Pembelaan NKRI dan Paradoksnya

Ayo Berbagi!

Oleh: Insanial Burhamzah

SwaraSenayan.com. Begitu banyak sudah asumsi, hipotesa dan bahkan kajian akademis yang kita bahas tentang keadaan NKRI kita saat ini. Namun sampai kini masih menyisahkan perpecahan di kalangan elit bangsa.

Padahal, semua golongan, kelompok dan Agama, baik yang diluar pemerintahan maupun yang ada dalam pemerintahan RI menyatakan mempunyai tujuan yang sama untuk membela NKRI. Namun, persepsi membela NKRI akhir-akhir ini menempatkan bangsa ini pada neraca kompetisi yang terbelah menjadi dua kubu, yang dI tenggelamkan kedalam nuansa ketegangan.

Ketegangan awal muncul akibat mayoritas ummat Islam, mencium adanya kebijakan (hukum, politik dan ekonomi), yang patut diduga dikendalikan oleh pihak asing (China-Komunis). Yang dirasakan memperlemah eksistensi peran anak bangsa. Antara lain kebijakan yang membuka TKA dari China secara tidak terkontrol, adanya penyangkalan hak dan peluang bagi ummat Islam dan tidak mengacuhkan aspirasi mereka khususnya masalah Penistaan Surat Al Maidah 51 oleh Ahok.

Lebih jauh lagi, para pembela rezim ini melontarkan tuduhan-tuduhan yang bernuansa Hoax terhadap para Ulama dan tokoh Islam. Mereka didukung oleh media mainstream dan kelompok “Islam sekuler” yang menjadikan Islamophobia semakin menguat. Selain itu, ummat Islam melihat adanya fenomena pembiaran terhadap bangkitnya Komunisme di Indonesia.

Ditengah kegalauan dan keadaan yang semakin mencemaskan itu, sejumlah tokoh menyatukan diri dalam GNPF-MUI, untuk memberi spirit baru dalam menyuarakan tuntutan ummat Islam yang nyaris sebelumnya terpecah dalam kelompok-kelompok kecil, guna kembali dipersatukan, karena merasakan kezoliman yang sama. Sehingga lebih dari 7,5 juta ummat Islam dapat merapatkan shaft pada shalat Jumat bersama di Monas pada tanggal 2 Desember 2016 lalu, yang di kenal dengan Aksi Bela Islam 212.

Namun para Ulama 212, di identikan sebagai intolerance, radikal dan anti pluralism serta sejumlah tuduhan lainnya. Sebagaimana tuduhan yang sama terhadap Ummat Islam umumnya oleh pers Barat dan para Islam sekuler / Munafiq. Mereka membangun Hoax yang bernada fitnah, seperti Islam adalah Teroris, anti pluralism serta intolerance dan terakhir adalah Islam melahirkan pemimpin yang korup.

Paling menyakitkan lagi adanya tokoh Partai berbasis Islam dan tokoh Organisasi Islam yang ikut mendiskreditkan Ulama sendiri, yang masih terus berlangsung sampai saat ini. Karena mereka terperangkap oleh berbagai tuduhan yang bernuansa stigmatis dan stereotype negative oleh media mainstream. Dan bukan tidak mungkin juga terpikat oleh tawaran rezim ini dalam bentuk sahwat duniawi.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kalangan antek Komunis bersama para kaum Munafiq yang membenci Islam telah mengeksploitasi ketegangan-ketegangan yang ada dalam segmen kecil namun merupakan minoritas kuat di kalangan mereka. Mereka menyerang FPI dengan berbagai tuduhan Hoax, seperti anti kebhinekaan, tetapi paradoksnya, merekalah yang merekayasa kehadiran LSM GMBI dan sejumlah pasukan preman baik yang mengatas namakan suku Dayak, adalah bentuk upaya berkelanjutan dari penyelenggara negara ini yang sedang panik.

Faktanya justru mereka telah membuat rentang pemisahan bangsa ini semakin melebar Sehingga, sebagian besar di berbagai kalangan ummat Islam sudah menyatakan diri siap untuk ber Jihat, sebab hampir semua elemen ummat Islam telah memupuk rasa tidak percayanya.

Devide Et Impera ala Stockholm Syndrome

Serangan perang Asymetris dari Negara Predator (China Komunis) semakin gencar dilakukan melalaui media mainstream, yang didukung para Taipan dan “tokoh- Islam” yang menjadi kaki tangannya di Indonesia. Sehingga segenap anak bangsa dibuat tak sadar kalau sedang dipecah-belah (“dikotak-kotak”) melalui apa yang diistilahkan sebagai “devide et impera”, termasuk adu-domba secara halus antara TNIPolri, selaku anak-anak kandung revolusi kemerdekaan NKRI. Padahal keduanya merupakan ‘perekat bangsa.’ Alhasil, memecah-belah TNI-Polri maka pecahlah bangsa ini. Pelemahan internal NKRI sedang berlangsung di republik kita ini.

Yang jelas, ketiga agenda di atas tengah berjalan secara masif dan sistematis jelang Pilpres 2019. Dan sangat patut diduga bahwa ada invisible hand (tangan-tangan tersembunyi) dari kejauhan yang “meremote” kegaduhan politik di Bumi Pertiwi.

Sang invisible hand inilah “musuh bersama” (common enemy) bangsa ini. Dan uniknya, sebagian dari kita justru membela mati-matian si common enemy.

Inilah apa yang disebut dengan istilah Stockholm Syndrome. Apa hakikinya Stochold Syndrome itu? “Seseorang, atau kaum, kelompok, dan sebagainya, yang justru mencintai, membela bahkan mendukung total para sosok yang hendak dan tengah membinasakan dirinya.”

