Oleh: Marwan Batubara, IRESS
SwaraSenayan.com. Pada 6 Maret 2018, Menteri ESDM Ignatius Jonan mengatakan, sesuai arahan Presiden Jokowi, BBM jenis premium dan solar tidak akan naik hingga 2019. Menurut Jonan, keputusan tersebut merupakan kesepakatan bersama 3 kementrian: ESDM, BUMN dan Keuangan. “BBM arahan Bapak Presiden juga sesuai kesepakatan BUMN, Kemenkeu dan saya laporkan ke Bapak Presiden tadi (Sidang Kabinet) BBM Penugasan RON 88 harganya tetap dipertahankan tidak naik”, kata Jonan (6/3/2018).
Pada 9 April 2018, sesuai arahan Presiden, Wamen ESDM Arcandra Tahar mengatakan pemerintah akan mengatur harga BBM non-subsidi dan mewajibkan pasokan premium ke seluruh wilayah Indonesia. Wilayah distribusi BBM Khusus Penugasan Premium RON 88 akan termasuk wilayah Jawa, Madura dan Bali, yang sebelumnya dikecualikan.
Sejalan dengan kebijakan terkait BBM di atas, pada 20 April 2018, ternyata pemerintah pun memecat Dirut dan 4 Direktur Pertamina. IRESS sangat yakin pemecatan tersebut sangat terkait dengan keinginan pemerintah untuk memuluskan kebijakan harga BBM populis yang sedang diusung!
Pemerintah akan segera merevisi Perpres No.191/2014, dan akan memasukkan klausul baru guna mengakomodasi perubahan di atas. Dikatakan, revisi perlu dilakukan guna mencegah terjadinya kelangkaan premium akibat banyaknya konsumen kembali menggunakan premium, karena kenaikan harga pertalite dan pertamax sesuai naiknya harga minyak dunia.
Tidak naiknya harga premium dan solar di tengah terus naiknya harga minyak dunia pasti didukung masyarakat. Namun, jika harga jual premium dan solar jauh lebih rendah dibanding harga keekonomian, maka perintah tersebut akan menjadi beban merugikan yang dapat membangkrutkan BUMN. Padahal di sisi lain rakyat justru membutuhkan BUMN/Pertamina yang terus berkembang agar dapat menjamin penyediaan energi secara berkelanjutan dan ketahanan energi nasional yang terus meningkat. Salah satu yang mendesak adalah membangun kilang baru dan merevitalisasi kilang2 lama guna menghindari ketergantungan yang sangat akut kepada BBM impor dari Singapore!
Sesuai formula harga BBM dalam Perpres No.191/2014, akibat meningkatnya harga minyak dunia dari rata-rata US$ 39 per barel pada 2016 menjadi rata-rata US$ 51 per barel pada 2017, maka Pertamina harus menanggung kerugian menjual solar dan premium sekitar Rp 24 triliun sepanjang tahun 2017. Pada 2018, naiknya harga minyak menjadi sekitar US$ 67, untuk penyaluran solar dan premium bulan Januari- Maret, Pertamina telah merugi sekitar US$ 8,7 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik, tak heran jika kerugian akan terus membesar.
Pemerintah mengatakan revisi Perpres No.191/2014 dan kewajiban Pertamina menjual jenis solar dan premium dimaksudkan terutama untuk mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat. Publik perlu mencermati apakah kenaikan harga BBM memang benar telah menjadi faktor penentu dalam kenaikan inflasi. Naiknya harga BBM pertalite pada akhir Maret 2018 pun telah diklaim sebagai pemicu inflasi.
Padahal, berdasarkan siaran pers BPS pada 2 April 2018, kontribusi kenaikan energi terhadap inflasi justru sangat rendah!
Dalam rilis BPS tersebut dapat dibaca bahwa inflasi Maret 2018 adalah 0,20% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 132,58. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang disebabkan oleh naiknya seluruh indeks kelompok pengeluaran, yaitu: a) bahan makanan 0,14%; b) makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,26%; c) perumahan, air, listrik, gas, dan BBM 0,06%; d) sandang 0,36%; e) kesehatan sebesar 0,37%; f) dan transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,28%. Tampak ada manipulasi informasi dan penggiringan opini bahwa BBM telah memicu inflasi, padahal kontribusinya justru sangat minim, hanya 0,06%.
