Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)
SwaraSenayan.com. Dalam tradisi Islam, dan sekiranya Ahok meyakininya, kata yang pantas terucap dalam kasus ini adalah alhamdulillah (puji syukur pada Tuhan). Syukur karena terlalu banyak pelajaran yang wajar, bahkan harus diambil oleh semua pihak. Hikmah-hikmah dari peristiwa ini serasa telah dirancang oleh Pencipta langit dan bumi. Mungkin selama ini banyak hal berlalu tapi semua seolah seperti biasa. Menjadikan kita berpura-pura bisu, atau memang telah buta dan tuli, sehingga semua berlalu tanpa makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya menuliskan ini secara khusus ingin menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Ahok. Ini bukan basa basi. Tapi tersadarkan oleh sensitifitas rasa adil yang masih bersemayam dalam hati kecil ini. Bahwa Ahok telah secara tidak langsung menjadi “penyebab” hadirnya hikmah-hikmah tadi.
Selama ini mayoritas rakyat Jakarta, bahkan Indonesia, terbuai oleh propaganda-propaganda media dan pencitraan, seolah calon pelayan publik jika datangnya dari kelompok mayoritas bangsa ini pasti diidentikkan dengan ketidak mampuan dan korupsi. Sehingga begitu banyak rakyat Jakarta, dan Indonesia menutup mata terhadap realita bahwa yang namanya kesempatan dan kapabilitas itu tidak harusnya didominasi oleh kelompok tertentu. Jujurnya, terlalu banyak juga dari kalangan umat Islam yang mampu asal diberikan kesempatan yang sama.
Kalau bukan karena ulah Ahok, secara khusus seperti yang diputuskan oleh Majelis Hakim sebagai penistaan agama tertentu, mungkin saja rakyat Jakarta masih terbuai dengan propaganda-propaganda tadi. Sehingga persepsi yang berkembang selama ini cenderung diterima sebagai fakta. Terima kasih Ahok. Anda sudah membangunkan kesadaran umat Jakarta, dan dengan sendirinya Indonesia, jika dalam dunia demokrasi biarlah semua berjalan secara alami. Jangan pernah ada vonis sosial melalui ketuhanan media dan uang untuk menggagalkan peluang bagi semua kalangan dalam rumah Indonesia kita.
Selama ini yang paling berat bagi umat Islam adalah keluar dari sel-sel sempit golongan mereka. Masing-masing merasa berjuang untuk bangsa, negara dan agamanya. Tapi sesungguhnya esensi perjuangan mereka adalah sekedar memperkuat dan memperindah sel-sel sempit itu. Terima kasih Ahok. Anda telah memberikan nasehat dan peringatan yang berharga kepada umat Islam. Bahwa persatuan itu begitu berharga. Bahwa persatuan itu adalah kekuatan yang dahsyat.
Selama ini umat tercabik-cabik oleh kepentingan sempit dan golongan masing-masing. Tapi dengan sikap anda, baik pada kata-kata maupun karakter, telah menyadarkan mereka bahwa di hadapan umat ini adalah kepentingan yang lebih besar. Yaitu membela kebenaran, keadilan, keragaman dan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran yang terbangun dengan begitu dahsyat karena anda.
Kesatuan umat itu tersimbolkan dalam gerakan 411, 212, dan seterusnya. Sebuah aksi demokrasi yang seharusnya dicatat oleh sejarah, tidak saja oleh bangsa Indonesia. Tapi dicatat oleh sejarah perjalanan demokrasi dunia itu sendiri. Bagaimana mungkin ada demo besar, menuntut keadilan atas penistaan Kitab Suci mereka, dengan realita bahwa mereka adalah mayoritas. Tapi semua itu dilakukan dengan suasana damai dan tertib. Di mana di dunia ini bisa terjadi seperti itu? Apalagi dalam konteks umat Islam yang selalu dipersepsikan keras dan anarkis?
Terima kasih Ahok. Andalah penyebab sehingga realita yang sesungguhnya tentang umat ini mematahkan mitos banyak orang jika umat Islam itu tidak mengenal kata damai. Anda membuka mata dunia bahwa yang diinginkan umat Islam itu hanya satu, adil. Dan jika keadilan itu dipenuhi, damai yang memang karakter alami umat ini dapat diwujudkan. Maka seharusnya Aksi 212 itu masuk MURI dan dijadikan kebanggan nasional Indonesia dan dunia Islam. Karenanya sekali lagi, terima kasih Ahok. Anda menjadi penyebab tersingkapnya mutiara keumatan ini.
Juga terima kasih Ahok, anda telah menjadi contoh dua hal sekaligus. Bahwa sesungguhnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, yang selama ini berusaha dipropagandakan sebagai negara yang “kurang fair” terhadap minoritas, anda membuktikan mampu menjadi walikota ibukotanya. Terima kasih karena anda dari kalangan minoritas dalam minoritas (Kristen China) tapi menjadi penyebab tersingkapnya realita bahwa dalam negara Indonesia itu semua bisa saja menjadi seseorang, termasuk anda menjadi gubernur dari ibukota negara Muslim terbesar di dunia.
