SwaraSenayan.com. Setelah sekian lama dalam penantian, akhirnya PDIP memutuskan mengusung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang. Menyikapi keputusan partai yang mengaku sebagai partainya wong cilik, berikut disampaikan paparan Kajian dan Analisa lepasan dari hasil diskusi rumahan Majelis Kajian Jakarta (MKJ) yang disampaikan kepada SWARA SENAYAN (21/9/2016).
Apabila terjadi “Perang Tanding” dua pasangan calon antara YASSIN (Yusril Ihza Mahendra – Sandiaga Salahudin Uno) dan AH-ROT (Ahok – Djarot), menurut Erwin H. Al Jakartaty Koordinator MKJ, maka akan mengulang sejarah Pilkada DKI Jakarta tahun 2008, kemungkinan yang terjadi adalah kondisi sebagaiberikut :
Peta Politik
AHROT didukung koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura, Partai Golkar, Partai NasDem memiliki jumlah total 52 Kursi.
Sementara YASSIN didukung koalisi Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional jumlah Total 54 Kursi.
Dari mapping ini terlihat YASSIN menang point dukungan politik 2 kursi. Jika masing-masing Paslon memberdayakan modal suara anggota legislatif partai pendukungnya (hasil Pileg 2014), masing-masing kubu ini potensi suara yang baik dan diatas kertas duet YASSIN lebih unggul.
Duet Paslon AHROT adalah calon petahana (incumbent), tentunya masih memiliki dukungan riil via keluarga aparat birokrasi yang dipimpinnya serta jaringan mitra-mitra kerjanya selama menjalani pemerintahan.
Peta Perang Darat
Basis massa pendukung PDIP kemungkinan akan terpecah, ada pro-kontra. Memang dapat diminimalisir yang kontra, tapi tetap signifikan. Bisa disolidkan kembali jika Djarot (kader PDIP yang bukan berbasis massa Jakarta) mampu merangkul mereka dengan mendekati tokoh-tokoh grasroot PDIP DKI. Karena militansi massa nya cukup tertib.
Basis Massa pendukung Golkar di DKI juga akan terpecah, ada pro-kontra. Karena beberapa tokoh Golkar DKI adalah berbasis Betawi dan memiliki pendukung tradisional yang akan solider pada gerakan perlawanan Betawi terhadap penguasa zdolim. Perangkulan kekuatan kontra agak sulit.
Basis Massa Hanura Jakarta juga tidak solid full ke Ahok. Bahkan Hanura Jakarta Timur sudah bersikap anti Ahok. Diawal keputusan Sang Ketua Umum Wiranto saat mendukung Ahok saja sudah banyak pengurus dan akar rumput Hanura yang protes dan mundur teratur. Dan realisasi dukungan basis Hanura masih minim, karena tak ada upaya perangkulan.
Partai Nasdem idem ditto dengan poin 1 s.d 3, parahnya partai ini belum memiliki basis massa tradisional apalagi militan, sehingga tidak dapat diukur pasti.
Basis massa partai-partai pendukung YASSIN, relatif lebih solid dan memiliki pemilih tradisional dan militan. Tinggal bagaimana mesin politik partai masing-masing dipanaskan dan bekerja extra keras.
“Whatever, duo paslon ini tetap harus bekerja keras meyakinkan massa mengambang diluar kader partai pendukung, jika mau unggul. Dan jangan mendepankan isu SARA,” tutur Erwin.
Peta Perang Udara
Selanjutnya, siapa jadi corong kubu yang bertanding? Jika Anis Baswedan dijadikan juru bicara kubu YASSIN jelas akan memiliki bobot kuat untuk membantu mendulang suara di basis kalangan menengah yang terdidik, seperti para intelektual dan dunia pendidikan. Kubu AHROT belum terlihat memilik jubir menonjol, kecuali menghadirkan Iwan Fals (jika mau) yang bersimpati ke Ahok diawal pemerintahannya.
