Oleh : Imbang Djaja
SwaraSenayan.com. Potret NKRI yang tersebar di seluruh dunia adalah negara buram yang kaya Sumber Daya Alam dengan hutang Rp 4.000 Trilyun, sarangnya koruptor, penegakan hukum gagal, indeks gini ratio 0.4, menjadi pusat perdagangan Narkoba terbesar di ASEAN, 1% warganya menguasai 40% asset nasional, penguasaan oleh multinational company di semua bisnis dan industri, berkiblat dan bergantung ke negara-negara adidaya, pemerintahnya tidak punya dana untuk menutupi defisit APBN-nya, wibawa pemerintah tidak ada, dan seterusnya.
Akibat dari hal-hal negatif tersebut, muncul kecemburuan sosial yang merata di seluruh Indonesia, sehingga terjadi konflik di semua lapisan yang tidak berkesudahan. Termasuk diantara lembaga negara, internal partai, antar pelajar, antar penegak hukum, dan lain-lain, sehingga pemerintah dan negara tidak berdaya dan tidak dirasakan kehadirannya, kemudian jatuhlah cap sebaga “negara gagal”.
Semua penjajah bangsa Indonesia dan NKRI sangat gembira dengan kondisi ini, karena mereka bisa menguras SDA kita sesukanya, DPR dan rezim berkuasa mereka dikte karena tergantung pada mereka.
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) paham sekali situasi ini, kemudian mencari cara menyelamatkan NKRI agar tidak runtuh. Akhirnya didapatlah cara paling efektif, murah dan bisa diterapkan oleh rakyat Indonesia untuk merebut kedaulatan dari tangan penjajah asing dan lokal.
Program Bela Negara
Program ini sangat cocok dengan situasi batin rakyat Indonesia yang selama ini hanya dijadikan obyek oleh para elit penguasa. Kemenhan dengan cerdas mampu melihat kehausan rakyat untuk ikut berperan dan diakui keberadaannya.
Ada lebih dari 180 juta rakyat (sisanya anak-anak) yang bisa dirangkul Kemenhan sebagai “orang baru” yang terjun dalam politik pertahanan negara. Mereka bisa pelajar, mahasiswa, santri, buruh, tani, nelayan, guru, dosen, pegawai negeri non pejabat, kyai, pedagang kecil, asosiasi-asoiasi, ormas, orsos, pengangguran, preman, dan sebagainya dan sebagainya.
Semua haus diberi “Tugas Negara” yang membuat bangga dan terhormat. Saat ini semua kelompok tersebut sudah punya organisasinya sendiri-sendiri, mereka saling bersaing untuk mendapatkan perhatian dari rezim berkuasa, jadi dengan dibuatnya Program Bela Negara maka terciptalah situasi seperti botol dengan tutupnya.
Saat ini sudah puluhan / ratusan ribu sekolah umum, pesantren dan madrasah, ada ratusan ribu mesjid dan rumah ibadah lainnya, ada ratusan ribu RT-RW-Kelurahan-Kecamatan dan lain-lain yang semuanya punya data lengkap warganya.
Para Pemain Baru ini tidak pernah diberi peran terhormat setara dengan para patriot bangsa. Mereka sebagian merupakan anggota ormas atau orsospol yang lingkupnya hanya sebatas organisasi saja. Beda jauh dibandingkan dengan anggota atau peserta Program Bela Negara yang skalanya nasional.
Markas / Kantor Kemenhan
Selain berfungsi sebagai kepanjangan tangan Kemenhan RI, keberadaan kantor / markas ini sangat penting sebagai legitimasi kegiatan Bela Negara dan kegiatan apapun yang dilakukan benar-benar legal dan diketahui negara. Hal ini cocok sekali dengan budaya paternalistik yang dianut bangsa Indonesia.
Setiap Markas / Kantor akan dibuat mandiri dengan mendayagunakan kearifan lokal yang dimiliki daerah tersebut. Program kemandirian berjalan paralel dengan Program Bela Negara. Semua program disesuaikan dengan adat dan budaya setempat. Sehingga tiap Markas / Kantor Kemenhan daerah juga berfungsi sebagai pusat inkubasi semua kegiatan yang terkait dengan kekayaan alam dan kearifan lokal.
Program Bela Negara tiap daerah akan dijelaskan secara khusus agar kerahasiaannya terjaga. Hasil akhir Program Bela Negara adalah terbangunnya masyarakat yang harmonis, bahagia, aman, kuat dan sejahtera. (bersambung). ■mtq