Oleh : Muchtar Effendi Harahap (Ketua Tim Studi NSEAS)
SwaraSenayan.com – Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan Presiden Jokowi, yakni bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pada level Kementerian terdapat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP & PA). Kementerian PP & PA membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dipimpin seorang Meneg PP & PA, sejak 27 Oktober 2014 dijabat oleh Yohanan Yembise.
Studi evaluasi ini bukan untuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi Presiden Jokowi.
Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi sangat mudah memberi janji lisan kepada rakyat Indonesia dalam berbagai bidang pemerintahan. Namun, sepengetahuan Tim Studi NSEAS, pada Pilpres 2014 Jokowi ternyata tidak tertarik mengangkat issu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Selama kampanye Pilpres 2014, tidak ada janji lisan terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Sangat mungkin Jokowi berpikir, issu ini tidak efektif digunakan utk mempengaruhi calon pemilih.
Ada janji tertulis kampanye Pilpres 2014 Jokowi, tertuang di dalam dokumen NAWA CITA, antara lain:
- Memperjuangkan tak berlaku diskriminatif thdp kelompok/golongan tertentu dalam negara.
- Membuat kebijakan Tindakan Khusus Sementara thdp kelompok marjinal, termasuk perempuan
- utk menjamin kesetaraan dgn warga negara lain.
- Memperjuangkan pemenuhan kuota perempuan 30% dan mendorong agar semua parpol memiliki
- dan menyiapkan kader politik perempuan mumpuni.
- Memperjuangkan kebijakan khusus utk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan dan tenaga – khususnya bagi penduduk di pedesaan dan daerah terpencil.
- Menyelenggarakan pendidikan 12 tahun bekualitas dan tanpa biaya di seluruh Indonesia, menerapkan nilai kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman dalam pendidikan.
- Mengefektifkan pelaksanaan semua UU utk penghentian kekerasan terhadap perempuan melalui peningkatan upaya pencegahan, meningkatkan kapasitas kelembagaan, peningkatan alokasi anggaran serta mengembangkan dan menerapkan kerangka monev efektif.
Untuk urusan perlindungan anak, tidak ada penekanan khusus, jika tak boleh dinilai tak ada sama sekali janji.
Standar kriteria evaluasi berikutnya tertuang di dalam RPJMN 2015-2019, antara lain:
- Meningkat kapasitas kelembagaan PUG (Pengarusutamaan Gender) dan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan di pusat dan daerah.
- Meningkat akses dan kualitas layanan kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang anak.
- Menguat sistem perlindungan abak.
- Meningkat efektivitas kelembagaan perlindungan anak baik di pusat maupun di daerah.
Standar kriteria evaluasi yakni Renstra 2015-2019 Kementerian PP&PA. Sasaran strategis antara lain:
- Meningkat pelaksanaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan . Indikator: Meningkat jumlah kebijakan responsif gender mendukung pemberdayaan perempuan; b. Meningkat jumlah lembaga melaksanakan kebijakan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan.
- Meningkat perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan . Indikator: a. Meningkat jumlah kebijakan perlindungan perempuan dan anak; b. Meningkat jumlah lembaga melaksanakan perlindungan perempuan dan anak; c. Meningkat persentase kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mendapat layanan komprehensif.
- Meningkat pemenuhan hak anak, termasuk tindakan afirmasi bagi anak dalam kondisi khusus. Indikator: Tersedia kebijakan pemenuhan hak anak; b. Meningkat jumlah lembaga melaksanakan kebijakan pemenuhan hak anak.
- Meningkat perlindungan anak. Indikator : a. Meningkat jumlah kebijakan perlindungan anak; b. Meningkat jumlah lembaga melaksanakan kebijakan perlindungan anak; c. Meningkat persentase pengaduan kasus anak ditindaklanjuti.
Masih butuh data resmi dari Pemerintah, apakah sasaran strategis telah tercapai atau belum setelah 3 tahun Pemerintahan Jokowi-JK. Mungkin Pemerintah bisa publikasi data setelah 4 tahun. Kita tunggu saja.