Power of Press (kekuatan media massa) tetap akan sangat penting mempengaruhi opini massa dalam menentukan pilihan. Disini kedua Paslon agak berimbang. Seperti dijelaskan dipoin berikut:
- Kongsi media MNC Group nampaknya akan mengarahkan dukungan ke pasangan YASSIN, karena Yusril adalah Dewan Pembina Ormas PERINDO. Dan bos MNC group Harry Tanoe juga menganggap Ahok sebagai pesaing potensial kepemimpinan Nasional kedepan dengan tinjauan latar belakang etnis yang sama.
- Sementara TV One meski dianggap kubu Golkar, mungkin cenderung mengambil sikap netral, disebabkan oleh sang owner Abu Rizal Bakrie yang sebenarnya juga kurang menyukai gaya kepemimpinan Ahok. Juga kurang nge-pas dengan Komandan Golkar sekarang yang merupakan penggantinya.
- Sedangkan Metro TV, jangan ditanya lagi, sudah jelas akan dominan bahkan bermain total ke AHROT. Komandan nya akan “marah” kalau stasiun TV ini membalelo.
- Jaringan media yang lain akan mem-blowup siapa yang berani bayar tinggi untuk operasionalisasi perang udara ini.
Faktor Eksternal
Kelompok-kelompok muslim tradisional dan atau yang militan di ibukota plus mayoritas Betawi sebenarnya adalah massa mengambang, yang terorganisir dan signifikan untuk mengalahkan paslon petahana. Tinggal mampukah lawan petahana memanfaatkannya dengan optimal tanpa terjebak “tudingan isu SARA”.
Kelompok-kelompok investor dan pemodal dari Genk 9 Barongsai (meminjam istilah Bang Ridwan Saidi untuk menyebut 9 Naga) bisa jadi akan terpecah, karena YIM juga dikenal sebagai Lawyer sejumlah Konglomerat tersebut. Sandiaga Uno pun memiliki hubungan yang juga dekat dengan sejumlah taipan 9 Naga. Komandan TransTV, Chaerul Tanjung sejak awal sudah berhubungan baik dan mensupport Sandi karena sama-sama tim kerja di Dewan Ekonomi Nasional (DEN) era pemerintahan SBY.
Faktor internasional, terutama negara investor yang punya aset di ibukota tentunya mendukung petahana dengan peta dan dinamika politik saat ini.
Erwin menegaskan, bahwa pihak Istana sepertinya akan tidak netral.
Dari kajian dan analisa tersebut, MKJ menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Eskalasi politik Ibukota menghangat menjelang pendaftaran Paslon, yang jika terkondisi 2 Paslon Gub/Wagub DKI Jakarta maka paslon YASSIN dan AHROT berpeluang besar saling berhadapan.
- Kekuatan dua kubu yang berhadapan relatif seimbang, baik dalam dukungan politik, massa, media dan finansial. Tapi kecenderungan paslon Petahana untuk menang memang lebih besar sejauh mampu mengkondisikan ritme kampanye dengan strategi yang bernar.
- Wajah Pilkada DKI Jakarta yang menampilkan dua paslon yang berhadapan bukan hal baru di Ibukota, karena sudah ada pengalaman sebelumnya dalam pemilu 2007. Tentunya kedewasaan politik harus dikedepankan guna tercapainya pilkada yang aman, damai dan memenangkan suara hati rakyat.
Meski panjang lebar menguraikan kajian dan analisanya, MKJ tetap menganggap analisanya ini jangan dijadikan pedoman, kerena dunia politik itu lentur dinamis dan flexibel. “Tapi paling tidak, sedikit bisa menjelaskan bahwa pertarungan Pilkada DKI itu berimbang, karena pertaruhan banyak kepentingan didalamnya. So, paslon petahana sekarang juga jangan dianggap terlalu kuat-kuat amat. Mereka pun ketar-ketir juga, tinggal siapa lawannya harus mengerti berbuat bagaimana untuk merebut singgasana Jakarta,” tutup Erwin. ■MTQ