Kalau itu terjadi di Inggris mungkin biasa saja. Toh memang kita akui bersama kalau Inggris sudah taubat dari masa lalunya yang kelam di seluruh dunia. Kalau itu terjadi di Amerika, mungkin itu juga biasa saja. Karena Amerika memang telah merdeka sejak 4 Juli 1776. Tapi ini terjadi di sebuah negara berkembang, mayoritas Muslim, merdeka relatif baru. Tentu banyak orang yang terbingung-bingung bahkan menganggap ini sebuah peristiwa aneh. Negara berkembang, mayoritas Muslim, relatif baru memasuki era demokrasi, kok bisa seorang minoritas dalam monoritas bisa menjabat gubernur ibukota. Sebuah posisi yang sesungguhnya mewakili wajah dari negara Indonesia itu sendiri.
Maka saya membayangkan di China sana ada orang Muslim yang jadi gubernur, di salah satu daerah saja. Tidak usahlah di Peking atau di ibukota RRT. Atau saya membayangkan seorang Muslim menjadi gubernur di ibukota Singapura. Atau seorang Muslim menjadi gubernur di Manila, Roma, atau di negara-negara yang mayoritas non Muslim itu. Ah nampaknya mimpi. Tapi terima kasih Ahok, anda telah menjadi penyambung lidah bangsa ini kalau Indonesia itu memang hebat.
Terima kasih juga Ahok, anda telah menjadi penyebab harapan dan optimisme di Indonesia. Bahwa hukum dan penegak hukum (hakim-hakim) di negara ini masih banyak yang jujur. Saya yakin proses persidangan anda penuh dengan intervensi. Intervensi oleh masyarakat di jalan-jalan, dan ini adalah wajar dalam dunia kebebasan dan demokrasi selama dilakukan secara damai dan civil (beradab). Tapi juga tidak kalah pentingnya melalui kasus anda, hakim-hakim telah membuktikan reputasi yang baik. Saya yakin, tekanan dan intervensi di belakang layar itu sangat luar biasa dari pihak yang punya kekuatan, baik politik maupun ekonomi. Tapi pada akhirnya hakim telah memutuskan sesuatu yang boleh jadi belum memuaskan kedua pihak. Tapi itulah kata hukum. Di saat hukum telah berbicara, maka biarlah hukum menikmati hak supremasinya tanpa intervensi lagi.
Banyak orang yang ragu apakah hakim akan independen dalam keputusannya. Saya yakin di kedua belah pihak ada keraguan itu. Kenyataannya kasus anda ini bisa kembali dijadikan sebagai “barometer” keadilan di Indonesia. Walau ini hanya percikan cahaya di tengah kegelapan peradilan di tanah air.
Akhirnya juga terima kasih karena anda telah mengingatkan kita semua betapa berharganya “toleransi dan kerukunan” antar umat itu. Tapi toleransi dan kerukunan itu bukan sesutau yang jatuh dari langit. Melainkan sebuah proses panjang, menaiki gunung tinggi dan menyelami dalamnya laut. Betapa tidak mudahnya merajut hubungan harmoni di tengah keragaman Indonesia yang luar biasa itu.
Dengan sikap anda selama ini, dan pernyataan anda dalam beberapa kesempatan itu, telah mengingatkan kita bahwa toleransi dan kerukunan yang mahal itu harus kita jaga bersama. Itu adalah aset bangsa dan negara ini, melebih Freeport dan kekayaan lainnya. Apalah arti kekayaan alam jika manusianya tidak mampu membangun kehidupan yang harmoni dan damai di antara mereka. Oleh karenanya setiap sikap dan kata dari anak-anak bangsa harus dijaga sensitifitasnya agar toleransi dan kerukunan yang telah menjadi “darah daging” manusia Indonesia itu tidak terkoyak dan terkontaminasi.
Pada akhirnya saya ingin menutup dengan mengingatkan kepada saudara-sauara seiman dan seislam saya. Bahwa jika selama ini anda merasa berjuang untuk memenangkan sesuatu, yakinkan diri anda bahwa yang anda perjuangkan bukan ego dan amarah. Bukan permusuhan dan dendam. Tapi demi kebenaran dan keadilan untuk terwujudnya kebaikan nasional bagi bangsa dan negara.
Oleh karenanya jangan angkuh dan sombong. Sebaliknya “fasabbih bihamdi Rabbika wastagfiruh” (besarkan puji Tuhan seraya meminta ampun). Mengingatkan kita semua untuk rendah hati dan mengembalikan pujian kepada Allah semata. Bahkan meminta ampun karena dalam proses itu boleh jadi ada yang kurang, atau sebaliknya ada juga yang melampaui batas.
Ingat, hiruk pikuk selama ini bukan anti minoritas, bukan anti Kristen, bukan anti ras tertentu (China), dan lain-lain. Kalau ada di antara umat ini yang memusuhi orang karena agamanya atau karena etnik dan ras, saya akan berada di garis terdepan untuk mengingatkan, bahkan melawan. Karena kalau itu terjadi maka dengan sendirinya kita melecehkan agama (Al-Qur’an dan sunnah Rasul) itu sendiri, yang mewasiatkan: “jangan karena kebencian kamu kepada kaum tertentu menjadikan kamu tidak adil. Bersikap adillah karena lebih dekat kepada ketakwaan” (Al-Qur’an).
Allahu Akbar… Merdeka!!