Kita yakin faktor pencitraan politik-lah yang menjadi motif di balik kebijakan populis ini. Akibatnya, bukan saja berbagai peraturan dan undang-undang dilanggar, tetapi janji dan komitmen perbaikan sektor energi pun gagal terlaksana. Hal ini jelas akan menghambat kemampuan BUMN menyediakan energi secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional yang saat ini sangat rendah. Beberapa catatan tentang pelanggaran peraturan dan komitmen tersebut diuraikan berikut ini.
Pertama, dengan mempertahankan harga BBM tetap hingga 2019, pemerintah telah melanggar ketentuan dalam peraturan yang dibuat sendiri pada Perpres No.191/2014, bahwa harga BBM dievaluasi setiap bulan sesuai perubahan harga minyak dunia dan kurs. Bahkan sejak April 2016, saat Pemilu 2019 masih jauh, pemerintah pun telah membekukan harga BBM. Padahal harga minyak dunia telah naik dan secara gradual terus merangkak naik. Sehingga, gap antara harga BBM umum dengan solar dan premium menjadi semakin besar.
Kedua, meskipun pemerintah mengaku ingin membatasi subsidi di APBN melalui kebijakan subsidi tetap (solar) dan penugasan (premium), sebenarnya harga jual premium dan solar yang berlaku adalah harga yang sudah ditambah oleh “subsidi” dari Pertamina. Hal ini jelas melanggar visi dan komitmen Pemerintahan Jokowi-JK yang selalu mengkritik kesalahan Pemerintahan SBY yang “membakar” dana APBN ribuan triliun Rp untuk subsidi BBM. Bahkan kebijakan pemerintah saat ini dikategorikan ilegal, karena memaksa BUMN menjalankan tugas PSO dan menanggung subsidi dengan melanggar aturan.
Ketiga, penugasan kepada BUMN untuk menjual BBM di bawah harga keekonomian telah melanggar UU No.19/2003 tentang BUMN. Pasal 66 UU tersebut mengatur bahwa setiap penugasan pemerintah untuk kemanfaatan umum (PSO) harus tetap mematuhi maksud dan tujuan BUMN. Jika penugasan tersebut tidak feasible, maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah ditambah marjin keuntungan. Faktanya pelanggaran peraturan seperti ini telah menjadi temuan BPK pada kasus distribusi LPG 12kg tahun 2011-2012 yang “dijual” di bawah harga keekonomian dan merugikan Pertamina sekitar Rp 7,73 triliun. Pelanggaran diulang?
Keempat, dengan memperluas distribusi dan pelayanan penjualan premium ke seluruh Indonesia, pemerintah melanggar komitmen atas penggunaan energi bersih sesuai standar minimal yang ditetapkan pemerintah yakni, yakni Euro II (RON 92). Kebijakan yang justru kembali menggalakkan penggunaan energi kotor yang merusak kesehatan rakyat dan lingkungan ini, jelas merupakan kebijakan populis yang plin-plan, tidak bertanggung-jawab, berpandangan sempit, berwawasan jangka pendek dan sangat pragmatis oportunis!
Kelima, dengan memaksa Pertamina menjalankan PSO tanpa kompensasi dan malah menimbulkan kerugian yang berpotensi membangkrutkan, maka Presiden Jokowi telah melanggar janji untuk membesarkan Pertamina mengungguli Petronas. Jangankan akan tumbuh besar, justru kebijakan pemerintah tersebut akan menjadikan Pertamina semakin kerdil dan kalah jauh dibanding Petronas. Karena itu, meski datang dari seorang Presiden, tampaknya janji tersebut hanya dagelan dan omong kosong yang tidak perlu dimaknai serius oleh rakyat.
Keenam, dengan terus mengalami kerugian akibat menjual BBM PSO sesuai harga populis, kemampuan Pertamina mendanai berbagai kegiatan eksploitasi dan investasi proyek-proyek strategis akan terganggu. Salah satu proyek yang butuh investasi besar dan telah tertunda cukup lama adalah proyek pengembangan kilang BBM, yakni proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) untuk merevitalisasi 4 kilang lama (baca: tua) dan proyek Green Root Refinary (GRR) untuk membangun 2 kilang BBM baru. Proyek RDMP dan GRR ini akan meningkatkan kapasitas kilang Indonesia menjadi 2 juta barel per hari (bph) dengan kualitas produk BBM sesuai standar Euro V pada tahun 2025.
