Oleh : Ariy Hadariy
SwaraSenayan.com – Ramadhan seharusnya membawa nilai tambah (added value) berupa revolusi mental bagi kaum muslimin yang tujuannya mengantarkan seseorang menjadi manusia bertakwa. Revolusi mental dan ekstropeksi selalu relevan dengan sabda Nabi “hasibu qabla an tuhasabu” (perhitungkanlah amal – amal kalian sebelum amal kalian diperhitungkan Tuhan). Rasul SAW mengajarkan kepada kita bahwa Puasa Ramdhan adalah amalan yang tiada tandingannya. Semua aspek dalam kehidupan yang bermanfaat dikategorikan sebagai ibadah. Ibadah-ibadah ritual baik yang sunnah ataupun yang wajib dilipat gandakan balasannya oleh Allah SWT. Artinya ibadah dan amalan selama bulan Ramadhan bersifat revolutif, dari yang biasa-biasa menjadi luar biasa (average to excellence).
Dalam sebuah hadits Qudsi dijelaskan tentang revolutifnya ibadah puasa di bulan Ramadhan :
“Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Dia tidak makan dan tidak minum karena Aku. Orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabbnya kelak. Sungguh bau mulut orang yang puasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun kebaikan dan kemulyaan yang secara revolusioner dalam bulan Ramadhan tidak akan hadir bersama kita tatkala tidak ada perubahan mentalitas yang revolusioner dalam menjalankan roda kehidupan. Secara prosedural puasa seseorang dapat dikatakan benar dan syah jika telah memenuhi kriteria menahan lapar dan dahaga semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari. Tetapi puasa yang secara prosedural formal benar belum tentu diterima oleh Allah SWT selama perilakunya tidak menujukkan perubahan revolusioner ke arah perbaikan akhlaq tertinggi. Bukankah Rasululloh SAW telah mewanti – wanti terhadap puasa yang dilakukan sekadar formal prosedural. Nabi SAW bersabda :
“Kelompok terbanyak dari golongan orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (Riwayat Ath Thobroni)
Sabda Nabi SAW diatas memberikan arti penting bagi kita, yaitu walaupun puasanya rajin sesuai syarat dan rukunnya, tetapi perilakunya minus. Puasanya rajin tetapi mentalitas korupsinya lebih kuat. Puasanya rajin tetapi dimensi kinerjanya buruk. Oleh karena itulah yang baik bagi seorang muslim yang berpuasa antara pelaksanaan sesuai tuntunan dan perubahan perilaku menjadi baik itulah yang disebut dengan revolusi mental Ramadhan. Dalam bahasa Al-Qur’an revolusi mental Ramadhan akan membentuk manusia yang bertaqwa. Yaitu manusia yang segala perilaku, kebijakan, dan kualitas amalnya menujukkan hanya pengabdian pada sang pencipta yang dibuktikan dengan kebermanfaatan bagi masyarakat yang luas. Revolusi mental puasa Ramadhan yang paling esensial bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim adalah keluar dari mentalitas korup yang merupakan sumber masalah dan kesengsaraan bangsa. Telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa standar kaya dan miskin tidak menjadi jaminan orang tidak melakukan korupsi. Berbagai peristiwa pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau yang sedang proses diadili di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ada yang statusnya kategori miskin. Artinya tidak ada korelasi makin miskin seseorang, maka makin banyak korupsinya. Makin kaya seseorang akan makin tidak korupsi. Korupsi justru dilakukan oleh orang-orang yang berpenghasilan tinggi alias orang kaya. *SS