Pada level kondisi perempuan era Jokowi, kita dapat mengacu pada sejumlah sumber, antara lain:
- LBH Apik Jakarta melaporkan adanya 648 pengaduan masuk ke lembaga itu terkait kasus kekerasan menimpa perempuan selama 2017. Pengaduan tertinggi adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, sebanyak 308. Dari 648 laporan kasus itu, hanya 26 kasus pidana yang diputus oleh pengadilan. Padahal Jokowi mengamanatkan untuk mempertegas pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
- Analis Politik dan HAM dari Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga, berpendapat kondisi buruh perempuan di era Jokowi masih adanya perlakuan diskriminatif. Buruh perempuan di sektor padat karya, seperti pabrik rokok dan sektor perkebunan kelapa sawit, masih mendapatkan perlakuan diskriminatif (Tropongsenayan 21/4/2016). Wujud perlakuan diskriminatif buruh perempuan tsb di antaranya upah masih rendah, tidak mendapatkan fasilitas jaminan sosial, serta hak menstruasi dan reproduktif tidak diakui justru dapat berujung pemutusan hubungan kerja.
Khusus kondisi perlindungan anak, Pemerintah klaim, selama tiga tahun ini, Kartu Indonesia Pintar sudah dibagikan kepada sekitar 19,7 juta anak sekolah. Tetapi, di pihak lain, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, kasus kekerasan anak meningkat tajam. Sejak 2010 hingga 2015, lebih dari 10 juta anak menjadi korban kekerasan, 58% di antaranya menjadi korban kekerasan seksual (sindonews 20 Oktober 2016). Kondisi ini tentu kini terus berlangsung.
Bahkan, KOMPAS.com membeberkan penilaian Menkeu Sri Mulyani Indrawati ttg kondisi ruang kelas tak layak untuk kegiatan belajar-mengajar di Indonesia. (2/5/2018). 10 tahun lalu, anggaran pendidikan sekitar Rp 150 triliun. Tahun ini mencapai Rp 440 triliun, dan sekolah suasana dan kondisi masih tidak sesuai dengan kriteria. Dari Yappika, Sri Mulyani mendapat data, ada lebih 200.000 ruang kelas di sekolah seluruh Indonesia kondisinya rusak, mulai dari rusak sedang hingga berat.
Pemerintah juga bagi-bagi Kartu Indonesia Sehat. Pada 2019 nanti diharapkan bisa memenuhi pelayanan kesehatan seluruh warga secara gratis. Tetapi, layanan kesehatan anak ternyata masih banyak masalah. Satu masalah, belum imunisasi lebih sejuta anak. Harian Republika (30 April 2018) membeberkan pernyataan Kementerian Kesehatan, ada 1,7 juta anak belum imunisasi. Saat ini masih ada anak-anak belum mendapatkan imuniasasi secara lengkap, bahkan tidak pernah mendapatkan imunisasi sejak lahir. Hal itu menyebabkan mereka mudah tertular penyakit berbahaya karena tidak adanya kekebalan terhadap penyakit tersebut. Bagaimanapun, hal ini dapat mensosialisasikan penilaian, kondisi kinerja Jokowi urus perlindungan anak masih buruk. Anak2 masih harus hadapi kelas rusak dan belum imunisasi. Sangat tragis!
Selanjutnya, Pemerintah buat kebijakan Kabupaten/ Kota Layak Anak (KLA). Ada 24 indikator KLA. Lahirnya kebijakan KLA, diharapkan dapat menciptakan keluarga sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan peduli anak, kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau Kabupaten / kota layak bagi anak sebagai prasarat untuk memastikan, anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi hak mereka dan terpenuhi kebutuhan fisik dan psikologis mereka. Namun, sejauhmana kebijakan ini berhasil, belum ada data, fakta dan angka resmi dari Pemerintah. Seberapa banyak Kabupaten/Kota telah KLA, belum diketahui persis. Hanya ada beberapa kota yg sangat sedikit. Kita belum bisa menilai, Jokowi berhasil atau gagal atas kebijakan KLA. Masih belum menjadi realitas obyektif.
Tim Studi NSEAS berkesimpulan, setelah 3 tahun Pemerintahan Jokowi-JK, belum ada prestasi menunjukkan keberhasilan urus pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Sementara ini, data, fakta dan angka ditunjukkan Pemerintah bersifat bagi-bagi atau pendistribusian Kartu Indonesia Pintar dan Sehat. Tetapi, manfaat atau outcome bagi-bagi kartu tidak dapat dibuktikan. Mudah-mudahan setelah 4 tahun atau mendekati Pilpres 2019, Rezim Jokowi bisa buktikan juga dengan data, fakta dan angka. *SS