rentan terjadi misalnya kehilangan aset karena sengketa perusahaan swasta dengan pihak lain hingga perusahaan yang diserahi aset tersebut pailit. Maka aset tentu akan berpindah tangan dan semakin jauh dari kepemilikan negara.
Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Disinilah Ferdinand menekankan adanya jiwa nasionalisme dan keberpihakan pada perusahaan milik negara. “Kami usulkan agar RUU MIGAS mencantumkan dengan tegas bahwa cadangan minyak dan gas dikuasai dan dimiliki oleh negara yang dikelola oleh Pertamina sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Maka Pertamina harus jadi Holding Company disektor minyak dan gas.
Dengan demikian, dalam pandangan Ferdinand, Pertamina adalah satu-satunya badan usaha yang berhak menjadikan cadangan sebagai jaminan pinjaman dan Pertamina ditugasi untuk melakukan explorasi mencari ladang minyak dan gas baru. Ini akan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan negara menjadi sangat besar menuju kedaulatan dan kemandirian sektor energi minyak dan gas.
“Pertamina harus didukung sebagai satu-satunya badan usaha yang menjadi holding company minyak dan gas, sehingga leverage nya besar dan tentu akan mudah mencari sumber dana untuk membiayai kegiatan explorasi. Pertamina yang harus diserahi tanggung jawab itu, bukan perusahaan swasta apalagi swasta asing,” tandas Ferdinand. ■mtq