Halal Bi Halal

Ayo Berbagi!

Oleh : Ariy Hadariy

SwaraSenayan.com – Puasa Ramadhan selalu diakhiri dengan merayakan Idul Fitri. Secara etimologi, Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, ‘id, kata ini diambil dari kata ‘ada, yang bermakna `kembali’. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang berpendapat diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan. Artinya bahwa kaum muslimin sudah biasa pada 1 Syawal selalu merayakannya. Kedua, adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah. Bila dihubungkan dengan puasa, maka ia mengandung makna ‘berbuka puasa’ (ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan rohani secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri mempunyai makna ‘yang mula-mula diciptakan Allah SWT’. Adapun secara terminologi, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah kita sebagai manusia.

Dikala kita memasuki detik-detik bulan Syawal, dimana-mana masih terdengar suara TAKBIR, TAHLIL dan TAHMID, kadang-kadang berkumandang dan kadangkala sayup-sayup sampai, tanda suasana Idul Fitri masih bergema, kegembiraan kaum muslimin masih menggelora. Memang, kegembiraan kaum muslimin setelah selesai menunaikan ibadah puasa disalurkan Allah SWT melalui Idul Fitri, hari raya fitrah, hari raya berbuka, hari manusia kembali kepada asalnya, suci bersih tiada noda dan dosa.

Baca juga: https://www.swarasenayan.com/ramadhan-dan-revolusi-mental/

Baca juga: https://www.swarasenayan.com/diambang-pintu-keluar-ramadhan/

Baca juga: https://www.swarasenayan.com/wisuda-ramadhan/

Pada malam Idul Fitri disebut sebagai malam jaa izah (pemberian hadiah), yaitu suatu malam ketika Allah SWT. memberikan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Sebenarnya, malam tersebut merupakan kesempatan yang jarang ditemui. Kebanyakan di antara kita, baik masyarakat awam ataupun terpelajar, karena sibuk mempersiapkan lebaran, yang tersisa pada malam itu hanyalah letih dan ngantuk. Padahal, malam itu adalah malam yang sangat berharga untuk beribadah. Rasulullah SAW. bersabda,

Barangsiapa bangun menyibukkan diri beribadah pada kedua malam ‘Id (Fitri dan Adha) semata-mata untuk memperoleh pahala, maka hatinya pada hari itu tidak mati ketika hati manusia mati.

Hal ini bermakna bahwa pada saat berbagai fitnah dan kemaksiatan menguasai hati manusia sehingga hati manusia mati, namun bagi hati orang yang selalu sibuk beribadah kepada Allah SWT. akan tetap hidup hatinya. Dapat juga diartikan bahwa ketika sangkakala ditiup pada hari Kiamat, maka pada saat itu ruhnya tetap sadar ketika orang lain tidak sadar. Nabi SAW. bersabda,

Barangsiapa bangun untuk beribadah pada lima malam berikut ini semata-mata karena Allah, maka ia wajib memasuki surga, yaitu:

  • Lailatut-Tarwiyah (pada malam 8 Dzulhijjah),
  • Lailatul-Arafah (pada malam 9 Dzulhijjah),
  • Lailatun-Nahr (pada malam 10 Dzulhijjah),
  • Lailatul-Idul-Fitri (pada malam 1 Syawwal),
  • Lailatul-Bara’ah (pada malam 15 Sya’ban).

Para fuqaha menyatakan bahwa sangat dianjurkan (sunnah, mustahab) beribadah pada kedua malam Id (Fitri dan Adha). Disebutkan di dalam Maa tsabata bis Sunnah, dari Imam Syafi’I, bahwa ada lima malam saat doa-doa dikabulkan, yaitu malam Jum’at, dua malam ‘Id (Fitri dan Adha), malam permulaan bulan Rajab, dan malam ke-15 Sya’ban.

Sebagian masyaikh berkata bahwa karena begitu mulia dan istimewa malam Jum’at pada bulan Ramadhan, kita hendaknya menghabiskan malam tersebut untuk beribadah. Hari Jum’at atau malam Jum’at adalah saat-saat yang penuh dengan keberkahan. Beberapa hadits telah menerangkan tentang banyaknya keistimewaan malam Jum’at, namun terdapat juga hadits yang berisi larangan untuk mengkhususkan beribadah pada malam Jum’at saja. Oleh sebab itu, sebaiknya selain malam Jum’at diikuti juga dengan ibadah pada satu atau dua malam lainnya.

Penghargaan bukan berupa emas ataupun perak, bukan berupa harta atau kekayaan, bukan pula berupa pangkat ataupun bintang di dada, tetapi suatu penghargaan yang lebih tinggi dari segala-galanya, yaitu rasa thuma’ninah, rasa ketentraman, rasa cinta yang sahut menyahut antara  Allah SWT dengan hamba-Nya dan antara hamba sesama hamba. Apalah artinya hidup duniawi, apalah artinya pangkat dan harta, semuanya akan kita tinggalkan dan akan meninggalkan kita; tetapi ada satu milik kita yang paling berharga, yang akan jadi bekal kita di dunia dan di akhirat nanti, yaitu ridho Allah SWT yang memantul dari amal saleh kita, dan itulah JAAIZAH, itulah penghargaan tiada tara.

