SwaraSenayan.com. Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto kembali muncul ke permukaan usai kesuksesan Partai Golkar menggelar musyawarah nasional luar biasa atau Munaslub pada 14-17 Mei 2016 lalu di Nusa Dua, Bali yang memenangkan Setya Novanto secara aklamasi.
Namun, menurut anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, usulan tersebut tidak lah tepat adanya, karena menurut dia, presiden ke-2 Republik Indonesia itu memiliki masalah hukum yang tak terelakan. Sebab itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menyatakan keberatannya.
“Belum bisa diangkat sebagai pahlawan nasional karena masalah hukum itu. Selama TAP MPR No. XI Tahun 1998 masih ada maka tidak bisa. Kecuali kalau TAP MPR itu dicabut dulu,” kata Masinton kepada SWARA SENAYAN, Kamis (19/5/2016).
Anggota DPR RI Dapil Jakarta II itu menjelaskan bahwa TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) jelas-jelas menegaskan bahwa mantan presiden Soeharto memiliki masalah secara hukum.
Seperti diketahui, pada tahun 1998, mantan presiden Soeharto harus rela melepaskan jabatannya sebagai kepala negara Republik Indonesia usai mendapatkan tekanan luar biasa dari gerakan mahasiswa yang mengusung gerakan reformasi yang juga menuntut dihapuskannya KKN dari wajah pemerintahan saat itu.
“Karena itu lah pengangkatan ini tidak tepat. Orang yang berhak mendapatkan gelar pahlawan nasional itu adalah orang yang memang mengabdikan diri semasa hidupnya hingga akhir hidupnya itu untuk kemajuan bangsa dan negara,” papar Masinton yang juga Ketua Umum DPN REPDEM.
“Dalam pembangunan Indonesia bahwa dia punya peran memang benar, tapi dibalik peran itu, di sisi lain dia punya masalah hukum, dalam hal ini korupsi, kolusi dan nepotisme,” tutup bekas aktivis gerakan mahasiswa tahun 1998 yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Fampred) itu.■mrf