Ketujuh, dengan tertundanya proyek RDMP maka ketergantungan Indonesia terhadap BBM impor yang saat ini telah melampaui 500.000 bph dan berpotensi menjadi 1.000.000 bph dalam 4-6 tahun ke depan akan semakin tinggi. Kita akan sangat tergantung pada pasokan BBM impor dari luar negeri, terutama Singapura dan sejumlah negara lain. Hal ini jelas akan sangat mengganggu dan mengancam ketahanan energi nasional yang saat ini berada pada peringkat ke-75 (dari 125 negara) sesuai kajian oleh World Energy Council (2018).
Bagaimana mungkin negara berpenduduk 255 juta, dibiarkan oleh pemerintahnya sangat tergantung pada negara lain guna memenuhi lebih dari 30% kebutuhan harian BBM? Sudahlah tidak peduli kalau peringkat ketahanan energi negara ini rendah, pemerintah malah memasung kemampuan keuangan perusahaan energinya dengan kebijakan populis berwawasan sempit, sehingga rawan terhadap risiko kelangkaan pasokan akibat gejolak geopolitik global dan berpotensi gagal menyediakan energi berkelanjutan.
Kedelapan, ditengarai terdapat beberapa wakil negara dan perusahaan asing serta oknum-oknum pejabat/swasta nasional yang secara sadar atau tidak sadar telah mempengaruhi kebijakan energi/BBM pemerintah, sehingga rencana proyek RDMP dan GRR tertunda atau gagal terlaksana. Peran asing dan “pengabdi” asing ini telah tampak pada Pemerintahan SBY yang selama 10 tahun tak mampu membangun satu kilang pun, walau pemerintah/Pertamina selama periode tersebut telah membuat puluhan MOU kerja sama pembangunan kilang.
Kita tidak menuduh bahwa pemerintah saat ini telah bekerja sama dengan asing dan para pemburu rente agar Indonesia tetap tergantung BBM impor dari Singapura atau sejumlah negara lain. Namun kebijakan populis harga BBM yang diambil saat ini memang sejalan dengan kepentingan asing dan para pemburu rente. Anggaplah ini kebetulan. Minimal periode menjelang pemilu yang biasanya “semarak” dengan impor berbagai komoditas pangan guna menumpuk rente logistik, 2 tahun ke depan akan mendapat satu “pendatang baru”, yakni impor premium yang semakin besar yang harga rujukannya di pasar pun tidak jelas. Perolehan rente-nya akan sangat besar untuk berfungsi sebagai salah satu sumber logistik Pemilu 2019!
Pemerintah sebenarnya memiliki opsi untuk menerapkan kebijakan populis tanpa harus mengorbankan BUMN, yakni mempertahankan harga BBM tidak naik dengan meningkatkan dana subsidi BBM di APBN. Opsi lain adalah memberlakukan harga BBM dalam koridor batas atas dan batas bawah, bersamaan dengan penerapan dana stabilisasi dan sistem subsidi tepat sasaran. Dengan begitu, kemampuan keuangan Pertamina tetap terjaga untuk mengembangkan bisnis dan melaksanakan RDMP, dan GRR sehingga ketahanan energi meningkat. Terserah opsi mana yang dipilih, namun minimal kita menuntut agar pemerintah mengakhiri kebijakan populis ilegal yang merusak BUMN secara semena-mena, hanya karena sedang berkuasa.
Jika dikaitkan dengan pergantian Dirut dan 4 Direktur Pertamina pada 20 April 2018 minggu lalu, maka IRESS sangat yakin bahwa penggusuran kelima orang tersebut jelas sangat terkait dengan keinginan pemerintah untuk mengamankan kebijakan politik populis yang sedang diskenariokan guna memenangkan pemilu 2019.
Silakanlah pemerintah menjalankan agenda politik sesuai keinginan. Tapi lakukanlah hal tersebut dgn fair, legal, bertanggungjawab dan bermoral, sekaligus tidak memanipulasi informasi, menfitnah manejemen yang melindungi perusahaan negara, melanggar aturan, dan mengorbankan kepentingan strategis nasional jangka panjang dalam penediaan energi yang berkelanjutan dan ketahanan energi yang harusnya terus meningkat. [SS]