TAKBIR, TAHLIL dan TAHMID masih berkumandang dimana-mana. Dengan Takbir”ALLAHUAKBAR” kita ingin mengakui betapa kecilnya diri kita dan betapa besarnya Allah SWT yang kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Tak ada yang pantas membuat kita sombong apalagi takabur. Kita hanyalah hamba Allah SWT yang dha’if, bisa dipanggil datang dan bisa disuruh untuk pergi, bisa digantung tinggi dan bisa dibuang jauh oleh-Nya. Dengan Tahlil “LAA ILAAHA ILLALLAH”, kita mengakui bahwa tiada yang pantas untuk disembah kecuali Allah, tiada pantas diper-Tuhan kecuali Allah SWT. Gunung yang besar dan tinggi menggapai langit bukanlah Tuhan, matahari yang bersinar terang dan bulan yang bercahaya purnama bukanlah Tuhan, alam semesta yang tiada bertepi bukanlah Tuhan, Tuhan hanyalah Allah SWT Yang Maha Ahad, tiada syarikat bagi-Nya.

Setiap hari kita melaksanakan shalat 5 waktu yang berjumlah 17 raka’at. Pada setiap raka’at kita baca Surat Al-Fattihah, dan kita dalam membaca Fattihah kita berikrar : lyyaakana’budu wa-iyya kanasta’in, hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”, Engkau Ya Allah puncak segala pergantungan harapan. Dengan tahmid “WALILLAHIL HAMD”, berarti kita persembahkan segala puja dan puji hanya kepada Allah SWT. Dia yang mutlak tiada berbagi, dia yang paling layak menerima sanjungan dan pujian dalam makna yang paling dalam dan paling hakiki. Dialah Allah SWT yang menata seluruh alam ini baik alam syahadah maupun alam gaib. Idul Fitri adalah hari maaf memaafkan, hari manusia mengakui dirinya lemah. Mulutnya sering salah kata, tangannya sering salah buat, kakinya sering salah langkah, bahkan hatinya sering salah sangka. Datanglah Idul Fitri membukakan pintu, menghilangkan semua itu, menghilangkan rasa dengki, rasa permusuhan, fitnah memfitnah dan prasangka buruk, yang tampil hanyalah maaf dan sekali lagi maaf, kita semua bersaudara, senasib seperuntungan, tiada pantas kita bermusuhan, tiada pantas kita saling sakit hati, tiada pantas kita saling hujat-menghujat ataupun memburukkan dan jelek menjelekkan. Allah SWT  berfirman :

Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik . (Al-Maidah 31)

Kita menyadari, bahwa sebagai manusia tidaklah ada diantara kita yang tak pernah berbuat salah, khilaf alau alpa; bahkan konon itu termasuk salah satu sifat kelemahan manusia. Karena itu berkatalah ahli hikmah : Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah bersalah, tetapi orang yang baik adalah orang yang sanggup memperbaiki dirinya dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW. bersabda :

Ada dua tipe manusia yang Allah tidak mau melihatnya kelak di hari kiamat (karena murka-Nya); Pertama orang yang memutuskan hubungan keluarga/silaturrahmi, dan kedua orang yang jahat/selalu bermusuhan dengan tetangganya ( Al-Hadits )

Dan di Hadits lain Nabi SAW, bersabda :

Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat, hendaklah ia selalu menghubungkan kasih sayang sesamanya/keluarganya. ( Al-Hadits )

Alangkah indahnya ajaran Rasulullah SAW ini, untuk kita hidupkan dan kembangkan terus dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita hidup di dunia bukanlah sendirian, kita memerlukan uluran tangan orang lain, sebagaimana juga agaknya ada orang lain yang memerlukan uluran tangan kita; pelihara hubungan itu, pelihara silaturrahmi itu. Sementara tetangga adalah keluarga terdekat kita, keluarga setempat kita berbicara, tempat kita mengadu apalagi kalau ada peristiwa yang sering digambarkan dalam kata-kata mutiara kita kalau ada suatu peristiwa yang malang tidak dapat ditolak, mujur yang tak dapat diraih, kepada siapakah kita akan berbicara, kepada siapakah kita akan mengadu, tetanggalah orangnya. Apapun kedudukan kita; peristiwa ini akan berlaku. Tersebutlah dalam ajaran Nabi SAW :

Minimal ada 10 kewajiban bertetangga :

  1. Santun pada tetangga, jangan sombong, jangan benci;
  2. Beri tetangga pertolongan dimana dia memerlukan pertolongan;
  3. Beri ia piutang dimana ia memerlukan dipiutang, jika ia amanah untuk membayar;
  4. Jenguk tetangga kalau ia sakit;
  5. Antarkan jenazah tetangga sampai ke makam perkuburan;
  6. Gembirakan hatinya di waktu ia susah;
  7. Hibur ia dikala dalam keadaan duka;
  8. Jangan mendirikan rumah lebih tinggi dari rumah tetangga kecuali atas izinnya;
  9. Jangan melukai hati tetangga tapi senangkanlah hatinya;
  10. Jangan menyinggung perasaannya dengan bau makanan yang anda masak kalau anda tidak mampu memberinya sepotong masakan itu.