Dengan demikian Stockhold Syndrome artinya: Kita tidak sadar (akibat ketidakpahaman), atau sebagian dari kita pura-pura tak sadar karena turut menikmati (bagian dari skema common enemy)?

Selanjutnya sudah dapat kita tebak: Siapa musuh bersama bangsa yang menyebabkan kemiskinan tak bertepi di negeri kaya raya ini?”

Kegelisahan pokok yang mendasari tulisan saya ini adalah, ketika TNI-POLRI yang merupakan titik-tumpu dari tegaknya NKRI saja sedang dalam proses dilemahkan dari dalam, apalagi yag terkait langsung dengan elemen-elemen masyarakat.

Makanya kalau sekarang saya bersama beberapa kawan, menyatakan mendukung PRABOWO SUBIANTO, tidak lain karena Prabowo sejalan dan seiring apa yang telah diperjuangkan oleh GNPF-MUI dan berbagai bentuk gerakan perlawanan lainnya. Hal itu tidak lain karena kami sama-sama menangkap fenomena / gelagat itu.

Memang ada pihak yang meragukan asumsi dan hipotesa kebangkita PKI benar adanya, dengan tuduhan mau melumpuhkan skema dan kekuatan-kekuatan pendukung nasionalisme kerakyatan. Tetapi kenyataannya fakta dilapangan bukan asumsi dan hipotesa belaka tentang kehadiran Komunisme di Indonesia.

Justru umat Islam saat ini merupakan elemen strategis dan basis kekuatan gerakan nasionalisme kerakyatan, untuk melawan kebangkitan PKI bukan saja sampai akhir masa pemerintahan Pak Harto, sebab kami tidak yakin PKI sudah modar 30 tahun sebelumnya.

Kenapa sekarang sepertinya ada gerakan mengganyang Prabowo dan Islam?, Nah inilah skema yang sedang dikondsikan, yaitu mencegah bersatunya gelombang besar Nasionalisme dan Islam, menjelma menjadi skema nasionaslime kerakyatan yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945 asli.

Maka distigmalah bahwa Prabowo itu personifikasi Islam secara keseluruhan, jadi kalau mendukung itu, berarti pro Islam radikal. Nah, sebagai antagosnisnya, muncullah kelompok pro kebhinekaan. Padahal, kedua kelompok ini sudah masuk skenario Proxy War.

Seolah-olah, ada benturan antara Islam radikal versus Kebhinekaan. Padahal sasaran strategis dari mainan ini: Melumpuuhkan skema nasionalisme kerakyatan yang bertumpu pada bersenyawanya gelombang nasionalisme dan Islam. Dua modalitas sosial bangsa Indonesia yang paling berharga sejak dulu sampai sekarang.

Kalau benar kita sedang mengidap Stockholm Syndrome, maka serangan asimetris asing di sektor ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan, pada perkembangannya akan berjalan sukses secara paripurna. Tanpa melibatkan satu kompi pasukan sama sekali. Dan bahkan tanpa meletuskan satu peluru sama sekali.

Ancaman dari China

Masako Kuranishi, Peneliti dari Universitas Tsurumi dan Universitas Seigakuin Jepang, pernah mengingatkan Pemerintah Indonesia agar lebih waspada menghadapi politik ekspansi komunis RRC yang semakin lama semakin gencar di bawah kekuasaan Presiden Xi Jinping. “Jangan sampai Indonesia berantakan gara-gara tidak siap menghadapi politik ambisius RRC di Asia ini,” ujarnya mengingatkan.

Peringatan ini bukan tanpa sebab, karena sejumlah negara di Afrika telah bertekuk lutut dan menggadaikan kedaulatannya kepada RRC disebabkan utang yang tak mampu mereka bayar.

Apa dan bagaimana sesungguhnya politik ekspansi RRC terhadap Asia-Afrika, dan dampaknya terhadap Indonesia, keuntungan dan bahayanya, dikupas lebih rinci dan mendalam di Eramuslim Digest edisi 12, yang mengambil tema: Bahaya Imperialisme Kuning.

Penutup

Memang dalil untuk merekonstruksi kesepahaman itu tidak mudah, Sebab semua pihak tidak bisa mengendalikan tuduhan yang bernilai Hoax terhadap satu dengan lainnya. Yang menjadi bagian dari program “Devide Et Impera” atau adu domba para musuh Islam yang dikendalikan negara predator yang tergabung kedalam konspirasi global untuk melemyapkan Indonesia.

Selama hubungan sesama ummat Islam di Indonesia ditentukan oleh perbedaan-perbedaan visi Politik dan kepentingan sempit semata, maka kita hanya akan memperkuat mereka yang menyebarkan Islamophobia dan kebencian, bukannya perdamaian. Yang pada gilirannya justeru akan melemahkan peran Islam sebagai benteng dan garda terdepan tegaknya NKRI.

Negara-negara Predator yang mempromosikan konflik, tidak memiliki itikad baik untuk membangun kerja sama yang dapat membantu semua rakyat kita mencapai keadilan dan kemakmuran.

Lingkaran kecurigaan dan permusuhan sesama bangsa harus kita akhiri. Semua elemen masyarakat harus menahan diri, khususnya oknum penyelenggara negara saat ini, seharusnya tidak ikut panik terhadap permasalahan yang ada. Apalagi ikut menebar Hoax dan mengendalikan kebenaran, mengambil diskursus politik dan diskursus public yang mengarah pada negara totaliter. Karena taruhannya adalah pertumpahan darah bagi sesama anak bangsa ini bisa menjadi kenyataan, yang pada gilirannya mencederai keinginan kita bersama untuk menjaga keutuhan NKRI. Wassalam. *SS

Ayo Berbagi!