Oleh: Arief Poyuono (Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)
SwaraSENAYAN.com. Tertangkapnya anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaya dalam operasi tangkap tangan oleh KPK terkait perizinan reklamasi pantai di teluk Jakarta adalah jalan untuk membuka pratek mafia pengembang properti di Jakarta yang sejak dulu sudah terjadi.
Modus yang dilakukan adalah dengan cara mengatur penerbitan Perizinan dan SK Gubenur dan Perda DKI Jakarta yang diatur oleh pengembangan seperti APL di Jajaran Eksekutif dan Legislatif DKI Jakarta untuk keperluan bisnis properti pengembang.
Modusnya biasanya melakukan pengusuran masyarakat Jakarta yang menempati tanah negara atau lahan yang tidak bersertifikat, lalu Pemda DKI Jakarta menggelar perizinan peraturan yang disetujui DPRD untuk dikuasai pengembang untuk dibangunkan properti.
Ambil contoh saja kawasan Pluit dan Kapuk menurut catatan sejarah dari Kementerian PU jaman Belanda atau Openbare Werken hingga jaman Orde lama bahwa daerah Pluit dan Kapuk itu RTRW untuk serapan banjir dan ROB agar Jakarta tidak banjir yang dalam bahasa Belandanya Fluiteren dan disebut oleh masyarakat Jakarta jadi Pluit.
Tetapi akibat ulah korporasi pengembang yang korup dan tukang suap pemprov DKI Jakarta dan DPRD daerah Pluit dikembangkan jadi kawasan hunian yang meyebabkan banjir besar di Jakarta yang dimulai tahun 1976 hingga sekarang.
Karena di Jakarta makin kurang lahan untuk bisa dikembangkan maka berdasarkan SK Gubenur DK Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Gubenur Basuki Tjahaja Purnama tentang perizinan reklamasi pantai di 17 pulau di Pantai Utara (Pantura) Jakarta, kepada PT Wisesa Muara Samudera yang merupakan anak perusahaan APL dan itu dipermasalahkan oleh Komisi D DPRD DKI Jakarta walau pada akhirnya Komisi D DPRD terbelah antara yang pro SK Gubernur Ahok tentang Reklamasi dan Kontra SK tersebut.
Alasan yang mendasari penolakan perizinan dalam SK Gubenur No 2238 tahun 2014 yang dikeluarkan Ahok untuk kepentingan bisnis APL karena melanggar peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No. 1/2014, Perpres 122/2012, Permen KP No. 28/Permen-KP/2014, Perda 8/1995, hingga Pergub No. 88/2008.
Karena itu Kementerian KKP yang dipimpin Susi Pudjiastuti tidak akan memberikan perizinan untuk reklamasi 17 pulau oleh APL.
Nah minggu lalu, Ahok mendatangi Menteri Susi untuk kepentingan kelanjutannya APL agar mau mengeluarkan Permen persetujuan reklamasi 17 pulau di Jakarta, namun Susi tetap menolak.
Lalu kenapa Ahok dengan sukarela dan semangat membantu perizinan di tingkat pemerintah pusat untuk reklamasi pantai oleh APL, pertama Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dan jajaran Pimpinan DPRD DKI Jakarta diduga sudah diamankan oleh APL dalam bentuk sogokan cash langsung serta sogokan pekerjaan pengurukan untuk reklamasi. Kedua kedekatan Ahok dengan APL juga tidak diragukan karena Ahok sempat dijuluki gubemurnya Agung Podomoro dan Ahok juga mengakui saat meresmikan jembatan di daerah yang dikembangkan APL.
Ketiga Ahok dan Sanusi pasti butuh dukungan finansial untuk maju sebagai Cagub DKI Jakarta.
Nah karena itu pemerintah pusat harus mencabut dan membatalkan semua perizinan reklamasi pantai teluk Jakarta yang diberikan kepada APL dengan Keppres tentang larangan reklamasi pantai teluk Jakarta yang merusak lingkungan dan biota laut dan syarat KKN.
KPK harus melakukan audit investigasi terkait semua perizinan proyek proyek properti milik APL yang diduga sarat korupsi dan suap kepada Executif dan Legislatif Pemprov DKI Jakarta sejak jaman Sutiyoso hingga Ahok .
Karena pasti akan banyak pengakuan dari petinggi-petinggi Pemprov DKI Jakarta kalau semua perizinan usaha pengembang oleh APL itu tidak beres semua dan syarat dengan KKN. ■dam