Alangkah indahnya hidup bertetangga kalau ajaran Rasulullah SAW tersebut dapat kita hidupkan dalam suasana sehari-hari. Nabi Muhammad SAW, bersabda :

Dua orang muslim yang saling bertemu, kemudian keduanya saling berjabat tangan (saling memaafkan), Allah akan mengampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah. ( Al-Hadits)

Hadits ini mengajarkan dan melukiskan betapa besarnya nilai saling berjabat tangan dan saling memaafkan. Dunia yang tadinya sempit akan terasa lapang, suasana yang tadinya mendung akan terasa cerah, hidup dalam persaudaraan sesama muslim, hidup dalam persahabatan sesama makhluk  Allah SWT di bumi yang luas ini. Inilah  bulan yang kita rasakan sebagai bulan kemenangan diri atas diri, kemenangan jiwa diatas jiwa, karena kita telah melaksanakan puasa semata-mata karena Allah SWT dan mengharapkan ridho-Nya. Bulan ini kita namakan juga bulan Halal bi Halal; halal bihalal yang di dalam kamus di katakan adalah ampun-mengampuni atau maaf-memaafkan. Mari kita lanjutkan pekerjaan mulia ini untuk saling memandang diri kita dan memandang diri orang lain dalam rangka persaudaraan, senasib seperuntungan, senasib sepenanggungan dalam menghadapi tugas-tugas besar kita, menempuh suatu perjalanan panjang, membangun diri, membangun keluarga dan bangsa, untuk kejayaan bangsa, negara, agama dan tanah air kita yang kita cintai Indonesia.

Halal bihalal memiliki nilai filosofi yang cukup tinggi, manakala dilakukan secara konsisten untuk saling ampun-mengampuni atau maaf-memaafkan. Namun sangat ironis jika halal bihalal hanya dilanggengkan sebagai sekedar seremoni tanpa arti dan makna yang terkandung didalamnya. Apabila Idul Fitri dan halal bihalal kehilangan ruh dan substansinya, maka yang kita dapat hanyalah budaya formalistik, seremonial, ritualistik, yang belum mampu berjalan seirama dengan ajaran dasar agama dan etika sosial masyarakat kita. Inilah pertanyaan penting yang harus kita pertanyakan pada diri kita masing-masing.

Ramadhan sudah kita lalui dan memasuki bulan syawal, jadwal dan undangan halal bi halal telah tercatat dalam agenda kegiatan kita, walaupun terkadang kita masih di dengungkan oleh suara takbir sebagai pertanda kemenangan dalam syukuran Idul Fitri. Tetapi resapkanlah wahai saudaraku kaum muslimin, setiap pembuka khotbah para khotib yang berdiri di panggung podium sewaktu shalat Idul Fitri itu, senantiasa mengucapkan Tuhan Maha Besar, Tiada Tuhan Kecuali Engkau, tiada sekutu bagimu, yang akan menolong hamba-hambanya, para tentara Allah SWT yang senantiasa ingin mensucikan agama Allah SWT, walaupun ditentang orang-orang kafir sekalipun. Allahu Akbar…Allahu Akbar, Sayang, terkadang do’a iftitah dalam khotbah para khotib itu tidak pernah sedikitpun dimengerti apalagi mampu menggedor dhamir suci kaum muslimin.Mereka melaksanakan shalat Idul Fitri terkadang tanpa membawa kesan jihad sedikitpun.

Marilah kita bersama mengambil sari dan hikmah puasa Ramadhan. Sehinggan puasa Ramadhan yang telah kita laksanakan mampu mengantarkan kita sebagai kaum aidin wal faizin wa maqbulin,  yaitu puasa yang menjadikan manusia kembali pada fitrahnya, manusia yang keluar sebagai pemenang, dan puasanya diterima di sisi Allah SWT sehingga ibadah puasa Ramadhan membawa nilai tambah (added value) yang mengantarkan seseorang menjadi manusia bertakwa yang penuh semangat jihad pasca Ramadhan.

Wahai saudaraku para pembaca buku ini, semoga  ibadah  puasa Ramadhan yang telah kita tunaikan mampu membentuk semangat jihad untuk benar-benar kembali kepada fitrah, tidak sekedar seremonial formal tanpa goresan yang menyentuh gairah perjuangan. Selamat berjuang, taqobalallohu minnaa wa minkum. Allahu Akbar…. Allahu Akbar …..Allahu Akbar. Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan, penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan buku ini. Dari lubuk hati yang paling dalam saya menghaturkan ucapan minal aidin wal faizin wal maqbulin,  Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin. *SS

ADVERTISEMENT
Ayo Berbagi!